Chereads / Selubung Rindu / Chapter 8 - Bab 7. Menjadi Tak Terlihat

Chapter 8 - Bab 7. Menjadi Tak Terlihat

Hari kedua sekolah tersebut disambut riuhnya para murid yang hilir mudik di lorong hingga koridor sekolah. Mereka masih belum cukup melepas rindu satu sama lain pada hari pertama masuk. Saat itu masih pukul 06.45 pagi, namun sudah terlihat banyaknya murid yang memenuhi ruas jalan, kelas, dan kantin tentunya. Beberapa murid perempuan ada yang sedang asyik bersenda gurau, ada yang berdandan, dan ada pula yang berlarian di tengah lapangan. Beberapa murid laki-laki ada yang bermain basket di lapangan basket, ada yang mengisengi murid perempuan lain, dan ada pula yang sekedar tidur-tiduran di kelas.

Mereka masih muda. Tidak ada satupun beban di benak mereka. Kecuali PR dan ujian. Atau kisah cinta monyet yang tiada habisnya. Hanya itu. Kehidupan masa SMA hanya dilewati satu kali di dalam hidup. Kehidupan yang tidak dimiliki orang dewasa. Dimana beban kehidupan semakin menumpuk seiring bertambahnya usia. Kenangan masa lalu hanyalah angan yang terus tersimpan di lubuk hati dan tak akan bisa terulang lagi.

Jihan tiba di sekolah tepat sepuluh menit sebelum bel tanda masuk dibunyikan. Gadis itu masih santai berjalan di lorong sekolah menuju kelas sambil satu tangannya mengangkat sebuah novel kesayangannya berjudul "Incognito" yang telah sekian kali ia baca. Novel tentang perjalanan waktu ke masa lalu dimana beberapa sejarah dunia dimulai. Matanya sibuk membaca lembar demi lembar. Ia cekatan sekali berjalan menghindar melewati beberapa murid yang berdiri disana. Ia sudah cukup hapal denah sekolahnya. Saat ia sibuk dengan dunia ternyamannya itu, tiba-tiba tubuhnya ditubruk cukup keras dari arah belakang. Meskipun tubuhnya tidak terpental untungnya, namun sukses membuat Jihan meringis. Pelaku yang ternyata adalah Yoan. Lelaki yang namanya belum diketahui Jihan namun tidak dengan wajahnya. Ia ingat lelaki itu adalah teman sekelasnya yang baru di kelas sebelas.

"Sorry, gak sengaja" ujar lelaki itu berjalan tanpa menghiraukan Jihan yang sedang melongo heran atas perlakuan yang baru saja didapatkannya.

"Dasar, gak ada attitude banget tuh anak" gerutu Jihan dalam hati sambil mengatur napas agar amarahnya tidak meledak saat itu juga.

Perlahan sosok Yoan menjauh dan akhirnya hilang di ujung belokan. Jihan melanjutkan lajunya kembali menuju kelas. Ia harus bergegas sebelum bel masuk berbunyi. Bukan untuk mengerjakan PR seperti yang lainnya. Namun karena ia ingin bersantai sejenak. Seperti itulah kebiasaan seorang Jihan selama di sekolah. Ia lebih sering asik dengan dunianya sendiri. Toh, ia juga tak punya teman akrab selama bersekolah. Lebih baik ia menjadi tidak terlihat seperti yang biasa ia lakukan.

Jihan sudah mendekati pintu kelasnya. Kakinya mulai melangkah memasuki ruang kelas. Tiba-tiba terdengar pekikan kencang suara pria yang membuat Jihan sontak kaget.

"Awaaaaas!" pekik suara tersebut yang ternyata adalah milik Arnesh.

Jihan yang tak sadar apa yang sedang terjadi hingga tiba-tiba saja sebuah bola basket melesat cepat ke arahnya. Namun terlambat. Ia tak bisa menghindar dari serangan tiba-tiba itu. Duk! Bola basket itu sukses mengenai keningnya. Badan Jihan tak mampu menahan kerasnya lemparan bola basket itu yang mengenai dirinya. Badannya langsung terpental ke lantai.

"Aw!" Jihan refleks meringis kesakitan. Kepalanya pusing. Tidak heran, bola basket yang lumayan keras itu mengenai keningnya dengan cukup keras. Permukaan kasar dari bola basket itu membuat keningnya perih dan meninggalkan bekas kemerahan yang cukup jelas.

