Jihan berdiri mematung di depan cermin yang menempel langsung ke lemari baju. Akhirnya tiba juga waktunya untuk menghadiri acara reunian itu. Acara yang paling tidak mau ia hadiri. Tapi Jihan sudah terlanjur janji pada sahabat baiknya, Ana. Ia hanya memandang dirinya yang sudah berdandan rapi itu melalui pantulan cermin. Malam itu Jihan memutuskan untuk mengenakan gaun hitam selutut yang sudah lama ia miliki namun jarang dipakai. Wajahnya hanya dipoles sederhana namun manis. Ia tak ingin berdandan terlalu menor. Rambutnya yang ikal sebahu itu hanya dibiarkan terurai. Tak lupa ia menyemprotkan parfum murah seharga dua puluh ribuan ke badannya. Ia lalu berjalan menuju rak sepatu dimana biasanya ia meletakkan semua koleksi sepatu murahnya. Penampilan Jihan malam itu terlihat lengkap dengan clutch bag mungil berwarna hitam yang kini dipegangnya.
Tepat pukul delapan malam, seketika itu pula ponsel Jihan berdering. Terpampang nama seseorang di layar ponsel itu. Ia lalu memijit tanda reject pada layar ponsel pertanda tahu siapa identitas penelepon tersebut. Ya, Ana yang menelepon. Ia sudah sampai di depan kost Jihan. Di dalam mobil, terlihat Tania memasang wajah jengkel ketika panggilannya direject.
"Sorry, sorry. Gue emang sengaja nggak angkat telepon lo biar nggak lama. Hehe." ucap Jihan sesaat setelah memasuki mobil Ana. Ia tahu bahwa sahabatnya itu sedang kesal karena ulahnya.
"Ya udah. Pakai tuh seat belt." balas Ana gusar dengan wajah tertekuk.
Jihan tertawa terpingkal-pingkal mendengar ujaran sahabatnya itu seraya tangannya tetap meraih seat belt dan memasangkannya hingga terdengar bunyi klik. Mobil Ana melesat di tengah padatnya jalan raya perkotaan. Kota metropolitan itu memang selalu macet meski di malam hari. Hotel tempat mereka merayakan pertemuan yang sudah bertahun-tahun tidak bersua itupun tidak terlalu jauh. Hanya tinggal tiga puluh menit lagi dari posisi mereka sekarang. Mobil melaju lancar pada akhirnya setelah beberapa saat melawan arus macet yang tidak separah sore hari. Mereka bercanda tawa seraya mendengarkan lantunan lagu kekinian yang cukup memekakkan telinga. Malam itu mereka bukanlah gadis berusia 25 tahun. Malam itu, hanya ada dua remaja yang sedang terbawa arus nostalgia.
Akhirnya mereka mulai melihat bangunan megah bertingkat dimana pertemuan antar teman lama itu dilaksanakan. Bangunan yang menjulang tinggi itu berada persis di pusat kota. Seperti halnya hotel bintang lima lainnya, bangunan megah itu memiliki desain yang modern. Perlahan mobil Ana mulai memasuki halaman depan hotel. Ia menghentikan laju mobil tepat di depan pintu masuk hotel.
"Are you ready girl?" tanya Ana yang sedang sibuk memeriksa riasannya di kaca spion tengah mobilnya.
Jihan hanya membalas dengan satu senyuman hambar.
"Come on, girl. Hari ini kita bakalan bersenang-senang. Lo nggak usah kebanyakan pikiran. Nikmatin aja lagi. Hari ini kita bakalan fix balik lagi jadi anak SMA!" ujar Ana kemudian setelah melihat senyum sahabatnya yang dipaksakan itu.
