Kantin SMA Nusa Bangsa bisa dibilang sangat luas. Dari kejauhan tampak seperti kafetaria di pusat perbelanjaan, dengan stand makanan yang berjejer rapi dan puluhan meja kursi untuk para pelanggan. Dilengkapi dengan wastafel dan tempat sampah di setiap sudut hingga keseluruhan tampak sangat bersih.
Meski sangat luas, kantin di jam istirahat tetap saja penuh oleh para siswa kelaparan yang butuh recharge energi. Hampir semua stand penuh oleh siswa yang mengantri, dan setiap kursi nyaris tidak ada yang kosong.
Sebagai siswa baru yang pertama kali menginjakkan kaki di kantin sekolah, wajar sekali jika Syila kebingungan. Cewek itu menoleh kanan-kiri, mencoba menemukan stand yang menjual cola seperti keinginan majikan nya, sekaligus mencari cara bagaimana ia melewati lautan manusia itu dengan selamat tanpa ada yang menyenggol tubuh mungilnya. Badannya kecil, tersenggol sedikit saja, pasti dia akan jatuh. Kalau sampai terjadi, Syila tidak mau menjadi pusat perhatian.
Lima menit berdiri tanpa kepastian, Syila akhirnya memutuskan untuk melewati keramaian itu. Sebenarnya, tubuh mungilnya sangat berfungsi, karena bisa dengan mudah melewati celah kecil di antara para manusia tanpa takut mengganggu mereka. Namun,tetap saja tidak mudah. Stand stand terlalu banyak dan tentu tidak semuanya menjual cola. Setidaknya, Syila paham bahwa ia tidak boleh bertanya cola pada penjual bubur ayam.
Kerja keras Violet berbuah hasil. Di stand paling ujung, dia berhasil menemukan stand yang menjual bermacam-macam snack dan minuman dalam kemasan. Syila bergegas mendatangi stand itu. Semakin cepat dia mendapatkan cola sesuai permintaan Alex, maka semakin baik. Syila ingin menyambung tidurnya yang sempat terganggu oleh kedatangan Alex tadi.
"Bu, ada cola nggak?" tanya Syila ke penjual.
"Ada, Neng. Lima ribuan," balas wanita paruh baya itu sambil mengambil sekaleng Coca-cola dari etalase.
Senyum Violet mengembang saat ia menemukan apa yang ia cari. "Iya deh, Bu, saya beli. Tapi..." Sepertinya, Syila baru teringat kalau Alex menyuruhnya membeli satu kardus. Tidak hanya satu kaleng. Syila masih belum menemukan jawaban mengapa Alex menyuruhnya membeli sebanyak itu.
"Saya belinya agak banyak. Sekardus ada nggak, Bu?"
Wanita itu membelalakkan matanya, kaget. Sepanjang masa jualan di kantin sekolah, ini pertama kalinya beliau mendapati seorang siswi yang membeli satu kardus cola. Tetapi setelah itu dia kembali memasang ekspresi ramah.
"Buat apa, Neng? Traktiran, ya?"
Syila hanya bisa menanggapinya dengan nyengir kuda. Mana mungkin ia menjawab bahwa ia membeli cola sebanyak itu gara-gara majikan nya yang seenak jidat nya menyuruhnya. "Ng... iya, Bu."
"Kayaknya ada, deh. Ibu carikan dulu ya, sebentar."
Syila hanya mengangguk. Selagi menunggu ibu penjual tadi kembali, ia menduduki sebuah kursi dari meja kosong yang baru saja ditinggal.
"Permisi ya, Mbak."
"Iya, Pak."
Syila sedikit menggeser tubuhnya saat seorang pria membereskan meja yang semula dipenuhi oleh sampah dan sisa peralatan makan. Tanpa segan, Syila membantu pria penjaga kantin itu mengumpulkan peralatan makan menjadi satu dan menggesernya ke arah pria itu agar mudah diambil.
"Makasih, Mbak. Ngomong-ngomong, Mbak ini murid baru ya? Saya kok nggak pernah lihat?"
