Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Jam yang tergantung di dinding kamar kost berukuran 3x3 meter itu bergaya klasik dengan gandul yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak berselang lama seorang gadis yang berbalut selimut tebal bermotif bunga sakura, tak jauh dari posisi jam dinding tersebut perlahan membuka kedua matanya sambil meregangkan badan. Gadis berambut ikal sebahu itu masih mengenakan piyama merah muda bermotif bunga-bunga kecil. Gadis itu bernama Jihan. Jihan melirik jam dinding klasik kesayangannya itu.
"What? Sial gue telat bangun!" pekik Jihan spontan setelah mengetahui jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat sepuluh pagi.
Jihan langsung bergegas ke kamar mandi dan cepat-cepat mandi seadanya. Ia takut terlambat mengantarkan susu ke rumah-rumah pelanggannya. Tak sampai sepuluh menit Jihan sudah berganti setelan. Ia hanya memakai kaus oblong putih dengan jaket denim oversize kesayangannya dan celana jeans selutut senada dengan jaket denimnya. Saat itu ia tidak sempat sarapan dan langsung bergegas berangkat kerja.
Beginilah kehidupan seorang Jihan sehari-hari. Usianya sudah 25 tahun. Namun Jihan belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ia hanya bekerja part time dari waktu ke waktu. Pagi hari ia bekerja sebagai pengantar susu. Siangnya ia bekerja di sebuah restoran chinese di dalam mall besar. Tidak hanya sampai itu. Malamnya Jihan bekerja di sebuah mini market 24 jam dekat kawasan kost-nya. Untuk menambah penghasilan hariannya, Jihan juga rajin menulis cerita di aplikasi berbayar.
Bukannya Jihan tidak mau mencari pekerjaan lain. Hanya saja sudah beratus lamaran yang dia ajukan dan hasilnya nihil. Bukan tanpa alasan. Jihan yang hanya memiliki ijazah SMA, membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan yang mapan. Jihan yang merupakan tulang punggung keluarga setelah beberapa tahun yang lalu sang ayah menghadap sang pencipta menyebabkan ia harus bekerja apa saja.
Tepat pukul sepuluh pagi, Jihan telah menyelesaikan pekerjaannya mengantar susu. Ia kelelahan dan duduk bersandar pada dinding kantor penyedia susu yang tiap pagi ia antar. Baru saja ia mengembalikan sepeda yang biasa dipakainya sewaktu mengantarkan susu ke rumah-rumah pelanggan. Seraya menunggu bayarannya, Jihan beristirahat sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaannya di ponsel menggunakan headset murah yang ia beli di pasar.
"Jihan", seorang laki-laki paruh baya menepuk pundak Jihan dari arah belakang yang menyebabkan ia tersentak kaget.
"Astaga pak Budi! Bikin kaget aja" pekik Jihan sambil menoleh ke arah sumber suara.
"Kamu nggak mau upah? Ya sudah kalau begitu." goda pak Budi seraya pura-pura ngambek sambil berlalu ke arah kantor.
Jihan spontan berdiri. "Mau lah pak Budi. Jangan ngambek terus pak, nggak malu sama umur? Haha" ucap Jihan sambil berlari menyusul pak Budi.
"Nah, gitu dong semangat. Masa masih pagi udah loyo gitu. Ini upah kamu hari ini ya. Besok jangan sampai telat lagi. Bapak nggak bisa mentolerir kalau sampai terulang. Nggak baik jadi contoh ke pekerja lain. Mengerti?" pesan pak Budi kepada Jihan sambil berkacak pinggang.
"Oke pak, siap!" jawab Jihan dengan semangat seraya memposisikan tangan kanannya ke posisi hormat di kepala.
"Aku pulang dulu ya pak. Makasih paaaak", lanjut Jihan sambil melambaikan tangan.
Jihan bergegas pulang menuju kost-nya yang berjarak tidak begitu jauh dari perusahaan susu murni tempatnya bekerja part time. Karena dekat dan ingin berhemat, Jihan selalu memilih pulang dengan berjalan kaki menuju kost. Jihan tidak merasa lelah karena dia berjalan sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaannya. Ya, salah satu hobi Jihan adalah mendengarkan lagu-lagu melalui headset. Setidaknya hanya itu hiburannya di sela-sela waktu sibuknya bekerja setiap hari.