"Oke, siap buk!" balas Jihan berusaha terlihat semangat. Ia tak ingin merusak mood Ana. Melihat Ana yang sangat bersemangat malam itu membuat Jihan harus mengusir jauh-jauh keengganannya untuk hadir di sana. Ia sudah berjanji akan mengesampingkan keegoisannya. Ia hanya perlu sedapat mungkin untuk menghindar dari kerumunan teman-teman seangkatannya tersebut. Ya, acara reunian malam itu hanyalah reuni kecil-kecilan angkatan Jihan. Bukan reunian akbar SMA dimana biasanya mulai dari angkatan tua hingga angkatan muda berkumpul untuk bersilaturahmi.
Mereka bergegas turun dari mobil dan Ana memberikan kunci mobilnya kepada petugas valet untuk memarkirkan mobilnya yang berwarna putih. Suara hentakan sepatu hak tinggi yang mereka kenakan saat itu terdengar harmonis seiring langkah kaki Ana menuju seorang wanita yang berdiri tak jauh dari mereka. Jihan hanya mengikuti dari belakang.
"Via!" panggil Ana pada wanita yang ternyata adalah Via, teman sekelas Tania sewaktu duduk di kelas sebelas saat SMA dulu.
"Hei, elo Ana! Astagaaaa gue pikir siapa. Ya ampun udah lama banget loh kita nggak ketemu. Elo sih nggak pernah ikutan acara sekolah. Rugi banget lo. Eh, elo apa kabar?" tanya Via kepada Ana seiring mengalihkan pandangannya pada Jihan dengan tatapan bigung.
Ana yang seakan mengerti arti tatapan Via langsung menjelaskan. "Masa lo nggak inget sih? Ini Jihan loh." tiba-tiba Ana menarik tangan Jihan untuk mendekat. Sedari tadi Jihan memang hanya berdiri di belakang Ana.
"Oh Jihan ya" ucap Via pura-pura ingat, lengkap dengan ekspresinya yang sambil mangut-mangut tanda sedang mengingat-ingat. Sebenarnya ia tidak asing dengan nama Jihan, namun ia tidak ingat pernah melihat wajah Jihan di sekolah. Via hanya bersikap sopan saja.
"Gimana kabar lo?" tanya Via kemudian, berusaha memecah kekakuan di antara mereka.
"Gue baik-baik aja" jawab Jihan singkat.
"Baguslah kalau begitu" balas Via mencoba mengakhiri percakapan awkward itu.
"Ayo, kita masuk ke ballroom. Udah banyak yang datang." Lanjut Via sambil melangkah ke arah pintu ballroom.
Mereka bertiga berjalan menuju pintu ballroom berbentuk persegi dan berbahan kayu yang terlihat mahal lengkap dengan ukiran yang terlihat serasi dengan nuansa kayu. Terlihat raut bahagia terpancar dari wajah cantik dua wanita yang malam itu telah menjelma menjadi remaja kembali. Hanya Jihan yang terlihat gelisah. Sebenarnya dari tadi Jihan sangat gugup meskipun berusaha terlihat santai.
Seiring langkah kakinya memasuki ruangan ballroom yang luas dan mewah itu, tampak perubahan drastis dari raut wajah Jihan. Ia tak dapat lagi menahan rasa gugupnya. Jantungnya berdebar kencang, kontras dengan musik yang mengalun santai di dalam ballroom. Ia takut kalau-kalau suara debaran jantungnya terdengar oleh orang-orang yang memenuhi ruangan tersebut.
Tiba-tiba Jihan menarik lengan Ana. "Tan, gue mau ke toilet dulu ya. Kebelet nih." kata Jihan sedikit berbisik di belakang telinga Ana.
Ia langsung memutarbalikkan badan tanpa meminta persetujuan Ana. Ia berjalan ke sembarang arah meninggalkan Ana yang terlihat kebingungan dengan sikapnya. Untung saja Via dengan cepat mengajak Ana ke kerumunan teman sekelas mereka dulu, sehingga Ana yang tadinya kebingungan ditinggal Jihan sekarang tersenyum sumringah lagi. Jihan tidak tahu letak toilet dimana. Namun ia hanya ingin keluar sebentar untuk menenangkan diri. Ini terlalu mendadak baginya. Gadis itu berjalan keluar ballroom melewati kerumunan para undangan sambil menundukkan kepala, berharap tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Meskipun mungkin saja mereka juga tidak mengingat siapa itu Jihan.
