Chereads / life must Go on / Chapter 14 - Bab 14

Chapter 14 - Bab 14

"Selamat pagi Bu Ika."

Seorang wanita yang baru saja disapa dengan nama Bu Ika mendongak. Dia segera mengabaikan tumpukan berkas, lalu memusatkan perhatiannya pada Lidia dan juga seorang perempuan disebelahnya.

"Iya. Ah, silakan duduk dulu." ucap Ika disertai sebuah senyum ramah.

Syila diam-diam mengamati wanita itu. Rahang yang tegas, wajah yang dihiasi garis-garis tipis penanda usia, dan senyuman ramah nan menyejukkan. Ika seperti tipikal guru yang fleksibel, dengan kata lain bisa ramah pada orang-orang biasa dan bisa menakutkan bagi murid nakal. Tetapi Syila juga tidak tahu jelas. Tentu saja karena dia belum mengenal sang guru secara langsung.

Sementara itu, Ika lalu memandang Lidia dan Syila bergantian. Keduanya lalu duduk bersebelahan di kursi yang disediakan di hadapan meja kerja Ika.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu Lidia?"

"Perkenalkan, Bu Ika, ini Syila. Murid baru yang akan menjadi murid di kelas Bu Ika."

Syila berdiri sejenak untuk mencium tangan gurunya itu. "Saya Syila, Bu."

Ika membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. Dia memperhatikan Syila dengan saksama. "Di kelas saya?" tanyanya seolah ada yang salah dengan pendengarannya.

"Iya, Bu. Di kelas XI-A6. Bu Ika wali kelas XI-A6, kan?"

"Benar. Tapi anda tahu kan gimana kelas saya itu?"

Syila menatap Lidia dan Ika bergantian dengan bingung. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa. Memangnya ada apa dengan kelas XI-A6? Bukannya setiap kelas sama saja?

"Iya. Tapi kesiswaan terpaksa memasukkan Syila ke kelas tersebut karena kelas lain kuota siswa maksimalnya sudah penuh. Yang tersisa hanya di kelas XI-A6." Lidia menjelaskan panjang lebar namun syila tidak memahami pembicaraan mereka sedikit pun.

Ika mengangguk paham. Namun dia masih ragu untuk memasukkan Syila ke kelas itu karena suatu hal.

"Bagaimana, Bu Ika?" Lidia kembali bertanya untuk memastikan.

"Kalau memang tidak ada pilihan lain, Syila akan menjadi siswi kelas XI-A6." ucap Ika final.

"Baik, Bu Ika. Jika demikian, silakan tanda tangan surat persetujuan ini. Setelah itu saya akan membawanya ke kesiswaan untuk diurus lebih lanjut."

Lidia menyerahkan berkasnya, membiarkan Ika menorehkan tanda tangannya diatas kertas yang menuliskan bahwa beliau bersedia menjadi wali kelas syila.

"Terima kasih, Bu Ika." ucap Lidia sementara Syila menggumamkan hal yang sama.

"Oh ya, sebentar. Syila?" Ika menahan syila yang akan pergi -dengan ragu.

"I iya Bu?"

"Kalau ada apa-apa selama kamu belajar di kelas nanti, jangan sungkan untuk memberitahu saya, ya?"

Syila hanya mengangguk. Ika tersenyum sebagai balasannya.

~~~

"Bu Lidia," panggil syila yang sedari tadi pikirannya dipenuhi rasa penasaran.

"Kenapa, ila?" Lidia mengalihkan pandangannya dari berkas . Saat ini keduanya masih di ruang guru, di sofa yang sama yang diduduki syila tadi. Bedanya sudah tidak ada tiga cewek yang tadi membicarakan syila. Syukurlah, syila tidak perlu mendengar gosip gosip mengenai dirinya lagi.

"Memangnya ada apa sama kelas XI-A6?"

Lidia kembali sibuk dengan urusannya. Dia hanya tersenyum tipis sebagai respon atas pertanyaan penuh rasa penasaran itu. Namun melihat syila yang benar-benar ingin tahu, Lidia mau tidak mau menjawab juga. "Nggak ada apa-apa, kok. Nggak usah cemas."

Syila akhirnya mengangguk kecil. Dia kembali terdiam, hanya melihat kesibukan Lidia karena tidak bisa membantu apapun. Hingga beberapa saat kemudian, Syila merasa kandung kemihnya penuh. Dia memerlukan toilet secepatnya.

"Bu Lidia, saya boleh ke toilet sebentar?"

"Iya, boleh. Kamu tau di mana toiletnya?"

Syila menggeleng pelan dan tersenyum tidak enak. "Belum tau, Bu."

"Toiletnya dari sini belok kanan, ada di ujung bawah tangga."

"Oh disana. Kalau begitu saya permisi bentar, Bu!"

Syila pergi ke toilet sesuai dengan petunjuk arah yang Lidia berikan. Untuk kesekian kalinya, Syila berdecak kagum. Bahkan toiletnya saja sangat bersih dan mewah layaknya di mal besar. Terdiri atas beberapa bilik, wastafel lengkap dengan cermin besar, dan alat hand dryer. Dan semua itu serba bersih.

Syila memasuki biliknya dalam beberapa menit, lalu mencuci tangannya di wastafel sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Mengamati wajahnya yang terpoles bedak bayi dengan saksama, lantas teringat dengan perkataan cewek di ruang guru tadi.

Ya iyalah nggak secantik mereka. Boro-boro perawatan, sabun cuci muka abis aja masih dibilas pakai air. Mereka mana pernah? gumam syila sambil terkikik. Beruntung toilet itu sepi dan hanya ada syila saja. Kalau tidak, mungkin syila dianggap orang aneh karena bicara sendiri dengan bayangannya di depan cermin.

Dua menit kemudian, syila bersiap kembali ke ruang guru. Ketika akan keluar dari toilet, syila berpapasan dengan tiga cewek yang tadi ditemuinya. Entah mengapa mereka belum juga kembali ke kelas masing-masing.

"Bentar," Salah satu dari cewek itu menahan pergelangan tangan syila, lalu dilepas secepat kilat sambil mengibaskan tangannya dengan ekspresi jijik.

Syila tersenyum tipis. Mungkin cewek itu mengira tangannya kotor setelah masuk kamar mandi. "Iya?"

"Lo... beneran pelayannya Kak ales kan ya?"

"Menurut kalian?" tanya stila balik. "Bukannya ucapan alex udah jelas tadi?"

"Oh, yaudah. Gue harap lo nggak lupa posisi lo. Inget, lo cuma pelayan! Nggak usah nyari kesempatan buat deketin Kak alex. Ngerti?!"

"Eung... oke!"

Syila berbalik, berjalan lurus tanpa mengindahkan ketiga cewek itu lagi. Oh, syila menjadi sadar akan sesuatu. Dia harus mempersiapkan diri saat mendapat ancaman serupa di lain waktu.

Ancaman untuk menjauhi alex. Well, tanpa disuruhpun, syila pun dengan ikhlas menjauhi cowok itu. Dia tidak memiliki alasan untuk mendekati alex ketika segala hal yang membuat syila jengkel dimiliki oleh cowok itu.