Setelah kurang lebih setengah jam berjalan, akhirnya tibalah ia di depan kost. Kost Jihan mempunyai dua lantai dan terdiri dari sepuluh kamar yang terbagi menjadi lima kamar di setiap lantainya. Kamar Jihan berada di lantai kedua paling ujung. Ia perlahan menaiki tangga yang berada di luar rumah kost tersebut. Sesampainya di kamar, Jihan langsung menghempaskan badannya ke kasur kapuk yang tidak empuk itu. Walaupun terlihat bersemangat sebenarnya ia sangat lelah menjalani beberapa pekerjaan sampai larut malam. Ia telah kehilangan berat badan semenjak memutuskan mengambil beberapa pekerjaan part time. Badannya remuk, begitupun hatinya. Tak terasa matanya mulai panas dan mengalirkan air mata hingga ke pipi. Jihan menangis. Ia menangis sejadi-jadinya.
"Bodoh. Badan gue sakit kaya gini aja masih bisa kepikiran lo. Kenapa sih lo bikin hidup gue menderita kaya gini karena mikirin lo tiap hari?", isak Jihan berbicara dalam tangisnya.
Jihan melirik jam dinding klasik di kamarnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit. Itu tandanya ia harus bersiap-siap lagi utuk bekerja ke tempat selanjutnya. Dengan enggan Jihan bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Ia berjalan sambil menghapus genangan air matanya yang perlahan mulai berhenti. Menyadarkan bahwa ia harus bangun dari mimpi dan bersiap menuju kenyataan.
***
"Saya ulangi lagi pesanannya. Satu ayam kung pao, satu sapo tahu, satu cah kangkung, satu sapi lada hitam, dan dua nasi. Untuk minumannya dua jus jeruk dan satu air mineral? Ada yang bisa saya bantu lagi?" ucap Jihan membacakan kembali pesanan pelanggannya dan bertanya kalau-kalau pelanggan tersebut meminta yang lain.
"Nggak ada. Itu aja ya mba" jawab pelanggan pria tionghoa dengan setelan kemeja biru panjang yang duduk bersebelahan dengan seorang wanita cantik yang juga berwajah oriental.
"Baik. Kalau begitu silahkan menunggu. Pesanannya akan datang kira-kira 15 menit. Terima kasih" ujar Jihan kepada pelanggan tersebut sambil undur diri.
Hari ini adalah hari senin. Restoran sedang ramai-ramainya dibanjiri pengunjung saat jam makan siang. Kebanyakan pelanggan adalah pegawai kantoran bonafit di sekitaran mall dimana restoran chinese tempat ia bekerja berada. Jihan memandang ke seluruh penjuru restoran dengan tatapan nanar. Ia merasa iri melihat pelanggan yang kebanyakan adalah pegawai kantoran itu. Mereka tertawa bercengkrama setelah sibuk bekerja. Itu yang tidak bisa Jihan rasakan. Namun Jihan harus selalu tersenyum selama bekerja walaupun hatinya sakit. Jihan berjalan kesana-kemari dari satu meja ke meja yang lain. Meskipun setelan yang ia kenakan saat bekerja adalah baju shanghai berwarna merah ketat yang membuatnya kesulitan berjalan, namun Jihan dapat mengatasinya. Ia sangat cekatan menerima pesanan dan mengantar pesanan ke meja-meja pelanggan sambil memakai sepatu hak tinggi setinggi 15 cm. Ia tidak mau mendapat masalah hanya karena memanjakan dirinya.
