Chereads / Selubung Rindu / Chapter 7 - Bab 6. Sekolah

Chapter 7 - Bab 6. Sekolah

Sembilan tahun yang lalu. Saat itu seorang gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu tengah menanti angkot, angkutan umum yang biasanya menjadi transportasi andalan anak sekolahan. Hari itu adalah hari pertamanya memasuki kelas sebelas. Gadis itu berdiri di pinggir jalan raya yang sudah dipenuhi beberapa siswa dari sekolah lain yang juga menanti angkot. Ia harus sigap jika tidak ingin didahului siswa lain yang berebut menaikinya. Mereka semua tidak ada yang ingin terlambat tiba di sekolah.

Setelah beberapa saat menanti akhirnya gadis itu berhasil duduk di dalam angkot setelah perjuangan yang cukup panjang.

"Huft, akhirnya" ujarnya sesaat setelah berhasil duduk di dalam angkot.

Tak butuh waktu lama, angkot itu melesat maju di tengah kerumunan masa yang saat itu masih banyak yang belum kebagian angkot. Jihan beruntung. Karena keseringan naik angkot untuk berangkat sekolah, gadis itu telah menguasai trik naik angkot agar tidak telat ke sekolah.

Telah 30 menit lamanya Jihan berada di atas angkot itu, karena memang angkot sering berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

Bel sekolah berbunyi pukul tujuh tepat. Jihan selalu sampai sepuluh menit sebelum bel dibunyikan.

"Kiri paaaak!" seru Jihan setelah melihat persimpangan sekolahnya.

Mobil angkot segera berhenti dan gadis itu lekas turun lalu berjalan dengan santai menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari persimpangan jalan utama. Ia berjalan seorang diri tanpa teman. Jihan tak peduli itu semua. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai di sekolah.

Tepat pukul tujuh, bel sekolah berbunyi nyaring tanda masuk. Siswa yang terlambat tidak diperkenankan untuk masuk. Berhubung hari itu adalah hari pertama sekolah usai libur semester genap, sekolah tidak mengadakan  kegiatan belajar mengajar. Hari itu adalah hari pertama bersekolah bagi siswa baru kelas sepuluh. Siswa kelas sebelas dan dua belas akan dibagi secara acak sesuai kelas yang sudah ditentukan.

Pagi itu para siswa dikumpulkan di lapangan upacara karena hari itu adalah hari senin, yang mana rutinitas upacara selalu dilakukan setiap senin pagi.

Setelah upacara pagi itu yang mana bagi sebagian siswa adalah rutinitas yang membosankan, padahal upacara bendera adalah suatu bentuk kegiatan yang membangun patriotisme siswa, mereka semua diarahkan untuk menuju ruangan hall. Ruangan luas itu memang dipergunakan untuk segala macam acara sekolah.

"Pagi anak-anak semuanya. Bagi anak-anak kelas sepuluh, bapak ucapkan selamat datang di SMA Tunas Mandiri. Dan untuk anak-anak bapak kelas sebelas dan dua belas, selamat bagi yang naik kelas, dan jangan bersedih hati untuk yang belum naik kelas tahun ini. Belajar giat agar bisa jadi contoh untuk adik-adik kelas sepuluh" ucap Kepala Sekolah yang disambut riuhan tepuk tangan semua siswa dan guru yang hadir pada hari itu.

"Untuk anak-anak bapak kelas sebelas dan dua belas, seperti yang sudah-sudah sebelumnya, ananda semua akan diacak sesuai kelas yang sudah ditentukan para guru sebelumnya" lanjut Kepala Sekolah lagi.

Bapak Kepala Sekolah menoleh ke belakang dan tangannya meraih beberapa helai kertas. Di kertas itu sudah ada nama-nama siswa dan akan ke kelas mana mereka akan diletakkan nanti. Di kertas tersebut juga tertera nama-nama siswa yang meraih juara kelas maupun juara umum. Kepala sekolah segera membenarkan posisinya kembali dan berjalan mendekati mikrofon yang bertengger di tiang berwarna hitam yang berdiri.

