Jihan terbaring lemas di kasurnya yang tidak empuk. Hari itu sudah sangat larut malam. Jihan baru saja pulang sehabis menyelesaikan shift kerjanya. Ia merasakan badannya mulai terasa panas. Gadis itu menyadari bahwa ia terkena demam. Wajar saja, ia kelelahan bukan hanya fisik, namun kejadian buruk yang menimpanya terus-menerus membuat pikirannya juga terkuras. Badannya masih terbungkus hoodie putih dan celana jeans saat berbaring. Rasa malas menggelayuti tubuhnya untuk sekedar berganti pakaian. Gadis itu bangkit dan membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Tangannya sibuk mencari-cari obat pereda demam yang biasanya ia simpan disana.
"Dimana sih obatnya?" sambil tangan Jihan tetap aktif mencari-cari. "Ya ampun, nggak mungkin habis kan? Shit! Tolol banget gue" umpatnya.
Ia memutuskan untuk segera bergegas kembali ke mini market tempatnya bekerja tadi karena memang jaraknya tidak terlalu jauh. Ia harus segera membeli obat demam sebelum demamnya bertambah parah. Saat itu ia merasa badannya masih kuat untuk sekedar berjalan ke mini market.
Sesampainya disana ia langsung menuju rak dimana obat-obatan diletakkan. Tentu saja ia sudah sangat hapal. Tangannya meraih obat pereda demam yang biasa ia beli, lalu menuju stall minuman untuk mengambil air mineral ukuran sedang. Ia lalu bergegas membayar ke kasir.
"Loh, kak Jihan demam ya?" tanya kasir tersebut yang sudah mengenal Jihan setelah melihat obat demam yang dipegangnya.
"Iya" Jihan menjawab lesu namun tetap memaksakan senyum.
"Totalnya 8.500 ya kak" ujar kasir tersebut seraya menerima uang lembar sepuluh ribu dari tangan Jihan. "Hati-hati ya kak" lanjutnya.
Jihan membalas dengan anggukan kecil dan senyuman kepada rekannya tersebut. Ia mengambil obat dan air mineral yang telah dibayar dan langsung keluar. Namun badannya terasa sangat lemah. Ia berjalan menuju tempat duduk yang memang disediakan mini market untuk pengunjung. Tempat duduk lengkap dengan meja dan payung besar yang berfungsi untuk melindungi dari panas dan hujan. Jihan duduk di salah satu tempat duduk disana dan langsung menenggak obat dengan air mineral. Ia memutuskan untuk istirahat sebentar hingga obatnya bereaksi, baru kemudian pulang. Ia langsung merebahkan kepalanya ke meja yang ada di depannya sambil memejamkan mata.
***
Yoan saat itu akan pulang setelah selesai nongkrong dengan teman-teman masa kuliahnya. Ia ingin menenangkan hatinya sejenak dari permasalahan yang sedang ia hadapi. Hari sudah larut dan besok ia harus berangkat kerja pagi-pagi.
"Bro, sampai ketemu sabtu depan ya. Jangan lupa sabtu itu kita futsal bareng. Okay?" salah satu teman Yoan mengingatkan sambil menepuk pundaknya.
"Sip bro!" seru Yoan mengacungkan jempolnya.
Setelah berbasa-basi sebentar sebelum pulang, akhirnya Yoan benar-benar sudah berada di dalam mobilnya untuk bergegas pulang. Di perjalanan pulang, ia merasa tenggorokannya kering karena kopi yang diminumnya dan rokok yang telah habis berbatang-batang banyaknya sewaktu nongkrong tadi. Ia memutuskan untuk singgah sebentar ke mini market untuk membeli air minum yang bisa menetralkan mulutnya.
Mobil Yoan mendekat menuju mini market setelah dilihatnya dan menghentikan mobilnya di depan sana. Ia bergegas masuk, mengambil air mineral dingin, dan membayarnya ke kasir. Yoan membuka tutup air mineral dan langsung menenggaknya sesaat setelah berada di luar mini market. Selagi minum, ekor matanya menangkap sosok yang sedang tertidur di salah satu tempat duduk dengan kepala yang terpangku di meja. Sosok tersebut sepertinya familiar bagi Yoan. Karena sedikit ragu, ia pelan-pelan mendekati sosok tersebut. Dan betapa terkejutnya Yoan bahwa sosok yang dimaksud ternyata adalah Jihan. Dengan mantap ia langsung menepuk pelan pundak Jihan, mencoba untuk membangunkannya. Kenapa gadis itu berada disini malam-malam seperti ini? Banyak pertanyaan yang berseliweran di benak Yoan terhadap gadis yang sudah berada di hadapannya itu.