Setelah bekerja dari jam 12 siang hingga jam 3 sore akhirnya Jihan baru bisa beristirahat sejenak. Itu yang membuat dia senang bekerja di restoran. Selain mendapatkan gaji, ia juga mendapatkan makan gratis. Jadi ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan siang. Sebenarnya ini adalah makanan pertamanya hari ini. Ia tidak sempat untuk makan dan hanya minum susu di perusahaan susu tempat ia bekerja tadi pagi. Jihan langsung melahap makanannya dengan cepat karena takut kalau-kalau ia harus melayani pelanggan lagi. Sembari makan, handphone Jihan bergetar. Ada pesan whatsapp yang masuk. Dari Ana, satu-satunya teman dekat Jihan. Mereka satu SMA dan sebenarnya baru akrab setelah lulus karena pernah magang di tempat yang sama. Meskipun kini bekerja di tempat yang berbeda, mereka berdua masih tetap akrab dan sering berhubungan satu sama lain.
Jihaaan, lo masih kerja? Lo sibuk gak hari minggu? Bales cepet yaaa
Jihan membaca pesan dari Ana sambil mengunyah makanannya.
"Mau ngajakin ketemuan pasti nih anak" gumam Jihan seraya tersenyum. Ia lalu segera mengetikkan sesuatu di layar handphone-nya.
Enggak sibuk tuh. Kenapa? Lo mau ngajakin gue kemana?
Jihan menekan tanda send di layar handphone-nya. Tak sampai lima detik ponsel Jihan berdering. Kali ini Ana meneleponnya. Jihan buru-buru mengangkat.
"Haan lo musti ikut gue kali ini. Enggak boleh nolak pokoknya" sembur Ana di seberang ponsel.
Jihan terkaget-kaget mendengar sahabatnya itu berbicara dengan semangat tanpa titik koma. Belum sempat ia menjawab terdengar lagi suara Ana di seberang ponselnya.
"Haaaan kenapa lo diam aja? Pokoknya lo pergi ya, temenin gue. Pokoknya harus." Sembur Ana lagi tanpa memberikan kesempatan Jihan menjawab.
"Gimana gue mau ngomong kalau elo nyerocos mulu. Lo mau gue ikut kemana? Mau ketemuan sama cowok-cowok kenalan elo di tinder? Ogah gue kalau gitu. Males banget jadi obat nyamuk sendirian nungguin elo haha hihi sama cowok-cowok kenalan lo itu." Akhirnya Jihan menjawab pertanyaan Ana yang bagai tiada hentinya itu.
"Bukan han. Kali ini lo juga bakalan seneng kok. Hari minggu kita pergi ke acara reunian SMA ya. Gue diundang sama Gilang. Aaaahh mana Gilang ganteng banget lagi. Mau ya han. Demi gue loh", rengek Ana meminta persetujuan Jihan.
Jihan mematung. Perlahan ia telan makanan yang sedang dikunyahnya dengan susah. Mendadak tenggorokannya merasa kering. Hal yang paling dihindarinya adalah reunian. Ia tidak siap bertemu teman-temannya. Meskipun dulu dia juga tidak punya teman akrab sekalipun. Ia malu. Selama ini dia selalu menghindar jika Ana mengajaknya pergi ke acara-acara yang berhubungan dengan masa sekolahnya itu. Tapi kenapa Ana tidak peka dan selalu mengajaknya tiap ada kesempatan? Tak taukah dia bagaimana perasaan Jihan? Dua hal yang selalu ditakuti Jihan ketika reunian. Pertama, jika ditanyakan apa pekerjaanya sekarang. Kedua, jika bertemu orang itu. Orang yang telah menjungkirbalikkan perasaannya.
"Jadi gimana han? Mau yaaa. Elo gue ajakin terus nggak pernah mau. Udah 8 tahun loh kita nggak pernah ngumpul sama teman-teman. Lo kenapa sih? Lo masih ada rasa sama dia?" tanya Ana yang membuat Jihan tersentak kaget. Ana tahu perasaan Jihan pada pria itu karena dulu pernah curhat.
"Ya lo kan bisa pergi sendiri, Na. Ngapain harus sama gue sih? Lagian gue males kalau ntar ditanya-tanya gue kerja dimana. Lo tau sendiri kan gimana gue?" jawab Jihan dengan malas.
Hening sejenak.
"Kalau lo nggak mau pergi, gue juga enggak deh. Maaf udah ganggu waktu lo." tiba-tiba Ana berbicara memecah keheningan sesaat. Setelah itu hanya keheningan yang tersisa.