"Sebelum Bapak membagikan kelas kalian, Bapak akan terlebih dahulu membacakan nama-nama teman kita yang meraih juara kelas maupun juara umum. Adapun tahun ini, yang meraih juara umum di antara ananda sekalian, masih sama seperti tahun lalu" Kepala Sekolah membacakan dengan seksama diikuti wajah tegang para siswa. Kemudian Kepala Sekolah melanjutkan, "Juara umum pada tahun ini kembali diraih oleh ananda kita, Jihan Medisa Romani!" seru Kepala sekolah dengan lantang hingga menggema di seluruh ruangan hall yang luas.

Semua mata tertuju pada Jihan yang kala itu berdiri paling belakang. Dilihatnya tatapan semua siswa yang berdiri di depannya maupun di samping kanan dan kirinya. Ada yang memperlihatkan wajah senang, biasa saja, sampai ada yang matanya melotot hingga mau keluar. Jihan hanya membalas datar tatapan siswa-siswa itu. Ia sungguh tidak peduli. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan kegiatan pagi itu dan segera mengetahui kelas mana ia akan ditempatkan, sehingga ia akan duduk paling pojok belakang menyendiri. Jihan lebih suka seperti itu. Ia suka disaat orang-orang tidak ada yang memperhatikannya dan hanya mengabaikannya.

Perlahan Jihan maju ke tempat yang telah diarahkan Kepala Sekolah padanya. Tempat itu tepat berada di samping Kepala Sekolah berdiri. Kali ini Kepala Sekolah menghadap padanya dan tersenyum bangga.

"Selamat, nak. Kamu telah berhasil membanggakan orang tua, guru-guru, dan teman-teman semua. Sekarang silahkan terima penghargaan ini" ujar Kepala Sekolah sambil menyodorkan sebuah piala berwarna emas bertuliskan namanya serta tulisan juara umum di atas namanya.

"Terima kasih, Pak" sambut Jihan meraih piala yang diserahkan kepadanya. Piala itu lumayan berat. Di rumahnya juga terdapat beberapa piala penghargaan yang telah dikumpulkannya semenjak sekolah dasar.

Ia kemudian diminta untuk memberikan sepatah dua kata kepada hadirin yang berkumpul. Jihan melangkah ragu-ragu. Ia paling tak suka jika disuruh berbicara di depan umum, bukan bakatnya sama sekali. Namun tatapan kepala sekolah, para guru, dan seluruh siswa yang menunggunya membuat Jihan mau tak mau harus berbicara.

"Eengg... Saya ucapkan terima kasih" ucapnya singkat dengan posisi membungkuk, yang disambut tawa seluruh siswa yang mendengarkan ucapan Jihan yang "terlalu" singkat itu.

Kepala sekolah geleng-geleng dibuatnya. "Ya sudah, kamu boleh berdiri di samping sana" ujar kepala sekolah sambil mengarahkan tangan kanannya menuju tempat yang dimaksud.

Jihan menahan malu karena jadi bahan tertawaan seluruh isi sekolah. Ia paling benci menjadi pusat perhatian. Tapi hari ini semua mata memperhatikannya, bahkan malah menertawainya. Beberapa menatap sinis seolah mencemooh.

Setelah semua nama juara kelas dari rangking satu hingga tiga disebutkan masing-masing wali kelasnya, kepala sekolah mulai membacakan daftar nama yang diacak untuk ditempatkan pada kelas dan jurusan masing-masing. Di sekolah Jihan, terdapat tiga jurusan. IPA, IPS, dan Sastra. Jihan pasti saja dimasukkan ke jurusan IPA sekalipun ia menolak. Ia ingin sekali masuk jurusan sastra. Namun tidak disetujui orang tuanya dan pihak sekolah karena Jihan dianggap "pintar".

Semua siswa yang telah dibagi per kelas dan jurusan masing-masing dibuat satu barisan. Kelas dua belas IPA satu adalah kelas yang akhirnya akan ditempati Jihan selama satu tahun ke depan. Wali kelas baru masing-masing kelas mengarahkan para siswa ke kelas masing-masing, termasuk kelas Jihan. Para siswa berjalan perlahan hingga tiba di kelas masing-masing. Jihan berjalan di barisan paling terakhir dalam barisan.

Setibanya di dalam kelas semua tempat duduk paling depan hingga tengah telah diisi oleh siswa-siswa berotak encer. Jihan menyapu pandangan ke sekeliling kelas, mencari-cari tempat duduk mana yang sekiranya belum ditempati. Ada satu tempat duduk yang menarik perhatian Jihan. Tempat duduk itu berada di barisan nomor dua paling belakang, agak ke sudut, dan bersebelahan dengan dinding.

