Chereads / life must Go on / Chapter 15 - Bab 15

Chapter 15 - Bab 15

"Selamat pagi!"

Bayangan tentang keterdiaman dalam kelas XI-A6 itu mendadak lenyap. Syila mengerjapkan matanya tidak percaya. Benar, kelas yang semula ia pikir dipenuhi siswa pendiam yang terpikir bersama buku pelajaran masing-masing, ternyata salah besar. Tidak ada yang membuka buku. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tidur, bergosip, main gitar, main kartu, main drum menggunakan meja sebagai alat, dan menonton film di laptop, serta hal lain yang tak terlihat langsung.

Bahkan sepertinya, tidak ada satu pun dari mereka yang mendengar sapaan sang guru. Padahal jelas-jelas pintu yang awalnya tertutup menjadi terbuka. Benar-benar tidak ada satu pun yang menyadarinya.

Inilah alasan mengapa Ika agak ragu memasukkan Syila ke dalam kelasnya. Karena Syila tampak seperti cewek lugu yang belum tersentuh oleh kenakalan remaja jaman sekarang. Jika mentalnya tidak kuat, Syila bisa saja stres dengan teman-teman barunya yang entah mengapa begitu kompak. Kompak membuat masalah, kegaduhan, keributan, kenakalan dan segala hal buruk lainnya. Ya, terlalu kompak sampai kelas itu dijuluki sebagai kelas neraka.

Indah yang baru beberapa bulan menjadi wali kelas XI-A6 sudah mulai sering merasakan kepalanya pusing akibat hipertensi. Padahal sebelumnya meski umurnya sudah menginjak usia lima puluh tahun, Ika rutin melakukan cek kesehatan dan hasilnya tidak memiliki gangguan kesehatan apa pun. Namun, setelah menangani anak didiknya yang begitu luar biasa, Ika harus rela memiliki penyakit hipertensi. Apalagi sebabnya kalau bukan menangani anak-anak yang tidak bosan membuat masalah dari hari ke hari. Bahkan belum ada satu semester, kelas XI-A6 sudah terkenal di penjuru sekolah SMA Nusa Bangsa. Terkenal oleh sebutan kelas neraka itu.

"SELAMAT PAGI!!"

Baru setelah suara melengking terdengar nyaring terutama di telinga Syila yang kebetulan berdiri tidak jauh darinya, para penghuni kelas itu mendadak sibuk kembali ke bangku masing-masing.

"Anjir ada Bu Ika!"

"Kok lo ngga ngomong, sih?"

"Gue juga ngga tau, Bego!"

"Minggir-minggir! Bangku gue tuh!"

Terdengar grusak grusuk selama beberapa menit. Ika menunggu dengan sabar, namun kontras dengan rahangnya yang mengeras karena sudah kepalang kesal dengan anak didiknya. Mau memarahi pun dirasa percuma. Anak muda dengan jiwa yang bebas tidak akan jera meski dimarahi sebanyak apa pun.

Kelas yang di mana tidak ada guru adalah definisi surga dunia para siswa yang tak ingin dilewatkan dengan membaca buku pelajaran. Jangan mencoba mengelak, siapa pun pasti pernah mengalami hal yang sama.

Setidaknya itu yang Ika pikirkan beberapa waktu lalu. Namun setelah para muridnya melakukan hal yang sama berulang-ulang, beliau pikir dia perlu memberi sedikit wejangan.

"Kalian itu susah sekali dibilangi buat ngga gaduh!" omel Ika sambil menggelengkan kepala.

"Dulu, waktu Ibu sekolah terus pelajaran kosong, Ibu gunakan sebaik mungkin buat belajar! Bukan malah kerjanya cuma main-main doang! Mau jadi apa kalian nanti?"

"Pfft... ngga mungkin." gumam seseorang.

Entah siapa yang memiliki sembilan nyawa untuk menantang Ika. Salah satu guru killer di SMA Nusa Bangsa. Killer dalam artian sangat jarang bicara, jarang pula mengomel kecuali kekesalannya sudah menumpuk. Namun nilai nol akan didapatkan tanpa syarat. Sekiller itu, jauh lebih menakutkan daripada dibentak langsung.

"Ada yang berani menjawab saya?! Kalian itu ngga pernah saya bicara terus didengarkan tanpa kasih komentar! Coba hargai orang lain yang sedang bicara!"

Semuanya terdiam. Tidak ada Satu pun yang berani menyanggah lagi, bahkan berusaha keras menahan napas masing-masing. Setelah dipastikan tidak ada kegaduhan lain, Ika melirik pada Syila yang sejak tadi terdiam. Keringat dingin mengaliri dari telapak tangan cewek itu. Gugup bercampur takut. Ternyata Ika yang tadinya menyapanya dengan ramah di ruang guru tadi memiliki ketegasan yang luar biasa.

Kelas mulai kondusif kembali. Ika beralih pada Syila yang hanya berdiri diam menunggu instruksinya.