Syila sedikit berdecak kagum. Tidak percaya pria itu langsung mengenalnya sebagai murid baru. Padahal dia sama sekali tidak berbeda dengan murid lainnya. Kecuali seragamnya yang tampak masih baru karena memang baru dipakai satu kali yaitu hari ini.
"Iya, Pak. Ini hari pertama saya sekolah disini. Kok Bapak tau?"
"Saya liat Mbak nya kebingungan dari tadi. Mau saya tanyain tapi Mbak udah pergi dulu. Saya juga belum pernah melihat Mbak sebelumnya."
"Ah, begitu, Pak." Namun demikian Syila tetap saja kagum. Jarang jarang ada orang yang memperhatikan orang lain sejeli itu. Padahal, murid di SMA Nusa Bangsa terlalu banyak untuk diingat.
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, Mbak."
Syila membalas nya dengan senyuman andalannya. Kemudian, ia memainkan kukunya yang mulai panjang. Oh, dia harus segera memotong kuku sebelum kebiasaannya yang lama kembali lagi. Menggigiti kuku dengan giginya hingga membuat kukunya sangat berantakan. Walaupun bundanya sudah tiada untuk memarahi kebiasaan buruk Syila itu, dia harus menghentikan kebiasaan buruk itu sendiri.
Sibuk dengan urusannya sendiri, Syila tidak sadar bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian dua cowok tampan yang ragu untuk mendekatinya. Mereka adalah Dika dan Roni.
"Lo yakin itu anaknya?" Roni berbisik di telinga Dika.
"Iya, mungkin. Katanya dia mungil terus rambutnya dikuncir kuda, kan? Samperin sekarang?"
"Mending tanya lagi. Daripada salah orang terus bikin malu? Kan banyak orang yang punya ciri-ciri sama."
Dika mengangguk atas saran Roni. Cowok dengan lesung pipi yang menambah kadar manisnya itu menelusuri sekitar, kiranya ada seseorang yang bisa ia tanyai. Seorang cewek, tentunya. Tenang saja, bukan untuk modus. Dia yakin hanya para cewek yang mengenal Syila setelah dikenalkan Alex tadi pagi.
"Agnes!" Dhika memanggil salah seorang cewek sambil melambaikan tangannya. Kebetulan Dhika mengenal cewek bernama Agnes itu. Mereka sempat berada dalam ekstrakurikuler basket sebelum Dika berhenti karena sudah kelas dua belas. Agnes lalu menghampiri Dika dan Roni.
"Kenapa, Kak?" tanya cewek itu.
"Gue tanya dong. Lo tau yang namanya Syila nggak?"
"Syila?"
"Iya. Anak baru yang langsung trending hari ini."
Agnes diam sejenak lalu mengangguk. "Kenal. Dia sekelas sama gue."
"Sumpah?! Bagus deh!"
"Kenapa emangnya?"
Dika menarik Agnes untuk berdiri di sampingnya, lantas menunjuk ke suatu arah dengan jari telunjuknya. "Itu bukan anaknya?"
Agnes mengikuti arah telunjuk Dika dan beberapa detik kemudian ia mengangguk. "Iya, itu."
"Beneran?"
"Iya! Masa sih gue salah ngenalin temen sekelas gue?"
"Okay. Thanks, ya!"
"Hm. Emangnya kenapa nyari anak itu?"
"Ada deh! Rahasia perusahaan! Udah, sana pergi!" usir Dika main-main. Dia segera menarik Roni untuk menghampiri segera gadis itu.
Syila terlihat tidak bergeming meski Dika dan Roni sedang berdiri tidak jauh darinya. Cewek itu masih sibuk dengan kukunya, dan sesekali dia melihat ke arah stand penjual minuman untuk mengetahui pesanannya sudah ada atau belum.
"Ehm!"
Baru setelah Dika berdehem, Syila menghentikan kesibukannya lalu mengangkat wajahnya. Melihat dua cowok yang berdiri tidak jauh darinya.