Jihan sudah berada di dalam toilet hotel. Ia berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dinding depan wastafel. Gadis itu berusaha menenangkan dirinya dari perasaan gugup. Ia menarik napas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya perlahan. Apakah ia siap untuk ini semua? Entahlah. Ia tidak yakin bahkan dari pertama ia memutuskan akan ikut. Namun ia harus siap dengan segala resiko yang ditakutkannya. Ia takut bertemu Yoan. Lelaki yang masih sangat dicintainya hingga kini. Sekaligus membuatnya menderita dengan semua perasaan yang masih tersimpan jauh di lubuk hatinya. Perasaan tak terucap itu menggerogoti hati dan pikirannya selama ini.
Setelah cukup lama Jihan berdiri sambil menenangkan hatinya yang tak karuan, akhirnya ia memutuskan untuk siap dengan semua risiko. Perlahan langkah kaki Jihan meninggalkan toilet menuju ruangan acara. Ia memutuskan bersikap biasa saja selama di dalam. Terlihat gadis yang dikenalinya sedang berbicara dengan lawan bicaranya. Sesekali gadis itu tertawa lepas. Jihan berjalan mendekati gadis yang dimaksud, yang tak lain adalah Ana.
"Hei, lo kemana aja sih gue tungguin nggak nongol-nongol?" tanya Ana seketika terkejut melihat Jihan tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.
Jihan yang ditanya hanya tertawa garing.
"Elo ya, kebiasaan banget. Jangan suka tiba-tiba ngilang bisa nggak sih" protes Tania. Lalu mengalihkan pandangan ke pria yang sedang berbicara dengannya dan berganti menoleh ke arah Jihan. "Btw, ini Gilang." ujar Ana kepada Jihan dengan senyum mengembang.
"Iya, gue tau" balas Jihan seakan mengerti maksud Ana barusan.
"Apa kabar?" tanya Gilang pada Jihan.
"Gue sebenernya agak lupa sih sama elo. Sorry ya." ungkap pria itu jujur.
"Santai aja lagi. Kabar gue baik kok" jawab Jihan santai. Ia tak terlalu memusingkan jika ada teman mereka yang tidak mengingat dirinya. Apalagi seorang Gilang, yang dulumya adalah salah satu cowok populer di sekolah mereka. Tentu saja Gilang tak mengenalnya, apalagi mengingatnya.
"Terus apa kegiatan lo sekarang?" tanya Gilang basa-basi namun sukses membuat jantung Jihan berhenti berdegup.
"Eengg... Gue..." Jihan berusaha menjawab.
Namun tiba-tiba datang dua orang wanita dengan dandanan sedikit menor meginterupsi percakapan mereka. Mereka ternyata adalah teman yang pernah sekelas dengan Jihan saat kelas dua belas, namun tidak akrab, yang langsung mengenalinya. Bukannya Jihan terselamatkan dari pertanyaan Gilang barusan, namun lebih parah lagi. Dua orang wanita teman sekelas Jihan tadi, terlihat sedang memanggil beberapa teman sekelas Jihan lainya. Mereka lalu menghampiri Jihan. Tampak ekspresi bahagia dari mereka setelah bertahun-tahun tidak bertemu Jihan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sikap temannya tersebut. Hanya saja Jihan terlalu insecure atas hidupnya yang selalu ditakuti bayangan akan pertanyaan-pertanyaan temannya. Dan yang ditakuti Jihan selama ini akhirnya terjadi.
"Oi, Jihan. Kemana aja lo selama ini? Bikin pangling aja sih lo. Udah glowing ya sekarang" kata Mira, salah satu wanita yang berdandan sedikit menor.
