Jam pelajaran ke empat berakhir menyisakan kepala panas karena pelajaran Fisika. Dari sekian banyak mata pelajaran, Syila paling lemah dalam pelajaran ini. Entahlah, dia selalu bingung kapan harus menggunakan rumus ini, kapan menggunakan rumus itu.
Jam istirahat baru saja berbunyi. Syila meletakan buku dan peralatannya ke dalam tas. Dia melirik Anisa yang melakukan hal yang sama.
"Anisa," Anisa langsung menoleh. "Kamu ngga ke kantin?"
"Enggak," Anisa menjawab dengan suara kecil. Tampaknya ia masih ragu mengobrol dengan Syila. Meski demikian, Anisa menganggap bahwa Syila adalah orang ternyaman yang bisa ia ajak mengobrol di kelas ini.
"Kenapa?"
"Aku... lagi diet."
"Oh..." Syila mengangguk paham. "Tapi tetap jangan lupa makan, ya? Nanti badan kamu sakit tambah repot," kata Syila ditambah senyum manis setelahnya.
"O..oke. Kamu sendiri, ngga ke kantin?" tanya Anisa balik.
"Ngga deh. Besok aja." Syila berniat tidur saja di jam istirahat ini. Dia harus tidur beberapa menit untuk meredamkan pusing di kepalanya. Kalaupun tidak tidur, setidaknya otaknya tidak dibuat berpikir dulu.
"Mau aku nemenin?"
"Boleh kalau kamu ngga keberatan. Daripada aku ke sasar nanti. Haha!"
Tawa Syila menular di bibir Anisa. Cewek itu ikut tertawa meski hanya sekilas. Hanya belum terbiasa berbagi tawa bersama orang asing.
Setelahnya, Syila mencoba tidur dengan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Beruntung suasana kelas tidak terlalu ramai. Kebanyakan masih di luar, entah ke kantin atau sekedar menghirup udara di luar sambil bercanda. Mungkin Syila bisa tidur lebih lama sampai jam istirahat berakhir. Setelah itu dia siap menerima pelajaran lain ke dalam otaknya.
Sebenarnya Syila masih memiliki tugas lain, yaitu berkenalan dengan seluruh teman sekelasnya. Harusnya seperti itu, namun Syila berubah pikiran ketika kepalanya lebih butuh diistirahatkan untuk saat ini. Mungkin Syila bisa berkenalan lain waktu. Esok hari atau di istirahat kedua pukul dua belas siang nanti.
Brak!
Namun, suara pintu yang terbuka kasar menghalangi Syila untuk masuk ke dunia mimpi lebih jauh. Cewek itu berdecak saat mendengar suara berisik diluar. Namun tetap saja, tidak berhasil membuat Syila sangat terganggu lalu berujung mengurungkan niat tidurnya.
"I.. Ila," Anisa mencoba membangunkan Syila meski cewek itu belum benar-benar tidur. Anisa menepuk pundak Syila dengan ragu. Sebenarnya dia tidak ingin mengganggu tidur Syila, namun mau tidak mau dia harus membangunkan cewek itu.
"Hm?" Syila menutup mulutnya saat menguap. Dengan terpaksa ia kembali menegakkan tubuhnya. Syila berpikir Anisa mungkin membutuhkan bantuannya. Atau mungkin ada yang mengganggu Anisa lagi?
"Kenapa, Nis?"
"Itu..."
Anisa menatap ke suatu tempat tanpa berkedip. Penasaran, Syila membalikkan badan dan mengikuti arah pandang Anisa.
Syila sedikit terlonjak saat ia berbalik dan langsung berhadapan dengan bagian perut seseorang. Dia mendongak, mendapati seorang Alex tengah menatapnya datar seraya mengantongi tangannya di saku celana.
"Enak banget lo tidur-tiduran?" tanya cowok jangkung itu, lantas tersenyum sinis.
Syila melirik belakang badan jangkung Alex. Para cewek berdiri di depan pintu dan mengintip dari jendela. Oh, ternyata suara berisik itu disebabkan cewek-cewek itu?