"Kalian mau pakai mejanya, ya? Maaf, satu kursinya aku pinjem dulu, ya?" Syila dengan polos mempersilahkan Dika dan Roni duduk di bangku yang baru saja dibersihkan. Kedua cowok itu saling pandang, dan melalui tatapan mata akhirnya memutuskan untuk duduk di bangku yang tersisa.
"Maaf, kamu Syila ya?"
Tanpa merasa curiga sama sekali Syila mengangguk. "Iya. Kalian siapa?" tanya Syila to the point.
Roni dan Dika saling pandang sekali lagi. Akhirnya mereka bisa bertemu langsung dengan seorang cewek yang membuat Alex uring-uringan satu minggu terakhir.
"Kenalin, gue Dika." Dika memutuskan untuk mengenalkan diri terlebih dahulu. Tangan cowok itu terulur di hadapan Syila dan tak perlu waktu lama sampai Syila membalasnya.
"Syila."
"Kalau gue Roni."
"Aku Syila. Salam kenal." Syila tersenyum manis, namun nampak sekali dia masih kebingungan oleh keberadaan dua cowok yang tiba-tiba meminta berkenalan.
"Kalau lo penasaran, kita temen sekelasnya Alex," tambah Dika, menjawab segala penasaran di kepala Syila.
"O-oh, iya." Syila menjawab sekedarnya karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lalu apa urusan teman-teman Alex di sini? Hanya untuk menyapanya? Kurang kerjaan sekali.
"Kita khusus datang kesini buat nyusul lo dan ngucapin selamat datang di sekolah baru." ucap Roni.
"Karena kita tau seorang Alex nggak akan ngucapin hal yang sama ke elo. Bener, kan?"
Dia mengangguk tanpa sadar.
"Oh ya, lo ngapain disini? Jam istirahat udah hampir habis."
Mata bulat Syila mulai mengerjap. Oh ya? Pantas saja kantin mulai sepi. Banyak meja yang kosong meski belum dibersihkan. Syila kembali melihat ke ibu penjual minuman, namun wanita itu belum nampak batang hidungnya. Syila tidak tahu kemana wanita itu pergi.
"Beli cola. Suruhan Alex tadi."
Roni dan Dika berpandangan. Mereka memikirkan hal yang sama. Tidak mungkin Alex jauh jauh ke kelas dua hanya untuk menyuruh Syila membeli sekaleng cola. Pasti teman dekat mereka itu memiliki rencana licik untuk direalisasikan pada cewek yang dibencinya. Bukan hanya sekedar membeli cola. Itu terlalu mudah.
"Cuma cola doang?"
"Iya. Sekardus."
Pantes aja! batin Roni dan Dika di hati masing-masing. Roni maupun Dika mengakui, bahwa Alex memang memiliki pemikiran out of the box. Ide Alex kali ini benar-benar sukses membuat dua teman baiknya tertawa miris. Merasa kasihan pada Syila yang pasrah mendapat perintah yang aneh itu.
"Buat apa sih Alex beli cola sebanyak itu? Dia lagi ada acara traktiran, kah?" tanya Syila. Benar benar tidak menemukan jawaban di otaknya.
"Enggak kok. Dia nggak lagi ultah atau lagi traktiran pajak jadian. Alex kan jomblo," ujar Dika yang disambut sebuah toyoran di kepalanya, hadiah dari Renno.
"Kalau sampe Alex denger, mati lo!"
Dika mendecak sambil mengusap kepalanya. Jangan sampai toyoran Roni membuat otaknya semakin tidak berfungsi.
"Lagian nggak mungkin traktiran cuma pakai cola. Gengsinya terlalu tinggi." Roni menimpali. Dia lalu melirik jam tangan Rolex nya, memperlihatkan jam istirahat akan berakhir lima menit lagi. "Lo lagi nungguin apa sekarang?"
"Nunggu ibu yang jual cola-nya dateng. Katanya masih ngambil stok cola-nya dan gue harus nungguin bentar. Tapi nggak tau, kok belum dateng sampai sekarang," jelas Syila. Tampak sekali cewek itu jengah menunggu. Padahal ekspektasinya adalah mendapat barang suruhan Alex secepatnya. Untuk kali ini, Syila tak lagi memikirkan tidur, namun pelajaran selanjutnya yang harus ia hadapi. Masa anak baru yang bahkan belum sempat berkenalan dengan teman sekelas datang terlambat? Sangat memalukan kalau sampai terjadi!