"Ehh... Gu gu gue.. nggak kemana-mana kok. Ma ma sih disini-sini aja kok" jawab Jihan terbata-bata.
"Terus kenapa lo nggak pernah ikutan acara sekolah? Gue nggak pernah liat lo dateng ke satu acarapun. Gue pikir elo udah pindah ke mana gitu" ujar Mira bersemangat.
"Ya gue sibuk aja. Jadi nggak punya waktu" jawab Jihan kemudian.
"Eh, lo kerja dimana sekarang?" tanya Novi tiba-tiba membuat Jihan tersentak kaget.
"Masih juga lo nanya Jihan kerja dimana. Pasti kerja di perusahaan bonafit lah. Secara dia selalu juara kelas. Kuliah lo aja di kampus bergengsi itu kan Jihan?"
sergah Mira atas pertanyaan Novi.
"Kalo gitu lo bisa masukin adek gue gitu ke perusahaan tempat lo?" tanya Novi lagi setelah mendengar penjelasan Mira. "Adek gue udah umur 23 tahun masih aja nganggur. Tapi tenang, adek gue pinter kok. Jadi lo nggak bakalan susah juga nantinya." lanjut Novi.
Waktu seakan berhenti tepat saat kalimat terakhir yang diucapkan oleh Novi barusan. Jihan hanya terdiam mematung dan mulutnya seakan terkunci rapat. Pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan dari teman-temannya tadi. Jihan mendadak merasakan kepalanya sedikit pusing. Novi yang pertanyaannya belum dijawab oleh Jihan tiba-tiba memecah keheningan percakapan itu.
"Jihan, lo kenapa? Kok lo diam aja sih gue nanya? Helooo", tanya Novi seraya menjentikkan jarinya di depan wajah Jihan yang terlihat termenung itu.
"Gue nggak kerja di perusahaan bonafit seperti yang elo bilang tadi. Gue cuma kerja part time. Gue juga nggak kuliah di kampus bergengsi itu. Emang bener kalau gue keterima, tapi gue nggak kuliah" ungkap Jihan tiba-tiba. Ia sudah tidak mau lagi menyembunyikan apa-apa lagi. Sudah terlalu lelah baginya untuk menghindar. Setidaknya beban perasaannya selama ini berkurang dengan keputusannya untuk jujur malam itu.
"Sorry ya Jihan, gue nggak maksud" sesal Novi.
"Nggak papa kok Vi. Nggak ada yang salah kok sama pertanyaan lo"
Karena merasa tidak enak telah sok tahu, mereka semua berpamitan mengundurkan diri dan mempersilahkan Jihan melanjutkan obrolan. Jihan hanya berpura-pura kuat. Sebenarnya ia hanyalah gadis yang rapuh. Jihan tak kuasa menahan emosinya yang tak karuan. Matanya mulai panas. Ia kemudian berpamitan pada Ana dan Gilang untuk ke toilet. Gadis itu buru-buru berjalan menembus kerumunan manusia karena ia tak ingin menangis di ruangan itu. Namun ternyata pertahanan diri Jihan runtuh juga. Aliran hangat tiba-tiba berjatuhan membasahi pipi Jihan. Dengan sigap ia mengusap genangan air yang terasa hangat di tengah dinginnya ruangan malam itu.
Ana hanya memandangi punggung sahabatnya yang perlahan menghilang. Ia tahu Jihan sedih. Ia tidak menyusul Jihan karena akan lebih baik bagi Jihan jika sendiri dulu.
Seiring langkah kaki Jihan yang semakin cepat menuju pintu ballroom, ada sepasang mata yang memperhatikan gadis itu dari kejauhan, bergerak mengikuti sosok yang sedang diperhatikan. Mata itu berubah sendu. Tersirat makna yang dalam dan susah dijelaskan. Namun, yang pasti terdapat kerinduan di kedua mata itu. Rindu yang tak tersampaikan.