~~~

"Ayo syila, saya antar kamu ke kelas XI-A6." Ika datang dari meja kerjanya dan menghampiri syila yang masih duduk di sofa ruang guru.

Kemudian syila mengangguk. Dia berdiri dari kursinya, bersiap mengikuti Ika ke kelas barunya.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Ada pekerjaan lain di Kesiswaan yang harus saya kerjakan." Lidia beralih pada syila dan syila segera mencium tangan wanita itu. "Selamat belajar di kelas baru, syila."

"Terima kasih banyak, Bu Lidia." ucap syila dengan tulus. Dia sungguh berterima kasih pada wanita yang rela mengurus semua keperluan syila pagi ini. Bolak-balik dari ruang satu ke ruang lain, fotokopi, dan meminta tanda tangan hingga akhirnya tugasnya selesai.

"Iya, sama-sama. Kalau perlu bantuan, jangan segan hubungi saya, ya? Kamu menyimpan nomor saya, kan?" balas Lidia.

Syila hanya mengangguk dengan mantap. "Iya, Bu. Dan saya permisi dulu, ya?"

Ketiganya berpisah di koridor. Syila dan sang wali kelas akan pergi menuju kelas XI-A6 di lantai dua, sementara Lidia berbelok ke ruang Kesiswaan yang letaknya bersebelahan dengan ruang guru.

Syila dan Ima berjalan melewati koridor untuk sampai di kelas XI-A6. Mata cewek itu tidak berhenti berpendar. Entah berapa kali syila merasa disini lebih mirip hotel daripada sekolah.

Pantas saja SMA Nusa Bangsa disebut sebagai sekolah elite. Dari gedung dan isinya saja sangat jauh dari kata kotor dan lusuh. Lantai abu-abu mengkilap, dinding putih bersih seolah tidak pernah disentuh oleh siswa nakal bertangan gatal yang suka merusak fasilitas, dan tanaman hijau yang terawat menghiasi setiap tempat. Tampak sangat elegan sekaligus menyegarkan.

Entah berapa banyak uang yang raka dan vina keluarkan untuk menyekolahkan syila di sekolah elite ini. Syula tidak berminat menghitung atau kepalanya akan sibuk memikirkan uang daripada pelajaran. Padahal syila tidak masalah jika pindah di sekolah umum saja.

Kemana saja tidak masalah selama syila bisa lulus sekolah. Syila hanya ingin menuruti permintaan almarhumah bundanya, yang meminta syila tetap melanjutkan sekolah hingga lulus SMA. Sebuah harapan dari seorang ibu yang tidak memiliki pendidikan tinggi sehingga berharap sang putri tidak mengikuti jejaknya. Syila harus sekolah dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik nantinya. Tidak hanya sebagai pembuat kue seperti sang bunda.

Kelas XI-A6 ternyata terletak di koridor paling ujung di lantai dua gedung. Karena letaknya paling ujung, tidak banyak yang melewati depan kelas tersebut. Membuatnya terlihat sunyi dan sepi. Bagi orang asing yang baru pertama kali kesana seperti Syila, terbayang bagaimana pendiamnya penghuni kelas itu.

Syila meremas tali tasnya gugup. Tidak lama lagi ia akan bertemu teman-teman barunya. Dia tak hentinya berdoa agar dia bisa diterima di dalam kelas itu. Setidaknya, syila tidak ingin diperlakukan berbeda karena ia adalah pelayan pribadi alex. Oh, semoga saja tidak ada yang tahu tentang perihal itu!