***
Hari sudah menunjukkan pukul enam sore. Itu tandanya Jihan telah selesai bekerja di restoran. Jihan bergegas menuruni eskalator mall untuk segera turun dan menuju tempat kerja berikutnya di mini market 24 jam dekat kostan-nya. Ia harus sudah sampai disana pukul tujuh malam. Hari itu tanpa diundang gerimis perlahan mulai mengiringi langkah kaki Jihan menuju halte busway dekat mall. Saat bekerja di mall, Jihan memang selalu pulang-pergi menggunakan busway karena ongkosnya yang cukup murah dan tidak perlu menambah biaya jika harus transfer ke tujuan. Dan lagi dengan menggunakan busway, Jihan juga dapat menghemat waktu.
Sore itu halte busway dipadati manusia-manusia yang baru pulang mencari nafkah. Rasa lelah tampak dari wajah mereka. Jihan harus buru-buru untuk berdiri di posisi paling depan agar mudah mendapatkan busway. Ia tidak mau menunggu busway berikutnya karena bisa-bisa ia terlambat datang bekerja. Setelah berusaha merangsek padatnya kumpulan manusia, akhirnya Jihan bisa menembus hingga sampai di depan batas halte dengan jalur busway. Jihan menghela napas dengan keras setelah berusaha mati-matian. Jujur saja, badannya sangat lelah saat itu. Tapi mengingat pekerjaannya sebagai kasir di mini market yang tidak perlu harus selalu berdiri, Jihan pikir setidaknya ia dapat bersantai sejenak disana.
Busway berwarna biru muda itu perlahan melaju membelah riuhnya kehidupan perkotaan yang sibuk. Jihan sudah berdiri di dalam busway bersama penumpang lainnya yang ingin segera sampai tujuan. Tidak banyak percakapan terdengar di dalam busway yang sedang melaju dan sesekali berhenti di halte-halte berikutnya itu. Semua sibuk dengan kegiatan dan pikirannya sendiri. Termasuk Jihan. Ia memikirkan kembali ajakan Ana untuk ikut dengannya ke acara reuni SMA mereka. Ia tahu bahwa sebenarnya Ana sangat ingin kesana. Ia juga sadar bahwa Ana menyimpan sejuta kekecewaan meskipun tidak diucapkannya. Setelah berpikir matang di dalam busway yang padat itu, akhirnya Jihan memutuskan untuk menerima ajakan Ana. Menurutnya sudah terlalu sering ia menolak ajakan Ana. Ana adalah sahabat yang baik. Teman satu-satunya bagi Jihan. Ana selalu ada disaat Jihan membutuhkan bantuan. Pernah sekali ketika Jihan membutuhkan uang untuk membayar biaya sekolah adiknya di kampung, sedangkan ia belum gajian saat itu. Ana tanpa ragu menawarkan pinjaman tanpa batas waktu padanya. Mengingat Ana memang lebih mapan dari dirinya, tidak sulit bagi Ana untuk membantunya. Dan lagi, Ana juga sering mentraktirnya makanan enak. Ah, dimana lagi bisa Jihan temukan sahabat seperti Ana. Tapi mengapa ia malah membuat sahabatnya itu kecewa?
***
Malam itu Jihan sedang menjalankan tugasnya sebagai kasir mini market 24 jam. Saat itu sudah pukul sepuluh malam. Suasana mini market saat itu sepi. Tidak ada pelanggan yang berbelanja saat itu. Pelanggan terakhir baru saja keluar sekitar tujuh menit yang lalu. Kesempatan itu dimanfaatkan Jihan untuk duduk sebentar sambil menunggu pelanggan datang. Ia mengeluarkan posel dari saku rompi kerjanya yang berwarna biru tua. Jihan tampak asik memijit layar ponselnya. Ia segera mencari kontak Ana. Sejak tadi ia sudah memutuskan untuk memberi tahu Ana kalau dia mau ikut ke acara reuni SMA mereka.
"Halo. Kenapa?" terdengar suara di seberang ponsel Jihan. Suara tersebut menjawab dengan enggan.
"Lo masih ngambek nih ceritanya? Ya udah kalau gitu, gue enggak jadi aja ya ikut elo." Goda Jihan pada Ana yang langsung disambut suara pekik di seberang.