***
Jihan sudah berada di dalam bilik toilet. Ia mengunci pintu bilik itu rapat-rapat. Setelah sebelumnya memastikan tidak ada orang di dalam toilet tersebut, gadis bertubuh kurus itu tak kuasa lagi menahan bendungan air mata yang akhirnya tumpah di pipi tirusnya. Jihan terduduk di atas kloset sambil menangis sejadi-jadinya. Hal yang selama ini ia hindari akhirnya terjadi juga. Keputusan berani yang dilakukannya malam ini telah menandakan bahwa akan segera beredar gosip tentang dirinya. Benar saja, beberapa saat kemudian terdengar suara pintu toilet hotel itu berderik tanda dibuka seiring suara tawa dan obrolan beberapa wanita. Jihan tak tahu pasti ada berapa orang. Suara wanita tersebut semakin jelas terdengar ketika salah satunya menyebutkan nama Jihan. Jihan mendengar dengan seksama apa yang sedang dibicarakan wanita itu, yang mana Jihan tidak tahu siapa gerangan sosok wanita yang membicarakannya tersebut.
"Eh, lo udah denger belum tentang Jihan?", tanya salah satu wanita di toilet itu seraya bercermin memperbaiki riasannya.
"Belum. Kenapa tuh? Jihan yang dulu sering Juara itu? Gue lupa dia yang mana. Emangnya dia kenapa?" timpal wanita satunya sesekali menoleh ke arah rekannya tersebut karena sedang sibuk memotret dirinya di depan cermin toilet.
"Masa si Jihan yang sering dibanggakan sama guru-guru dulu itu, sekarang cuma kerja part time. Gue aja sampai kaget dengernya. Gue nyangkanya dia bakalan sukses, eh ternyata nasib nggak ada yang tau ya, hahaha." ujar wanita yang pertama masih tetap berdandan di depan cermin seraya tertawa.
"Serius lo? Demi apa?" sontak wanita lainnya itu terkejut, berhenti dari kegiatan "selfie-nya". "Tapi kok lo jahat banget ngetawain dia? Kasihan tau" lanjutnya kemudian.
"Biarin aja lagi. Lo sih nggak tau gimana sombongnya dia dulu. Wajar aja dulu dia nggak punya teman. Angkuh banget sih." ungkap wanita sebelumnya.
Oh my god! Dia bilang apa? Dia bilang gue sombong? Kapan gue pernah sombong? Astaga! Jadi selama ini banyak yang mikir gue sombong? ujar Jihan dalam hati.
"Udah yuk, buruan. Acaranya mau dimulai nih. Lo lama banget sih dandannya. Buruan!" ungkap salah satu wanita itu menarik lengan temannya dengan tergesa-gesa.
Jihan yang sedari tadi mendegarkan seluruh percapakan tadi terlihat begitu terpukul. Ternyata selama ini dia telah di cap sebagai makhluk yang arogan oleh teman-temannya. Apa salahnya? Apakah ia yang seorang introvert itu patut disalahkan hanya karena tak pandai bergaul? Salahkah dia selalu menjadi juara di sekolahnya dan guru-guru menyukainya? Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya. Tapi kali ini ia mendekap mulutnya rapat-rapat dengan clutch bag hitam yang digenggamnya semenjak tadi. Ia tak ingin suara isakannya terdengar. Perlahan suara wanita-wanita itu hilang seiring suara langkah kaki mereka menuju keluar toliet.