"Jihan" panggil Yoan pelan sambil menepuk pundak Jihan dengan lembut.
Namun tak ada sahutan dari yang dipanggil. Yoan mulai mengguncang tubuh Jihan cukup keras. Jihan perlahan mulai membuka mata, namun ia seperti kehilangan tenaga. Badannya sangat lemah kini. Badannya mulai terasa sangat panas. Yoan menyentuh dahi Jihan dan didapatinya gadis itu tengah demam tinggi.
"Badan lo panas banget. Lo ketiduran disini? Rumah lo dimana? Gue anter ya" Yoan melontarkan banyak pertanyaan sekaligus pada Jihan.
Namun Jihan tidak menjawab pertanyaan Yoan. Ia hanya berkedip lemah dan memalingkan posisi wajahnya dari Yoan. Yoan mengerti bahwa Jihan tidak akan mau memberi tahu dimana ia tinggal. Jihan pasti masih marah padanya.
"Terus lo mau tidur disini sampe pagi?" tanya Yoan mulai panik. Ia sangat khawatir pada gadis itu.
Yang ditanya masih diam seribu bahasa. Sampai pada akhirnya kasir yang bekerja di mini market keluar setelah melihat Jihan yang termyata masih di luar.
"Lah, kak Jihan masih disini?" tanyanya. Ia melirik pada Yoan yang masih berdiri di samping Jihan. "Mas kenal kak Jihan?" tanyanya menyelidik.
"Saya teman lamanya Jihan" jawab Yoan. "Kamu kenal Jihan?" tanyanya kemudian.
"Kenal lah mas. Kan kak Jihan kerja disini. Saya barusan gantian shift sama kak Jihan" ujar kasir tersebut menjelaskan.
"Berarti kamu tau rumah dia dimana?" tanya Yoan penasaran.
"Tau mas. Nggak jauh dari sini. Kenapa ya?" tanya kasir tersebut lagi.
"Saya mau anter dia pulang. Dia nggak bisa pulang sendiri. Badannya panas banget." Jelas Yoan sambil memegang dahi Jihan yang langsung ditepis oleh Jihan.
Kasir laki-laki yang ternyata bernama Joni tersebut berjalan hingga ke pinggir jalan, diikuti Yoan dari belakang. Dia mulai menjelaskan bagaimana cara menuju kost Jihan. Ia memang mengetahui kost Jihan karena rekan sesama kerja dan Jihan memang sengaja memberi tahu karena mereka saling berganti shift dan mengingat shift kerja Jihan yang sampai tengah malam. Jihan berpesan kalau ada apa-apa dengan dirinya di perjalanan pulang atau setelah sampai kost, setidaknya Joni mengetahui kemana harus menuju.
"Mas nanti lurus ke arah kiri sana, setelah pertigaan di ujung mas belok kiri lagi. Habis itu ikutin aja jalan aspal. Entar di sebelah kanan ada kost namanya Kost Ceria. Nah, kak Jihan nge-kost disana mas" jelas Joni sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
"Oh kesana ya" angguk Yoan tanda mengerti. "Oke, makasih banyak ya" ucap Yoan berterima kasih.
Yoan langsung memapah Jihan ke mobil miliknya yang masih terparkir dibantu Joni. Jihan tak bisa lagi menolak karena ada Joni yang juga memapahnya. Terlebih karena ia juga tidak punya tenaga untuk melawan. Jihan sudah didudukkan di kursi sebelah Yoan mengemudi.
"Hati-hati ya mas. Jaga kak Jihan ya sampai kost" ujarnya mengkhawatirkan Jihan setelah mobil yang dikendarakan Yoan akan berangkat.
"Oke mas, tenang aja. Makasih ya sekali lagi." ucapnya berterima kasih sekali lagi sebelum akhirnya mobil meninggalkan area mini market.