"Sempurna" ujar Jihan. Matanya yang kecil seketika itu membesar. Tempat duduk favoritnya adalah dimana tidak terlalu banyak yang memperhatikan.

Gadis itu berjalan santai ke bangku yang dia incar sedari tadi. Tangannya mulai menarik kursi tersebut bersamaan dengan satu tangan seseorang yang juga menarik kursi tersebut. Mereka berdua sontak kaget. Tangan tersebut adalah milik seorang lelaki bertubuh lebih tinggi dibanding Jihan dan memiliki kulit sawo matang. Rambutnya sedikit acak-acakan dan sebelah kemeja seragam tidak dimasukkan ke dalam celana. Penampilannya tidak rapi sama sekali. Lelaki itu terlihat seperti baru bangun tidur.

"Sorry, tapi gue dulu yang pegang kursinya, berarti tempat duduk ini punya gue" ujar Jihan terkesan dingin pada lelaki itu. Ia langsung duduk tanpa basa-basi dan membuat lelaki itu menganga kaget mendapatkan perlakuan cuek seorang gadis yang pertama kali dilihatnya itu.

Lelaki itu hanya geleng-geleng heran dan melangkah pergi meninggalkan Jihan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Hih, dingin banget ya hari ini" ucapnya bergidik sambil menoleh ke arah Jihan.

Dari arah luar, beberapa siswa kelas lain tampak menyapa seseorang yang tak lain adalah lelaki tadi. Lelaki itu bernama Yoan Agusranda. Salah satu anggota siswa populer di sekolah dan sedikit nakal.

"Woi, bro! Ngapain lo disana?" tanya seseorang bernama Rian, salah seorang teman Yoan. "Bisa juga ya lo masuk IPA. IPA satu lagi. Ciee anak good boy!" ejeknya kemudian.

"Resek lo bangsat! Hahaha" balas Yoan seraya menyambangi teman-temannya yang mayoritas IPS itu di depan kelas.

"Nggak kompak banget sih lo. Kita-kita semua masuk IPS, masa cuma lo doang yang IPA?" timpal Deno kemudian yang seketika mendapat protes.

"Enak aja lo ngomong, gue juga IPA. Elo pada enggak nganggap gue apa?" protes Gilang yang juga berada di jurusan IPA.

"Eh iya deng. Sorry bro. Jadi...  kapan lo mau pindah ke IPS?" tanya Deno lagi yang sukses membuat wajah Gilang merah padam serta hidungnya yang kembang kempis.

"Anjir lo, gue masuk IPA biar nanti mudah cari kerja" jawab Gilang tak mau kalah.

Jawaban Gilang sukses memecah tawa keempat siswa laki-laki populer SMA Tunas Mandiri. Semua mata wanita yang ada di dalam kelas Jihan berbinar-binar melihat penampakan empat cowok terganteng dan terkeren di sekolah mereka. Jihan hanya memandang hambar ke arah segerombolan cowok kece tersebut dengan tidak berminat. Ia bersandar dan memejamkan mata sejenak, mumpung guru-guru sedang rapat untuk mempersiapkan semester baru. Kesempatan itu juga dimanfaatkan siswa lainnya untuk mengobrol dan sekedar bersenda gurau. Kebanyakan dari mereka adalah teman sekelas sewaktu masih di kelas sepuluh. Hanya Jihan yang tidak memiliki teman yang berasal dari kelas yang sama sebelumnya.

***

Hari pertama masuk sekolah merupakan satu hari paling membahagiakan selama menjalankan masa-masa sekolah. Hari itu tidak ada kegiatan belajar mengajar, tidak ada PR yang dikumpulkan, dan tugas-tugas yang memusingkan kepala. Hingga waktunya bel pulang dibunyikan. Waktu itu baru pukul sebelas pagi. Sepanjang lorong, terdengar deru sepatu para siswa yang bersiap meninggalkan sekolah menuju rumah masing-masing atau menuju ke tempat selanjutnya. Tidak sedikit yang beralih menuju cafe atau mall. Biarlah satu hari ini mereka bersenang-senang. Besok mereka harus kembali berkutat dengan segala macam persoalan dan kesibukan menjadi siswa.