"Hahahahahahahahah...." tawa seisi kelas pecah menyaksikan adegan terpentalnya Jihan karena sebuah bola basket. Mereka tidak peduli rasa sakit yang dirasakan Jihan di keningnya.

"Eh, sorry, sorry, nggak sengaja" ujar Arnesh tertawa tanpa merasa bersalah.

Jihan memijit keningnya yang sakit. Kepalanya mendadak pusing. Ditambah suara tawa seisi kelas yang memekakkan telinga. Keningnya memang sakit, namun hatinya tak kalah sakitnya mendapat perlakuan seperti itu. Meskipun tampaknya Jihan adalah sosok wanita cuek, tangguh, dan dingin, namun sebenarnya ia sangatlah perasa. Jihan tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena tanpa sadar pipinya sudah basah oleh air mata. Namun ia berusaha menunduk agar tidak terlihat dan tangannya dengan cepat mengusap pipinya yang sudah basah.

Yoan melihat itu. Hatinya berkecamuk. Di satu sisi ia mulai merasa iba pada gadis itu dan disisi lain ia tidak ingin membela karena merasa gengsi dengan teman-temannya. Ia kemudian berjalan menuju pintu kelas dan menoleh ke arah luar sambil melihat ke kanan dan kiri. Tiba-tiba terbersit ide yang ia sendiripun tidak menyangka mengapa ia melakukan hal itu.

"Woi, Pak Andi datang!" pekik Yoan memecah tawa yang masih bergema di penjuru kelas hingga tiba-tiba suasana mendadak hening.

Semua berlarian kocar-kacir ke tempat duduk masing-masing. Betapa tidak. Pak Andi yang dimaksud Yoan adalah guru ter-killer di satu sekolah. Tidak ada murid yang tidak takut pada guru itu. Bahkan murid paling bandel sekalipun. Jihan perlahan berdiri dan memungut novel yang tadi ia pegang. Ia berjalan pelan menuju tempat duduknya dan menghempaskan diri di kursi kayu berwarna coklat tua itu lalu menyandarkan kepalanya ke dinding. Jihan mulai memejamkan matanya sambil mencoba memijit kepalanya yang masih pusing. Suasana masih hening.

"Eh, kok aneh" celetuk Arnesh memecah keheningan pagi itu.

"Aneh kenapa?" tanya Gilang  menyelidik.

"Kok gue belum denger bunyi bel ya? Lo denger nggak?" tanya Arnesh pada Gilang mencoba memastikan.

"Lah, iya. Loh, eh, gimana?" jawab Gilang yang malah tambah bingung dengan keadaan saat itu.

Riuh mulai mengisi seisi kelas. Semuanya kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Mereka saling melemparkan pertanyaan yang sama satu sama lain. Ditambah Pak Andi yang ditunggu tak kunjung datang. Arnesh yang mulai curiga langsung bangkit dan berlari menuju pintu kelas. Lelaki yang bajunya kusut itu berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala.

"Anjir lo Yoan! Di luar masih pada rame tau! Lo ngerjain kita semua ya?" protes Arnesh tak terima sambil menunjuk ke arah Yoan.

Seisi kelas yang awalnya tegang perlahan mulai lega dan suasana kelas kembali riuh tanpa menghiraukan kejadian barusan. Semua kembali pada kesibukan masing-masing.

"Hampir aja gue kena serangan jantung anjirrr! Mana PR Pak Andi belum selesai lagi." timpal Gilang cepat-cepat melanjutkan pekerjaannya tadi, yaitu mengerjakan PR Pak Andi yang belum tuntas.

"Lo ngapain bohong sih anjir? Lama-lama gue bisa kena jantung koroner gara-gara elu!" cibir Arnesh berjalan kembali ke tempat duduknya.

"Nggak papa bro. Olah raga jantung pagi-pagi kan bagus buat kesehatan jantung lo yang mulai rapuh." balas Yoan dengan tawa garing. Lelaki itu juga heran kenapa ia berbohong. Pikiran itu hanya terlintas begitu saja. Hatinya mulai gelisah.

Jihan kembali ke tempat duduknya tanpa menghiraukan yang barusan terjadi. Mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Jihan kembali menjadi sosok tak terlihat. Namun perasaan gadis itu entah kenapa menjadi lega karena tidak menjadi pusat perhatian lagi.

Bel masuk berbunyi nyaring.