"Ada hal yang perlu saya katakan pada kalian. Sekarang kalian punya teman baru." Ika kembali bicara, membuat penghuni kelas itu berbisik kecil. Karena terlalu takut dengan Ika, mereka tidak sadar dengan keberadaan seorang cewek di samping sang wali kelas. Cewek yang menggunakan seragam yang sama dengan milik mereka. "Syila, silakan perkenalkan dirimu."

Syila hanya mengangguk. Dia berdehem untuk membasahi kerongkongannya yang kering. "Hai semuanya. Perkenalkan, aku Asyila Anastasya. Biasa dipanggil Syila atau Ila. Senang bertemu kalian."

Syila menyelesaikan kalimat perkenalannya dalam sekali nafas. Ia mengulas senyuman ramah pada calon teman sekelasnya.

Hening. Tidak ada suara manusia yang terdengar.

"Apa seperti itu cara menyambut teman baru?", celetuk Bu Ika, sukses membuat muridnya gelagapan.

Satu detik kemudian, suara tepuk tangan terdengar bersahutan. Beberapa diantara nya, membalas sapaan Syila sambil melambaikan tangan.

"Hai, Ilaa!"

Bu Ila mengangguk puas. "Syila, ada dua bangku kosong di kelas ini. Kamu bisa memilih sendiri tempat dudukmu."

Bu Ika menunjuk bagian belakang kelas, tepatnya di depan lemari loker. Ada dua bangku kosong yang sama-sama terletak di belakang. Bedanya, satu bangku sendirian, sedangkan satu bangku lagi bersebelahan dengan bangku milik seorang cewek.

"Saya boleh ke sana sekarang, Bu?"

"Silakan!"

"Terima kasih banyak, Bu Ika." ucap Syila tulus, kemudian melangkah menuju bangku yang dipilihnya. Bangku kosong di sebelah seorang cewek bertubuh agak gemuk. Dia memberi senyum singkat, lantas meletakkan tasnya di laci meja.

"Kalau begitu saya akan keluar. Siapa yang mengajar jam pertama?"

"Pak Indra, Bu." jawab salah seorang siswi yang duduk di bangku paling depan.

"Baiklah. Kalian tunggu sampai Pak Indra datang. Kalau sepuluh menit tidak datang, ketua kelas wajib mencari beliau di ruang guru. Paham?"

"Paham, Buuu!" seru semuanya, kompak.

"Saya keluar. Jangan gaduh dan pelajari buku kalian masing-masing!" pesan Bu Ika sebelum melangkah keluar dari kelas.

Begitu Bu Ika keluar dan sosoknya tak terlihat lagi, suasana kelas itu kembali gaduh. Tidak ada yang duduk tenang dan membuka buku, seolah kemarahan Bu Ika hanyalah angin lalu yang tak perlu dipermasalahkan. Bahkan mungkin, mereka juga melupakan keberadaan Syila sebagai teman baru mereka.

Suara petikan gitar kembali terdengar nyaring, dilengkapi dengan suara sumbang manusia manusia yang tidak memiliki skill menyanyi. Masa bodoh! Yang penting adalah menyenangkan diri sendiri.

Satu hal yang baru Syila tahu, ternyata ruangan kelas ini memiliki dinding kedap suara. Pantas saja kegaduhan itu tidak terdengar keras dari luar. Lokasi kelas di paling ujung juga sepertinya berpengaruh besar pada isi kelas yang bar-bar. Tetapi, tidak mungkin hanya karena keributan yang wajar seperti ini, lantas membuat kelas ini menjadi spesial, kan?

"Perawan tua itu bikin jantung mau lepas aja. Sialan!"

Syila sedikit terlonjak karena terkejut oleh umpatan dari seorang cowok di sampingnya. Cowok yang sekarang asyik dengan ponselnya, sepertinya tengah bermain game online yang lagi trendi akhir akhir ini. Beberapa kali Syila terkejut saat cowok itu mengumpat lagi sambil menekan-nekan layar ponselnya dengan ganas.

Ah, sekarang Syila melihat sendiri bagaimana rusuhnya kelas XI-A6 ini. Selain kegaduhan sampai membuat telinga berdengung saking kerasnya, mereka juga sepertinya pandai dalam berkata kasar. Atau bahkan bisa lebih dari keduanya. Syila hanya perlu bersiap-siap mendapat kejutan itu.

Tak lama kemudian, Syila menoleh ke arah teman sebangkunya yang hanya diam saja tidak ikut membuat kegaduhan. Cewek itu hanya menunduk, sibuk dengan layar ponselnya yang menyala tanpa peduli sekitarnya. Kalau dilihat, hanya cewek itu yang tidak ada aktivitas 'rusuh'. Sibuk menunduk dan sesekali melihat ke arah luar karena bangkunya terletak di paling pojok.

"Eung... hai? Nama kamu siapa?" Syila memutuskan untuk menyapa cewek itu. Baginya, teman sebangku adalah teman pertama yang harus dikenal. Terlepas dengan siapa akhirnya Syila akan berteman dekat nantinya.