"Mbak," Baru saja menutup mulut, Syila dipanggil dan dia langsung berdiri mendatangi wanita yang baru saja datang entah dari mana.
"Maaf, Mbak. Maaf sekali! Ternyata cola-nya nggak ada. Ini yang di etalase tinggal stok terakhir. Itupun tinggal empat kaleng. Kalau Mbak mau, ada minuman lain selain cola yang stoknya masih banyak. Gimana, Mbak?"
Bahu Syila langsung merosot. Padahal ibu itu adalah harapan satu-satunya Syila agar segera menuntaskan urusannya dengan Alex. Raut kekecewaan tak bisa disembunyikan, namun Syila tetap tersenyum. Harus bagaimana lagi? Harus marah-marah? Tidak. Syila tahu ini bukan salah wanita itu. Siapapun pasti tidak akan siap jika mendapat orderan yang cukup banyak. Apalagi di tempat sementara seperti kantin, pasti stok yang dibawa tidak terlalu banyak.
"Iya... nggak apa-apa, Bu. Maaf ya ngerepotin." balas Syila. Senyumnya sengaja tidak luntur agar wanita itu tidak semakin merasa bersalah.
"Maaf ya. Sekali lagi saya minta maaf."
"Iya, Bu. Kalau begitu saya pergi dulu ya." Syila berbalik lalu kembali duduk di kursi sebelumnya.
"Gimana jadinya?" tanya Roni penasaran dan sedikit khawatir. Raut wajah Syila tampak sangat menyedihkan.
"Nggak ada ternyata."
"Terus dari tadi lo disini sia-sia, dong?"
Syila hanya mengedikkan bahu. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana.
"Nyari di stand lain, coba."
"Gue tanyain ya?" Dika menawarkan diri. Cowok itu kemudian pergi, meninggalkan Syila dan Roni yang sibuk memikirkan jalan keluar.
"Di luar ada nggak, ya?"
"Huh?" Syila bertanya tidak mengerti. Roni sedang bicara dengannya, kan?
"Kalau Dika nggak nemu, ayo coba cari di luar. Gue inget, ada toko kelontong di deket sekolah. Kali aja disana ada."
"Ng.. nggak usah, deh. Biar gue nyari sendiri aja. Kalian balik ke kelas aja. Udah mau masuk."
Sungguh, Violet merasa tidak enak telah merepotkan dua cowok yang baru dikenalnya. Bahkan mereka adalah teman Alex, yang otomatis membuat keduanya terlibat jika terjadi apa-apa.
"Udah, nggak apa-apa. Mumpung kita jadi anak baik." Roni melihat Dika yang berjalan mendekat. Ia bertanya melalui tatapan matanya, dan Dika membalas dengan gelengan.
"Nggak ada semua. Satu kardus itu terlalu banyak." ucap Dika setelah sampai.
"Di luar ada kayaknya, Dhik."
"Di toko kelontong sebelah?"
"Iya. Kita coba lobi Pak Satpam biar dibolehin keluar."
Syila yang tidak tahu apa-apa hanya terdiam. Ingin menyanggah dan menyuruh dua cowok itu untuk kembali ke kelas, namun ia tidak memiliki waktu untuk bicara. Terlebih saat tangan Syila lebih dulu ditarik lalu diajak berlari entah kemana. Dia hanya bisa kebingungan.
Dengan napas terengah-engah, mereka akhirnya berhenti di depan kantor satpam di halaman depan.
"Ini mau ke mana?" tanya Syila.
"Mau bantuin lo."
Entahlah. Hanya Roni dan Dika yang tahu alasan mereka dengan senang hati menolong Syila yang bahkan baru mereka kenali secara langsung beberapa menit yang lalu.
Namun yang jelas, mereka memutuskan untuk tidak ikut membenci Syila seperti yang Alex lakukan.