"Yes akhirnyaaaaa... Akhirnya elo mau juga ya ikut. Lo tau nggak udah delapan tahun gue ngajak lo tapi ada aja alasan lo ngeles." sahut Ana girang.
"Ya lo tau sendiri kan kalo gue malu setiap pergi ke reunian. Lagian mereka juga nggak bakal notice gue. Secara mereka pasti nggak pernah tau kabar gue gimana, gue ada dimana selama ini, apa kerjaan gue. Lo tau sendiri lah gue orangnya gimana." ujar Jihan panjang lebar.
"Udah saatnya elo membuka diri Jihan. Mereka enggak bakalan ngeremehin elo kok. Gue yakin. Elo itu murid terpintar di sekolah. Elo bisa aja lebih sukses dari mereka semua. Tapi nggak ada yang bisa melawan takdir, Jihan. Lo nggak bisa melawan kehendak Tuhan. Umur lo masih muda juga kok. Nggak ada kata terlambat untuk lo menggapai mimpi. Mereka bakalan ngerti kok kenapa keadaan lo sampai seperti ini. Percaya sama gue." kata Ana memberikan motivasi kepada temannya yang satu ini. Ia gemas sekali dengan Jihan yang terlalu tidak percaya diri. Ia ingin menyadarkan temannya kalau masih ada kesempatan di dunia ini, asalkan tetap berusaha dan berdoa.
"Oke deh. Seneng nggak lo? Hahaha." jawab Jihan akhirnya setelah mencerna perkataan sahabatnya itu barusan.
"Seneng lah bego. Hahaha. Hari minggu elo gue jemput ya. Ntar gue chat aja lo kapan jam pastinya. Jangan lupa dandan yang cantik. Siapa tau lo dapet jodoh kan. Hahahah..." mendadak tawa Ana pecah. Tawanya sangat nyaring sampai-sampai Jihan menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Iya deh, iya. Eh, tapi acaranya nggak bayar kan?" tanya Jihan penasaran sekaligus was-was.
"Tenang aja. Temen-temen kita udah pada banyak yang sukses. Jadi mereka yang cover semua biaya, termasuk biaya sewa mini ballroom di hotel bintang lima. Keren nggak tuh?" jawab Ana terhadap pertanyaan yang sudah ditebak akan ditanyakan Jihan kepadanya.
"Udah dulu ya. Lo lanjut kerja sana. Gue mau telponan nih ama cowok yang waktu itu. Bye." lanjut Ana akhirnya dan menutup sambungan telepon.
Satu pengunjung akhirnya memasuki mini market. Membuat lamunan Jihan menjadi buyar. Ia sadar apa yang disampaikan Ana itu tidak salah sedikitpun. Tapi apalah daya bagi seorang Jihan yang hampir sepanjang hidupnya sulit untuk merasakan kebahagiaan. Ia kembali menjalankan tugasnya sebagai kasir hingga waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Itu artinya Jihan sudah harus pulang. Posisinya sekarang sudah digantikan dengan pegawai lain yang tugas malam.
Jihan pulang berjalan kaki menuju kost sambil mendengarkan lagu melalui headset seperti biasa. Meskipun sudah pukul satu malam, namun masih cukup banyak kendaraan berlalu lalang. Hal itu membuat Jihan tidak terlalu takut pulang sendiri. Kehidupan perkotaan memang beda ya. Senandung lagu Shallow dari Lady Gaga feat Bradley Cooper menambah nuansa sendu malam itu. Liriknya sangat relate sekali dengan kehidupan yang dirasakan Jihan saat ini.
Tell me somethin', girl
Are you happy in this modern world
Or do you need more?
Is there somethin' else you're searchin' for?
I'm fallin'
In all the good times I find myself longin' for change
And in the bad times, I fear myself
Jihan lantas melangkahkan kakinya lebih cepat lagi sesaat setelah mendekati kost-nya. Cuaca malam yang dingin membuat Jihan merapatkan jaket denim kesayangannya. Ia tidak mau kedinginan dan bergegas menuju kamar kost-nya yang hangat.
***