"Dia adalah pelayan yang dipekerjaan buat nemenin gue di sekolah. Jadi, kalau ada urusan apa pun, gue bisa nyuruh dia kapanpun gue mau."
Sikap santai alex berbanding terbalik dengan reaksi para cewek cewek disana. Mereka tampak terkejut pada detik pertama, kemudian berganti menjadi helaan napas penuh kelegaan. Kecemasan yang dirasakan hampir seluruh cewek itu memudar dengan sendirinya. Sebagian besar kembali menyunggingkan senyum centil masing-masing, dan sebagian lainnya... menatap syila dengan pandangan sinis.
"Aduh... syukur deh..."
"Anjir bikin jantungan! Untung cuma pelayan!"
"Pelayan nggak tau diri! Seenaknya duduk semobil sama Kak alex!"
"Jelas lah! Nggak mungkin tipe seorang Alex Prawira berubah sedrastis, jadi kampungan gini!"
"Bener! Dari sebening embun sampek selusuh air comberan? Gak mungkin lah!"
"Huft... untung masih ada kesempatan!"
Alex mulai tersenyum penuh ejekan melihat wajah syila yang benar-benar terbakar amarah. Bibir cowok itu tersungging sebelah, membuatnya tampak semakin tampan di mata para cewek yang entah kapan mau membubarkan diri itu. Yeah, mungkin bagi mereka, alex tidur lelap sampai dihiasi iler pun tetap terlihat tampan.
"L-lho, tapi kan..."
Pupil mata alex melebar. Sepertinya cowok itu lupa jika masih ada Yusman yang bisa mendengar ucapannya meski masih berada di balik bangku kemudi. Pria yang baru saja turun dari mobil itu memandang Tuan Muda nya dengan ekpresi wajah terkejut. Yusman tidak lupa dengan perkataan vina bahwa alwz dan syila sekarang adalah saudara sepupu, hingga harus dilayani sebaik mungkin. Bukan sebagai pelayan yang terdengar sangat tidak pantas didengar itu.
Sementara itu, ekspresi wajah alex sedikit berubah tegang. Tidak lucu kalau Yusman mengatakan kenyataan pada setiap orang dan menghancurkan semua rencananya.
"Bukannya mbak syila itu-"
"Pak!" Sebelum alex bertindak, syila segera menyela lebih cepat untuk menahan Yusman bicara lebih jauh. Syila meraih tangan Yusman lalu menggeleng pelan. Seakan memberi isyarat agar pria itu tidak melanjutkan ucapannya.
Alez diam-diam bernapas lega. Syukurlah tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Tak berapa lama, suara bel tanda jam belajar dimulai berbunyi nyaring. Satu persatu cewek yang berisik di halaman sekolah membubarkan diri. Hanya tersisa beberapa yang masih memberi tatapan sinis penuh keirian pada Syila. Memangnya siapa yang tidak iri melihat syila duduk di mobil yang sama dengan alex? Bisa melihat cowok jangkung itu sepuasnya dan tidak hanya sekilas saat dia lewat, bisa mengajaknya bicara tanpa takut dibentak karena dirasa mengganggu, atau bahkan bisa mencuri kesempatan untuk berkontak langsung dengan alex. Namun, yang mereka tatap sama sekali tidak peduli.
"Ngapain masih di sini? Ayo cepat masuk! Kalian gak denger bel?!" hardik salah seorang satpam. Sebenarnya satpam itu terbiasa melihat pemandangan alex yang dikerumuni banyak cewek, entah itu setiap berangkat atau pulang sekolah yang mampu menciptakan keramaian di depan gerbang. Namun melihat kerumunan itu masih ada sampai jam masuk, pria itu menjadi jengah dan terpaksa membubarkan semuanya. Alhasil, siapapun mulai melangkah ke gedung sekolah, termasuk alex yang berjalan santai seolah ia tidak melakukan dan membuat keributan apapun.
"Ayo masuk, Mbak." Lidia memutuskan untuk menghampiri syila, karena syila terus saja gagal menghampirinya karena ditahan Oleh Alex.
"Iya, Bu. Sebentar," syila diam-diam menghela napas. Ia harus segera melupakan emosinya. Banyak hal yang lebih penting daripada memikirkan perkataan Ega yang sangat mengejutkan itu.
"Saya masuk dulu ya, Pak. Pulangnya hati-hati." pamit syila pada Yusman. Pria itu memandang syila dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Seperti... ragu? Dan syila tiba-tiba teringat sesuatu yang sangat penting. "Eung, Pak, tolong jangan kasih tau Tante vina soal barusan, ya?"
"K-kenapa, Mbak? Bu Vina harus tau masalah ini."
"gak apa-apa, Pak. Saya nggak mau nambah bebannya Tante vina yang harus mikirin saya terus. Beliau kan sibuk banget. Saya bisa ngatasin masalah ini sendiri kok. Termasuk-" syila memasang wajah dongkol dan merendahkan suaranya. "-mengatasi majikan Pak Yusman yang satu itu."