Cewek itu menoleh sekilas, lalu kembali memalingkan wajahnya pada layar ponsel. Namun Syila dengan sabar menunggu cewek itu bicara. Paling tidak, mengucapkan siapa namanya.

"Anisa"

"Huh?" Syila memberi isyarat agar cewek itu mengulang ucapannya. Dia tidak bisa mendengar jelas. Entah karena telinga Syila bermasalah, atau suara sekitar terlalu keras, atau karena suara cewek itu terlalu pelan

"Anisa," ucap cewek itu. Kali ini lebih keras dan jelas.

"O-oh Anisa. Maaf ya, ngga dengar jelas soalnya."

Cewek bernama Anisa itu mengangguk paham.

"Kamu ngga keberatan kan aku duduk di sebelah kamu?"

Anisa menggeleng pelan. Syila tersenyum. Ia merasa lega karena secara tidak langsung Anisa mengizinkannya duduk sebangku.

"Makasih."

"He, Mbrot!"

Syila menoleh ke asal suara, sementara Anisa justru menunduk seakan tidak mendengar itu.

"Udah gembrot, budeg juga lo?"

"Ng... maaf. Kamu... manggil siapa?"

Cewek yang baru memanggil entah siapa dengan kata kasar itu mendekati Syila.

"Gue lupa belum kenalan." Cewek itu mengulurkan tangan. "Gue Agnes, wakil ketua kelas."

Syila membalas jabatan tangan Agnes, tidak lupa dengan ulasan senyum. "Syila."

"Oh ya, lo barusan tanya siapa yang gue panggil?"

Syila mengangguk. Agnes menunjuk ke satu arah dengan dagunya. "Tuh! Si Gembrot sebelah lo."

Syila menoleh secepat kilat, tidak menyangka jika panggilan kasar itu diberikan pada teman sebangkunya. Anisa menunduk semakin dalam. Ia sangat malu karena dibully tepat di depan teman barunya.

Pasti sebentar lagi Syila pasti juga akan ikut membullynya. Anisa yakin sekali dengan hal itu.

"Maaf. Tapi kamu kedengaran ngga sopan banget." kata Syila menghardik dengan kalimat sopan.

"Lho? Emang kenyataannya gembrot, kan?"

"Tapi itu bikin Anisa sakit hati. Harusnya kamu malu sama jabatan kamu kalau masih berkata kasar ke orang lain, bahkan teman sekelasmu sendiri."

Anisa menatap Syila dengan intens. Ada suatu rasa haru ketika Syila membelanya tanpa gentar sama sekali. Selama ini, tidak ada satu pun orang yang mau yang membela Anisa. Mereka begitu menikmati ejekan demi ejekan yang ditujukan pada tubuh berisinya. Anisa tidak melawan bukan berarti suka diejek, dia hanya tidak ingin menambah masalah di kelasnya yang sudah terkenal sebagai biang masalah.

"Cih! ngga usah sok ya lo! Mentang-mentang dipungut sama keluarga Prawira terus pindah kesini sebagai pelayan Kak Alex."

Pelayan lagi, kenapa sih.

Syila yakin para cewek yang berkerumun di halaman sekolah tadi pagi tidak terlalu banyak, setidaknya tidak seluruh cewek di SMA Nusa Bangsa berkumpul disana. Tetapi kenapa setiap cewek yang berpapasan dengannya selalu tahu tentang hal itu? Apa mungkin berita soal dirinya yang menjadi pelayan pribadi Alex menyebar secepat itu?

"Mau itu pelayan, wakil ketua kelas, cewek gendut, cewek kurus atau siapa pun, ngga ada yang boleh membully dan dibully." Syila merasakan tangannya ditarik seseorang. Ia menoleh dan mendapati Anisa menatapnya sendu sambil menggeleng pelan.

"Ck! Malesin banget sih!" Akhirnya Agnes berbalik dengan raut dongkol, tidak jadi membahas sesuatu bersama Anisa.

Pegangan Anisa di tangan Syila terlepas. Syila menatap cewek itu yang kembali menunduk.

"Maaf, kamu sering digangguin mereka, ya? Kamu kok diam aja?" tanya Syila dengan pelan layaknya bisikan.

Anisa mengangguk. "Mereka cuma bercanda kok." jawab Anisa seolah dirinya terbiasa mendapat perlakuan tak mengenakkan karena bobot tubuhnya. Padahal sedikit banyak Anisa juga merasa sakit hati. Kehadirannya di kelas XI-A6 ini seakan hanya menjadi bahan candaan teman-temannya saja. Alhasil, Anisa harus rela duduk sendirian di bangku paling belakang dan pojok.

"Sabar, ya? Lama-lama nanti mereka bakal bosan gangguin kamu kok." Syila mengangkat tangannya ragu, mengusap kecil bahu Anisa untuk menenangkannya.

Sementara itu, Anisa menoleh terkejut. Rasa haru dan nyaman bercampur menjadi satu, membuat Anisa tanpa sadar menarik kedua sudut bibirnya ke atas pada teman sebangkunya itu.

"Makasih, Syila." Ucapnya lirih. Entah Syila mendengar ucapannya atau tidak.