Syila kembali menatap Alex. Karena cowok itu berdiri sementara ia masih duduk, Syila harus mendongak tinggi-tinggi. Kepalanya sedikit pegal sekarang. "Serah gue lah." jawab Syila cuek. Syila memutar bola matanya malas saat para cewek melihatnya dengan pandangan seolah ingin menelannya. "Ngapain lo disini?"
"Nyokap gue nyekolahin lo disini bukan untuk numpang tidur!" Seolah tidak mendengar pertanyaan Syila, Alex malah menghujani Syila dengan kalimat dingin dan menusuk.
"Iya. Buat sekolah, kan? Tapi lo ngga tau sekarang masih jam istirahat?" Berbanding terbalik dari Alex, Syila justru membalas dengan santai.
Brak!
Alex menumpu kedua tangannya di meja Syila, lalu merendahkan tubuhnya agar bisa menatap tajam cewek pemilik bangku itu. Tanpa rasa takut, Syila membalas tatapan tajam itu. Mencoba membuktikan pada Alex bahwa dirinya tidak mudah ditaklukkan oleh cowok otoriter itu.
"Sorry, bisa munduran dikit? Kedekatan." Awalnya Syila berniat mendorong Alex sampai cowok itu berjarak cukup jauh, namun Syila harus menjalankan perannya dengan baik. Dia tidak boleh bertingkah tidak sopan pada majikannya. Ah, bahkan Violet masih berat memanggilnya sebagai majikan sementara cewek itu tidak tahu menahu soal pekerjaannya sekarang yang Alex bilang menjadi pelayan pribadi.
"Ngga mau," Bukannya menurut, Alex justru semakin merundukkan tubuhnya, hingga keduanya berjarak tidak lebih dari sepuluh sentimeter. Dari jauh, posisi tubuh Alex tampak ambigu. Cowok itu seolah sedang mencium Syila. Entah di kening atau bibirnya. Tak pelak hal itu membuat para cewek yang setia mengintip histeris. Mereka bersumpah rela menjadi pelayan jika mendapat perlakuan yang sama seperti yang Syila dapatkan.
Hanya saja mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa sebenarnya Syila ingin sekali mempertemukan dahinya dan milik Alex sekeras mungkin sampai membuat cowok itu kesakitan. Namun dia tetap bertahan. Mencoba mengikuti permainan Alex yang entah kapan habisnya. Mungkin sampai cowok itu bosan? Tetapi kapan?
Anisa yang menjadi saksi satu-satunya dalam jarak dekat hanya bisa menahan pekikan saat Syila mendongakkan kepalanya hingga jarak itu semakin menyempit. Dua batang hidung itu nyaris bersentuhan. Sama seperti tempo hari di kamar Alex ketika Syila ditahan disana.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" Senyum sinis tersungging di bibir tipis Syila saat mengatakannya. Sengaja berbicara formal seolah mengejek Alex bahwa dia juga bisa mempermainkan cowok itu.
"Gue ada tugas buat lo, Pelayan," balas Alex tak kalah sinis. Napas hangatnya dapat Syila rasakan karena jarak dekat itu.
"Silakan. Saya akan menurutinya selama tugas anda wajar dilakukan seorang manusia." Syila menanggapi, masih dengan kalimat formal yang terdengar konyol di telinganya sendiri.
Baru setelah itu, Alex memundurkan wajahnya dan kembali berdiri tegak. Diam-diam, Syila menghela nafas. Sejujurnya dia sedikit gugup karena pertama kali dilihat seintens itu oleh cowok dan dilihat banyak pasang mata pula.
"Beli in gue cola. Sekarang!" perintah Alex telak. Sebelah alis Syila menukik. Apa cowok itu baru saja menyuruhnya?
"Lo jauh jauh datangi gue cuma buat beli cola?"
"Kenapa? Keberatan?"
"Kaki lo masih berfungsi buat beli sendiri, kan?"
"Lo pelayan gue, kan?" tanya Alex balik. Telak hingga membuat Syila teringat bahwa ia tidak bisa menghindari perintah cowok itu.
Sekarang, siapa pun terutama para cewek tahu siapa Syila di sekolah ini. Dia diketahui hanya sebagai pelayan. Tidak lebih. Dan jika Syila menolak, maka namanya akan terlihat buruk oleh siapa pun. Mereka akan menganggap Syila tidak bertanggung jawab.