Yusman tampak berpikir, namun akhirnya ia mengangguk. "Iya deh, Mbak. Saya pulang dulu. Mari, Bu." Yusman menyapa Lidia sebentar, lalu memasuki mobil dan mengendarai mobilnya keluar dari halaman sekolah.
Syila menatap mobil hitam itu yang semakin menjauh, menyadarkan dirinya bahwa ia harus menghadapi banyak hal tak terduga lain di sekolah ini. Seperti... dicap sebagai pelayan? Atau bahkan mendapat perlakuan seperti pelayan dari alex dan semua orang?
Namun kalau itu yang alex inginkan, baiklah! Ayola akan mengikuti permainannya. Syola ingin melihat sejauh mana alex bertingkah kekanak-kanakan dengan mengakui syila sebagai pelayannya. Apa alex tidak memikirkan konsekuensi jika nantinya vina tahu? Bagaimana kalau didengar orang lain yang mengenal vina, lantas memberitahu vina tentang semuanya?
Dan Alex pun tahu jika syilal tidak suka disuruh-suruh tanpa alasan yang jelas. Semoga saja alex tidak menyesal telah bermain-main dengan syila.
~~~
Syila dan Lidia berjalan beriringan menuju ruang guru untuk mengurus tahap terakhir kepindahan syila, yaitu menentukan kelas yang akan ditempati syila nantinya. Syila memegang tali tasnya erat-erat sambil menghafal jalan yang telah dilalui untuk sampai di ruang guru.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Lidia ragu-ragu. Melihat syila yang terus diam membuat wanita itu sedikit khawatir oleh satu hal.
"Tidak apa-apa kok, Bu. Emang saya kenapa?"
"Tadi saya denger ucapan alex. Kamu pasti sedih banget nggak diakui sebagai-"
"Ehm! Bu Lidia." syila menyela halus sambil tersenyum. Matanya melirik sekitar, beruntung tidak ada orang lain yang bisa saja mendengar ucapan Lidia yang misterius itu. Bisa bahaya kalau identitas yang dibuat vina tersebar. Lebih baik syola dikenal sebagai pelayan alex daripada sepupunya. Setidaknya syila tidak perlu menyusun skenario tentang keluarganya yang memiliki hubungan darah dengan keluarga Prawira. Kalau ada yang bertanya perihal siapa keluarganya, syila harus jawab apa? Ditambah lagi, entah mengapa syila sangat yakin bahwa keluarga Prawira terkenal di sekolah ini. Sekali saja dia bohong dan mengarang cerita, pasti akan banyak yang tahu. Dan namanya akan semakin buruk, jauh lebih buruk dari yang mungkin dia pikirkan.
"Eung... ini ruang gurunya?" tanya syila mengalihkan pembicaraan. Dia menunjuk sebuah ruangan dengan dua daun pintu. Ruangan yang terlihat dari kaca luar dan tampak sibuk dengan banyak orang di dalam sana.
"Iya, Mbak." Lidia mengajak syila masuk dan menghampiri sebuah sofa yang digunakan untuk tamu tidak jauh dari pintu. "Silakan duduk dulu. Saya mau ke bagian Kesiswaan sebentar."
Syila segera mengangguk. Ia melangkah menuju sofa melingkar dalam ruangan yang cukup luas itu dan duduk di salah satu sisi sofa. Matanya berpendar ke sekitar, melihat para guru mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dan beberapa di antaranya keluar untuk mengajar di kelas sesuai jadwal. Syila memberi senyuman tipis pada siapa pun yang menyadari keberadaannya.
Syila ingat perkataan bundanya, bahwa senyum adalah langkah paling utama untuk mulai beradaptasi di lingkungan baru. Seperti menciptakan kesan ramah pada siapapun.
Syila tersenyum kembali saat tiga siswi memasuki ruangan itu. Sayangnya, senyuman syila dibalas dengan tatapan sinis dari mereka. Syila hanya mengedikkan bahu tak peduli. Toh syila tidak mengharap balasan apa pun. Senyumannya juga tidak perlu dibayar dengan balasan senyuman juga.
Tiga siswi itu ikut bergabung dengan syila di sofa. Hanya saja, ketiganya mengambil jarak agak jauh dari tempat syila duduk. Mereka berbisik-bisik, namun entah bagaimana syila bisa mendengarnya dengan jelas. Sepertinya memang sengaja agar syila mendengar pembicaraan tentangnya sendiri.
"Itu cewek yang tadi, kan?" Salah satu dari tiga siswi itu bicara sambil melirik syila. Suaranya yang keras bahkan tidak bisa dikategorikan sebagai bisikan.