Setelah dirasa tidak ada orang lagi di toilet itu, Jihan meraung-raung jedi-jadinya. Ia tak ingin lagi menahan emosi yang sedang dirasakannya. Setelah agak lama sibuk dengan kesedihannya, Jihan kembali pada kesadarannya. Perlahan ia membuka pintu bilik toilet dimana ia bersembunyi. Pantulan dirinya di cermin menunjukkan sosok gadis dengan wajah yang cukup berantakan. Gadis itu lalu memperbaiki sedikit riasannya dengan air. Matanya terlihat sembab. Cepat-cepat ia memoles sekitaran matanya itu menggunakan concealer dan bedak. Meskipun belum bisa menyamarkan mata sembabnya sepenuhnya, tapi setidaknya tidak separah sebelumnya. Ia kemudian bergegas keluar toilet menuju ballroom hotel. Sudah agak lama ia pergi dan meninggalkan Ana disana.
Sesampainya disana, acara sudah dimulai. Semua hadirin telah duduk di masing-masing kursi yang disediakan panitia. Jihan yang masih membelakangi pintu ballroom, menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia terlihat mencari-cari sosok yang dikenalnya itu. Yang dicaripun melambaikan tangan ke arah Jihan. Jihan bergegas ke arah sang pelambai tangan tersebut yang tak lain adalah Ana. Ana menyuruh Jihan untuk duduk di sebelahnya. Ia telah mengosongkan kursi itu untuk Jihan. Di sebelah Ana, Jihan bisa melihat Gilang duduk disana dan tersenyum ke arahnya. Jihan membalas dengan anggukan dan senyuman yang dipaksakan.
"Lama amat sih lo" cerca Ana sesaat Jihan telah duduk di sampingnya.
"Hehe yang penting kan gue udah kesini" timpal Jihan mendengar protesan temannya tersebut.
"Ya udah lah. Acaranya udah mulai dari tadi loh" ucap Ana menimpali perkataan Jihan tadi.
"Terus sekarang udah sampai mana nih?" tanya Jihan pura-pura tertarik. Padahal dia hanya ingin cepat pulang. Ia sedang memikirkan alasan untuk disampaikan pada Ana.
"Masih penampilan nyanyi nih. Ada yang main biola juga tadi. Kereeeen. Eh, lo kenapa nggak ikutan maju aja, Han? Lo kan suka nyanyi juga tuh. Bisa lah" goda Ana membuat muka Jihan memerah malu sekaligus gugup.
"NO!" ucap Jihan tegas.
"Ya udah deh santai hahaha" timpal Ana tertawa melihat tingkah sahabatnya itu yang bikin gemas. Menurutnya Jihan itu lucu. Tidak seperti apa yang dipikirkan orang lain, yang mana mereka menganggap Jihan itu dingin. Ia pikir Jihan hanya terlalu menyembunyikan emosinya. Ia merasa kasihan pada Jihan.
Mereka kembali menikmati penampilan teman seperjuangan mereka sewaktu masa sekolah dulu. Alunan lagu slow pop tampak mewakili suasana pada malam itu. Jihan melihat ke arah Ana yang terpaku pada penampilan sang penyanyi. Sesekali dilihatnya Ana tertawa sembari menanggapi obrolan Gilang yang duduk di samping sahabatnya itu. Ana terlihat sangat bahagia malam itu. Jihan tersenyum tulus melihat tawa polos dari bibir Ana. Ini kesempatannya untuk berpamitan pulang. Jihan sontak menepuk bahu sahabatnya.
"Na, gue balik duluan ya. Udah malam. Besok gue harus kerja lagi" bisik Jihan di tengah hiruk pikuknya suasana malam itu.
"Lah, kok cepet amat sih. Entar aja sama gue ya. Kita makan dulu, baru pulang. Ok?" protes Ana sekaligus membujuk Jihan agar tidak pulang.
"Enggak Na. Gue mau pulang sendiri aja. Lo bisa ama si Gilang kan?" goda Jihan dengan tatapan genitnya seraya menoleh ke arah Gilang.
Wajah Ana memerah. "Ah, apaan sih lo. Udah sana pulang kalo gitu. Entar kemalaman lo di jalan. Hati-hati ya, Han. Kabarin gue kalo udah sampai kost." ujar Ana khawatir menahan lengan Jihan kalau-kalau Jihan berubah pikiran.