Yoan mengemudikan mobilnya mengikuti jalan yang telah diarahkan Joni. Tak perlu waktu lama, mereka akhirnya tiba di depan rumah kost dua lantai dengan plang nama "Kost Ceria". Pastilah disini yang dimaksud Joni. Yoan menoleh ke arah Jihan yang masih membuang muka padanya.
"Disini kan kost lo? Kamar lo dimana?" tanya Yoan mencoba membuka percakapan.
Jihan masih diam tak mau menanggapi pertanyaan Yoan.
"Mau lo apa sih?" tanya Yoan mulai kesal. "Oke. Gue minta maaf kalau gue udah buat lo sangat sangat kecewa. Gue salah. Tapi kalau lo masih nggak mau bicara sama gue, ya udah. Gue bakalan tetap disini sampai pagi" ancam Yoan kemudian.
Jihan perlahan mulai menoleh. Ia kemudian mulai membuka suara.
"Kamar gue di lantai dua. Makasih sebelumnya. Sekarang lo boleh pulang" ucap Jihan seraya membuka pintu mobil tanpa melihat Yoan.
"Lo butuh bantuan?" tanya Yoan khawatir. Ia melihat tangga menuju kamar kost Jihan yang lumayan curam. Tangga yang terbuat dari besi itu terletak di sisi luar kost, jadi bagi penghuni lantai dua bisa langsung naik.
"Nggak makasih, gue bisa sendiri" jawab Jihan sebelum benar-benar turun.
Tanpa menoleh ke arah Yoan, Jihan berjalan sempoyongan menuju tangga. Ia merasa tidak bertenaga untuk naik ke lantai dua. Namun ia tidak ingin Yoan tahu. Dengan susah payah ia meraih gagang tangga yang sudah dingin akibat udara malam. Jihan melangkahkan kakinya satu persatu menaiki anak tangga. Melihat Jihan yang tengah kesusahan menaik tangga, Yoan bergegas turun dari mobil dan menyusul Jihan.
"Lo kenapa keras kepala banget sih?" sergah Yoan seraya menarik pelan lengan Jihan. Yoan memposisikan tubuhnya untuk berjongkok membelakangi Jihan yang masih berdiri di anak tangga pertama.
"Ayuk cepetan, gue gendong sampai atas" ucap Yoan menawarkan.
Jihan yang memang sudah tak bertenaga itu pasrah saja dan menuruti perintah Yoan. Ia naik ke atas punggung Yoan dan melingkarkan tangannya ke leher pria itu. Wajahnya memerah menahan malu. Jantungnya berdegup kencang. Ia harap Yoan tidak dapat merasakan detak jantungnya. Yoan perlahan memutar badan dan mulai menaiki anak tangga.
"Lo berat juga ya" goda Yoan yang sukses membuat wajah Jihan merah padam.
"Ya udah sih kalo gue berat nggak usah lo gendong juga. Turunin gue!" perintah Jihan.
"Nggak papa elo berat. Seberat apapun lo gue tetap rela gendong kok. Hihihi." goda Yoan untuk kedua kalinya.
Kali ini Jihan mencubit lengan Yoan kesal yang membuat keseimbangan tubuhnya mulai goyah.
"Nah, loh. Nggak usah nyubit kenapa sih. Hampir aja kita berdua gelindingan ke bawah. Bukan cuma demam, lo bakalan patah tulang sekalian" ucap Yoan bercanda setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya kembali.
"Ya udah cepetan gih" seru Jihan mulai tenang kembali.
Mereka kemudian menaiki tangga dalam diam, sibuk dalam pikiran masing-masing. Jihan dapat merasakan hangat dari tubuh Yoan dan wangi parfumnya yang lembut. Sementara Yoan merasakan jantungnya seolah mau meloncat keluar saking senangnya bisa bertemu Jihan lagi. Malahan kali ini bukan hanya bertemu, namun ia jadi bisa tahu dimana tempat kerja Jihan lainnya dan kost Jihan sekaligus. Bonusnya ia malah bisa menggendong Jihan.
"Ini kamar gue. Turunin gue disini" pinta Jihan.
Yoan menurunkan Jihan perlahan, lalu berdiri. Jihan mengeluarkan kunci kamarnya dan memasukkannya ke lubang kunci. Yoan masih berdiri menunggu Jihan membuka pintu kamarnya.