***

Setelah melalui mata pelajaran Pak Andi yang membosankan bagi sebagian murid di kelas IX-1 itu, atau bahkan bagi sebagian murid yang ada di sekolah itu, mereka akhirnya bisa bernapas lega. Bukan tanpa sebab. Alasannya karena pelajaran selanjutnya adalah Bahasa Indonesia, yang mana guru yang mengajar mata pelajaran itu adalah guru terfavorit se-antero sekolah. Pak Markus. Berperawakan mungil dan suka bercanda ketika mengajar. Saking suka bercandanya, terkadang sampai lupa menyampaikan materi ajar karena asik bercengkrama dengan para murid.

Jihan tidak peduli dengan semua itu. Mesipun pintar, ia tidak pernah kesal jika ada guru yang tidak maksimal dalam menyampaikan pelajaran. Ia akan belajar sendiri di rumah berbekal buku cetak. Hanya satu yang ia inginkan. Ingin cepat-cepat pulang.

Pak Markus berdiri di depan kelas, bersiap menyapa anak muridnya tersayang. Disambut dengan wajah antusias murid-murid yang menantikan.

"Pagi ananda sekalian. Eh, maksud Bapak selamat pagi menjelang siang" sapa pria paruh baya yang mengenakan kaca mata itu.

Seisi kelas tertawa mendengarkan perkataan gurunya yang terdengar lucu bagi mereka. Entah menertawakan perawakan guru itu yang lucu, atau mendengar suaranya yang sedikit cempreng. Entahlah. Jihan tak mengerti entah apa yang lucu bagi mereka, dari sekadar salah mengucapkan waktu saat menyambut tadi, antara pagi dengan pagi menjelang siang. Atau karena selera humornya yang terlalu rendah. Sungguh. Ia tak mengerti.

"Sebelumnya Bapak mau membacakan absen kalian dulu ya, biar Bapak ingat nih nama-nama anak murid Bapak yang cakep-cakep ini. Maklum ya, Bapak sudah tua. Tapi giginya belum tinggal dua ya. Hihihi" ujar Pak Markus cekikikan mendengar perkataannya sendiri.

Semua kelas kembali riuh karena terbahak-bahak. Pak Markus mulai memanggil satu-persatu nama penghuni kelas IX-1. Dimulai dari abjad yang paling awal. Murid yang namanya dipanggil pun mengangkat tangan sembari mengucapkan kata hadir sebagai tanda bahwa orang yang dimaksud memang berada di kelas tersebut pada hari itu. Tiba lah saatnya nama Jihan disebut.

"Jihan Medisa Romani" suara lantang Pak Markus bergema di ruang kelas. Mendengar namanya disebut, sontak membuat Jihan mengangkat tangan sambil mengatakan hadir.

"Jihan? Jihan itu yang mana ya?" suara dari arah belakang kelas membuat suasana kelas hening sejenak karena pertanyaan aneh tersebut. Pertanyaan tak perlu dijawab tersebut tenyata datang dari mulut seorang Yoan. Jihan menoleh ke arah tempat laki-laki itu duduk, sebaris dengannya di paling sudut.

"Masa kamu nggak tahu Jihan? Wah, parah nih kamu. Teman sekelas sendiri nggak tahu" celetuk Pak markus menanggapi pertanyaan tak wajar muridnya itu.

"Apaan sih lo. Masa lo nggak tahu sih. Lo mau cari muka aja ya sama Pak Markus biar jadi anak kesayangan? Wah, elo ya" ujar Gilang tak terima temannya itu ada maksud lain.

"Serius, gue nggak tahu" jawab Yoan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sudahlah. Nggak usah diributkan. Hey, Yoan. Kalau kamu nggak kenal, nanti pas jam istirahat kamu bisa kenalan. Sekarang kamu fokus memperhatikan pelajaran Bapak" ucap Pak Markus yang disambut suara ricuh seisi kelas. Cieee...

"Duh, apa lagi ini. Gue cuma mau tenang aja masa nggak boleh sih" Jihan berbicara dalam hati. Ia menghembuskan napas dengan keras. Tahun ini mungkin menjadi tahun paling tidak tenang di sepanjang hidupnya bersekolah. Semoga saja tidak ada drama cemoohan dari teman-teman sekelasnya. Semoga saja. Jihan kembali menjatuhkan kepalanya ke atas meja dan mulai menekankan mata.

***