Sepertinya syila perlu menemukan kesibukan agar tidak terlalu memikirkan perkataan mereka. Namun syila terlalu malas untuk membuka ponselnya untuk mengalihkan perhatian, dan juga terlihat sangat tidak sopan. Pandangannya lalu tak sengaja tertuju pada vas bunga dengan bunga mawar asli yang diletakkan di meja hadapannya. Syila mendekat untuk memastikan bahwa bunga mawar di vas itu memang asli, bukan bunga plastik seperti kebanyakan. Tanpa sadar syila tersenyum. Tangkai bunga mawar itu memang asli. Beberapa titik air tertinggal di permukaan kelopaknya yang halus, membuatnya tampak segar dan memanjakan mata syila yang terbiasa melihat berbagai macam bunga milik sang bunda. Syila sangat takjub, siapa yang sangat rajin mengganti bunga segar yang pasti mengering hampir setiap hari? Mungkin salah satu alasan mengapa biaya sekolah disini mahal, adalah karena perlu banyak dana untuk membeli bunga mawar segar demi mempercantik meja tamu di ruang guru.
"Kayaknya dia sekolah disini dibayarin keluarga Prawira."
"Jelas! Nggak mungkin cuma pelayan doang bisa bayar biaya sekolah disini. Gajinya sebagai pelayan nggak akan cukup." sahut yang lain.
"Bahkan kayaknya dia nggak sanggup beli bunga. Tuh! Liat vas bunga aja kayak habis dapet harta karun."
Syila tidak tuli. Dia mendengar semuanya. Syila berpikir seberapa besar pengaruh alex dan keluarga Prawira di sekolah ini hingga semua orang membicarakannya. Bahkan sampai mengomentari perilaku syila yang tidak ada hubungannya dengan alex. Atau diperjelas lagi, apa yang spesial dari sosok alex hingga cowok jangkung itu sukses menarik perhatian para cewek?
Tampan? Syila yakin banyak yang lebih tampan dari cowok itu. Bahkan di sekolahnya yang lama, syila sempat menyukai kakak kelasnya yang menurutnya lebih tampan dari alex. Atau mungkin perkara kekayaan? Ah, sepertinya itu adalah alasan utama. Bukankah memiliki pujaan hati yang kaya raya bisa membahagiakan hidupmu? Dan satu lagi, sifat dingin alex apakah masuk hitungan? Mungkin, iya. Karena banyak yang bilang jika sifat dingin cowok bisa menimbulkan rasa penasaran dan menguarkan pesona tersendiri.
Namun sayangnya, syila tidak penasaran sama sekali. Dia juga tidak menemukan pesona dalam diri alex. Cowok itu biasa-biasa saja di matanya. Bahkan memiliki nilai minus atas perilaku kurang ajar ketika cowok itu mengancamnya di pertemuan kedua mereka, mencuri ciuman pertama syila dan sekarang mengarang cerita bahwa syila adalah pelayan pribadinya.
Sialan! Dari beberapa perlakuan tidak menyenangkan alex, entah mengapa ingatan tentang ciuman itu yang paling cepat terlintas di kepalanya. Ah, mungkin karena hal itu paling menyebalkan daripada perlakuan alex lainnya.
"Mbak syila,"
Syila membuyarkan fokusnya pada vas bunga ketika namanya dipanggil. Dia mendongak, melihat Lidia yang memanggil dan kini berjalan menghampirinya.
"Ayo saya antar ke wali kelas kamu. Sebentar ya," Lidia tampak seperti mencari seseorang. Melihat ke kanan dan kiri untuk menemukan seseorang yang dibutuhkannya. Tak lama kemudian, Lidia menemukan orang itu. Meja kerjanya yang berada di sudut membuat Lidia sedikit kesulitan mencarinya. "Nah itu dia."
Syila mengangguk, ia hanya menuruti ke mana Lidia pergi karena dia memang tidak tahu harus melakukan apa. Langkahnya ikut berhenti ketika Lidia berhenti sebentar.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Lidia ke arah tiga siswi yang tadi membicarakan syila. Syila mengedarkan pandangannya ke sekitar, berusaha tidak menatap siswi-siswi itu.
"Ada urusan sama Pak Johan, Bu. Beliau masih ada kepentingan jadi kami disuruh menunggu di sini." jelas salah satu siswi itu. Tersenyum polos seolah tidak pernah berbuat dosa meskipun beberapa detik yang lalu membicarakan syila dengan begitu sinisnya.
"Oh ya sudah." Selanjutnya Lidia kembali bicara dengan syila. "Ayo, Mbak syila!"
"Oh, namanya syila."
"Namanya bagus, ya? Tapi sayang gak cocok sama wajahnya."
"Iya. Keliatan banget gak pernah perawatan sama sekali. Maklum, pelayan."
"Jangankan perawatan, kayaknya beli make up juga gak bakal sanggup."
Bahkan dari jauh, syila masih bisa mendengar mereka masih membicarakannya. Namun, syala berusaha menahan diri. Dia tidak ingin menambah musuh di hari pertamanya di sekolah baru. Menambah teman itu lebih penting, bukan?