"Lo ngapain masih disini?" tanya Jihan menyelidik. "Gue mau masuk" lanjutnya. Ia tidak jadi memutar kunci yang sudah tergantung di lubang kunci.
"Iya masuk aja. Gue mau liat lo sampai masuk" sahut Yoan masih berdiri di belakang Jihan.
"Elah, lo lebay banget. Gue udah di depan pintu, ya jelas langsung masuk lah. Jadi lo nggak perlu lebay" ucap Jihan sedikit ketus. "Udah pulang sana. Udah malam. Hati-hati. Makasih" lanjutnya tanpa basa-basi. Ia langsung masuk seketika pintu sudah terbuka lalu buru-buru menutupnya.
Yoan hanya menyeringai lalu bergegas turun. Hatinya malam itu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ia sangat bahagia. Pria itu berjalan sambil bersiul-siul senang dan bergegas masuk ke dalam mobil. Tak perlu waktu lama, mobil yang dikendarai Yoan itu langsung melesat meninggalkan kost Jihan. Ia tersenyum terus terusan di dalam mobilnya, sesekali tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian malam itu. Namun mendadak ia menghentikan mobilnya begitu saja di jalanan yang sudah sepi.
"Shit! Gue lupa lagi minta nomor Jihan. Bego banget gue sampe lupa" umpat Yoan kesal pada dirinya. "Eh, tapi gue kan udah tau Jihan bakalan ada dimana aja. Hihihihi" lanjutnya kemudian. Lalu ia lanjut mengemudikan mobilnya kembali.
Pria yang sedang dimabuk cinta itu benar-benar gila dibuatnya. Terkadang dia tertawa terpingkal-pingkal, namun sedetik kemudian bisa saja galau tak karuan. Sungguh cinta bisa membuat pikiran manusia menjadi tidak waras. Tapi memang begitulah adanya cinta. Yang waras saja bisa gila dibuatnya dan yang gila malah makin gila.
***
Jihan yang sudah berbaring di kasur hangatnya hanya bisa menghela napas. Kenapa juga ia harus bertemu Yoan untuk kesekian kalinya di waktu yang selalu saja tidak tepat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Yoan sebenarnya membuat Jihan sangat senang walaupun gadis itu selalu menyembunyikannya. Ia tersenyum di balik selimut tebalnya. Namun seketika itu pula lah ia kembali tersadar bahwa yang dilakukannya tidaklah pantas. Bagaimana tidak. Yoan masih berstatus milik orang lain. Sesaat ia merasa tidak enak pada kekasih Yoan. Sebagai sesama perempuan bagaimana bisa ia mempunyai pikiran sekeji itu. Secepatnya ia harus membuat Yoan jauh-jauh dari kehidupannya. Ia tidak boleh menjadi lembek. Besok atau lusa, seandainya mereka bertemu kembali, ia harus menarik garis batas diantara mereka. Kalau perlu mereka berdua tidak usah bertemu saja. Lebih baik seperti itu. Ya, besok atau lusa. Hari ini ia hanya perlu tidur. Terlelap jauh ke alam mimpi abstraknya. Malam itu biarlah ia berenang di lautan lepas dan melayang di langit cerah, lalu terjatuh di awan empuk dunia "wonderland" dalam mimpinya.
Senyum Jihan yang tertoreh di wajahnya di awal tadi, kini berubah menjadi sendu dan tangis isakan tiada henti. Ia kembali mengenang masa-masa indah ketika masih berseragam abu-abu. Episode demi episode kehidupannya mulai melintas memenuhi kepalanya. Masa itu sangat indah bagi Jihan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa sangat tak berdaya oleh perasaan semu bernama cinta. Sudah bertahun-tahun semenjak ia mulai menyukai Yoan, hingga kini ia terisak di balik selimut hangatnya, ia selalu menjaga hatinya hanya untuk Yoan seorang. Kini perjuangannya itu harus berhenti sampai disini. Ia harus merelakan torehan cina yang selama ini bersemayam di keping hatinya yang rapuh.
"Selamat tinggal, Yoan. Sekarang aku perintahkan kamu, yang bersemayam dalam hatiku untuk pergi. Jauh. Selamat tinggal cinta pertamaku." isak Jihan berlinangan air mata. Setelah mengucapkan kalimat terakhir itu, iapun jatuh tertidur.
***