"Tenang aja lagi, kaya gue baru setahun dua tahun aja disini" canda Jihan tak ingin sahabatnya itu khawatir.
Sesaat Jihan akan bangkit dari tempat duduknya, alunan gitar mulai mengalun merdu. Suara yang sangat dikenalnya terdengar mengiang di dalam ruangan besar itu. Jantung Jihan tak henti-hentinya berdetak kencang. Napasnya tercekat. Ternyata memang benar. Ia melihat sosok pria yang sangat dikenalnya melantunkan sebuah lagu dengan iringan gitar akustik yang sedang ia mainkan. Sosok itu menatap tajam ke arah Jihan. Hanya ke arah Jihan. Mata mereka beradu pandang. Sontak membuat Jihan terperangah sambil mengkondisikan debaran jantungnya yang kian tak menentu. Bibirnya terkatup rapat. Kaki dan tangannya dingin, entah karena saking gugupnya atau karena memang AC di ruangan itu sangat dingin. Cukup lama mereka berpandangan dalam diam. Sang penyanyi melanjutkan ke bagian refrain dari lagu yang sedang dinyanyikannya. Ia tampak sangat menghayati bait-bait lagu itu.
Wherever you go, whatever you do
I will be right here waiting for you
Whatever it takes, or how my heart breaks
I will be right here waiting for you
Meskipun tak begitu jelas, namun suara penyanyi itu terdengar tertahan. Suaranya memang tidak merdu untuk standar penyanyi. Semua yang ada di dalam ruangan menganggap si penyanyi itu antara terlalu percaya diri atau urat malunya sudah putus. Namun tidak bagi Jihan, dan Tania yang mengetahui bagaimana perasaan sahabatnya saat ini. Setelah beberapa lama tidak bertemu sosok itu, ia yakin sahabatnya pasti sangat terkejut. Bagaimana tidak. Pria itu yang selama ini menguras pikiran dan tenaga sahabatnya. Karena pria itulah sahabatnya tidak pernah menyetujui setiap diajak kencan buta. Jihan hanya selalu menutup diri selama ini karena belum move on dari pria itu. Yoan namanya.
Jihan tak menyangka akan bertemu juga dengan Yoan, pria yang selama ini dicintainya. Selama ini ia selalu tidak ikut acara sekolah karena tidak ingin bertemu Yoan. Ia terlalu insecure untuk bertemu seorang Yoan yang dulunya pernah cukup dekat, tapi entah kenapa dan sejak kapan jarak diantara mereka perlahan mulai tampak nyata. Jihan menepuk-nepuk dadanya sendiri dengan pelan. Dadanya terasa sesak. Ia harus cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Gadis itu tak bisa berlama-lama berada disana. Terlalu sesak baginya melihat Yoan kembali setelah sekian lama, bersamaan dengan perasaan yang terus tersimpan jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Jihan bergegas berdiri dan berlalu setelah menepuk pundak Ana. Ana hanya membalas dengan sebuah anggukan dan tatapan sendu melihat kepergian Jihan. Jihan tampak berlari-lari kecil menuju pintu ballroom.
Yoan yang melihat Jihan berlalu begitu saja cepat-cepat menghentikan pertunjukkannya yang diiringi sorakan dan tawa teman-teman seangkatannya. Yoan hanya meminta maaf dan lekas berlari meninggalkan panggung. Namun langkahnya terhenti ketika beberapa orang wanita datang menyerbu dengan beberapa pertanyaan. Yoan kemudian menolak sopan dan seketika itu ia melihat Jihan sudah hilang dari pandangannya. Ia tak peduli lagi dan meninggalkan beberapa temannya yang keheranan. Ia hanya ingin menyusul Jihan sesegera mungkin.
Please, Jihan. Lo jangan pergi dulu. Please. Lo jangan pernah ngilang lagi dari gue. Please...
***