Kali ini Syila tidak menjawab. Bibirnya terkulum dan ia memalingkan wajahnya. Alex menunggu reaksi cewek itu sambil melipat tangannya di depan dada.
"Oke. Uangnya?" Akhirnya Syila kembali bersuara. Cewek itu menengadahkan tangan kanannya, memutuskan untuk menuruti perintah Alex. "Jangan sampai gue dengar, "pake duit lo dulu, besok gue ganti". Gue ngga suka ngutangin orang!" tambahnya dengan bibir bergerak senyinyir mungkin. Meniru orang-orang yang mengatakan hal yang sama.
Di sebelahnya, Anisa menahan tawa. Sengaja melihat keluar jendela agar tidak ada yang tahu bahwa ia tertawa saat ini.
Berani banget Syila melawan Kak Alex? batin Anisa kagum.
Alex mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil selembar uang seratus ribu dan meletakkannya di atas telapak tangan Violet.
"Kok banyak banget?"
"Beli sekerdus."
"Lo-"
"Gue ngga mau dengar bantahan. Setelah itu langsung anterin ke kelas gue, XII-A1," ucap Alex dengan cepat menyela sebelum Syila sempat protes. Cowok jangkung idaman para cewek itu lalu berjalan santai meninggalkan kelas Syila. Tentu diikuti oleh para cewek yang sedari tadi memenuhi depan kelas Syila.
Meninggalkan seorang Syila yang mendengus kesal. Bisa-bisanya dia dimanfaatkan Alex sesuka hati! Tahu begini, Syila tidak akan mau setuju disebut pelayan oleh cowok itu! Merepotkan saja!
"Ngga waras tuh cowok! Ngapain beli cola sekardus? Mau dipake berenang apa gimana?" gumam Anisa dengan perasaan kesal bukan main.
Lagi-lagi Anisa tertawa. Syila segera menoleh dan menggaruk tengkuknya malu. Tentu saja karena Anisa mendengar gumamannya dengan jelas.
"Kamu salah satu fans nya Alex juga?" Syila bertanya penasaran.
"Siapa sih yang ngga nge fans sama Kak Alex? Udah ganteng, tinggi, pinter, baik juga." tambah Anisa mengungkapkan kekagumannya pada sosok Alex. Cowok yang baru saja membuat Syila kesal setengah mati.
"Aku ngga." sahut Syila tidak terima. Anisa kembali tertawa. Benar-benar heran mengapa ada cewek seasyik Syila di hari pertama pertemuan mereka. Cewek itu seakan tidak mengenal rasa canggung sama sekali. "Bentar, bentar! Alex tuh baik?" tanya Syila memastikan. Telinganya seperti salah mendengar. Alex baik? Kenapa terdengar mustahil sekali?
Anisa mengangguk semangat. Seakan membicarakan Alex adalah hal paling menyenangkan di muka bumi. Ekspresinya juga lebih cerah daripada sebelumnya. "Kak Alex sering ikut charity yang diadakan sekolah."
Syila mengangguk paham, meski sebagian besar dalam hatinya tidak bisa langsung percaya. Ingatan tentang perilaku buruk Alex kepadanya mengaburkan bayangan perilaku baik cowok itu. Atau memang Alex hanya membenci Syila saja? Tetapi mengapa? Syila sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan apa pada cowok itu?
"Katanya disuruh beli cola? Kok belum berangkat?"
Syila tersadar dari lamunannya dan langsung teringat perintah dari Alex. "Oh iya! Aku lupa!" serunya cukup keras. Mampu membuat beberapa temannya yang berada di kelas menoleh dan memberi tatapan protes. Suara syila terlalu keras untuk mereka yang sedang asyik menonton film di laptop.
"Perlu aku anterin gak?"
"Ngga usah deh! Sendiri aja. Tapi tempatnya di mana?" Syila mengantongi uang dari Alex lalu berdiri dari kursinya.
"Lantai dasar. Kalau dari tangga belok kanan. Tempatnya dekat parkir karyawan." Anisa memberi petunjuk sejelas mungkin.
"Oke, Thanks!"