Chereads / Selubung Rindu / Chapter 4 - Bab 3. Gotcha! I Found You

Chapter 4 - Bab 3. Gotcha! I Found You

Jihan berjalan pelan di sepanjang jalan dari hotel tempat acara reuni sekolahnya diadakan menuju halte di sekitaran hotel. Hatinya belum ingin pulang. Ia hanya ingin berjalan sendiri menikmati suasana hiruk pikuk kendaraan di malam hari, ditemani udara yang mulai dingin. Melepaskan semua beban yang selama ini ia pikul sendirian. Ia sudah lelah menangis semenjak di hotel tadi. Bertubi-tubi kesedihan yang menghujaninya sekaligus pada malam itu. Apalagi terakhir ia melihat Yoan untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dadanya sesak seakan ditimpa ratusan logam berat. Langkahnya mulai gontai. Tampaknya badan gadis bertubuh kurus yang dibalut gaun hitam tipis itu mulai kedinginan. Ditambah kakinya yang mulai kesakitan karena memakai high heels di jalanan trotoar yang kurang rata. Ia kemudian mempercepat langkahnya menuju halte yang sudah mulai tampak dari kejauhan.

Di lobby hotel, tampak Yoan berlarian mencari-cari sosok yang sangat ingin ia jumpai. Ia sampai nekat masuk ke toilet wanita hanya untuk menemukan gadis yang ia cari. Namun tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang disana. Ia juga memeriksa area restoran hotel mewah itu, namun tak kunjung didapatinya sosok Jihan. Lelaki berbalut kemeja dan dilapisi jas berwarna biru tua itu mulai terlihat gelisah. Beberapa saat kemudian ia menanyakan tentang seorang gadis bergaun hitam kepada petugas keamanan hotel yang berdiri di depan pintu lobby hotel. Pastilah petugas tersebut setidaknya melihat Jihan walaupun kemungkinan hanya sekilas. Memang benar saja, petugas itu menunjukkan jarinya ke arah luar hotel. Ia melihat Jihan berjalan ke arah pusat kota. Setelah berterima kasih kepada petugas tersebut, Yoan segera berlari menuju arah yang dimaksud. Hatinya berdebar, berharap Jihan masih berada di dekat sana. Ia berlari terus tanpa memedulikan pengendara motor yang lewat dan beberapa pedagang kaki lima memandanginya heran. Mereka heran melihat pemuda berpenampilan rapi, berjas, dan klimis itu berlarian di pinggir jalan.

Tak lama, akhirnya ia menemukan juga sosok gadis yang sangat dirindukannya itu, sedang duduk seorang diri di bangku halte, dengan posisi bersandar dan menatap ke arah jalanan dengan tatapan kosong. Gadis itu sedang melamun. Yoan tersenyum sumringah melihat Jihan yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Ternyata kebiasaan Jihan yang selalu melamun di masa sekolah dulu masih tetap dipertahankannya hinga kini. Yoan melangkah perlahan ke arah gadis yang duduk tak jauh dari posisinya kini dengan napas sedikit tersengal karena habis berlarian. Ia mengatur napasnya senormal mungkin. Yoan kini sudah duduk di samping gadis itu. Namun yang bersangkutan belum menyadari keberadaan Yoan. Gadis itu larut dalam lamunannya sambil mendengarkan lagu melalu headset. Yoan hanya tersenyum melihat kebiasaan gadis itu yang belum juga hilang. Melamun dan mendengarkan lagu melalui headset adalah ciri khas seorang Jihan sedari dulu. Begitulah Yoan mengingatnya. Lelaki itu memberanikan diri untuk menyentuh pelan lengan gadis itu yang ternyata dingin. Pastilah gadis itu kedinginan duduk disini dengan gaun agak tipis seperti itu. Apalagi udara malam itu yang lumayan dingin. Gadis itu refleks terkejut dan menoleh ke arah sumber sentuhan. Jihan sangat terkejut melihat Yoan yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.

"Han, ini gue, Yoan" ucap lelaki itu seketika Jihan menoleh. "Jangan bilang lo lupa sama gue" lanjutnya. Ia menatap sosok yang kini terperangah kaget di sampingnya itu lekat-lekat. Ia tak menyangka bisa memandang gadis itu lagi dari dekat setelah bertahun lamanya.

Gadis yang dimaksud membenarkan ekspresinya dan melemparkan pandangannya lagi ke arah jalanan yang masih saja ramai oleh kendaraan. Ia tak langsung menjawab. Gadis itu melepaskan headset dari telinganya yang tidak memakai anting, lalu menoleh kembali ke arah sumber suara.

"Eh, lo Yoan. Lo ngapain disini? Bukannya lo tadi lagi nyanyi?" tanya Jihan menanggapi. Lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Ia berusaha sebisa mungkin tidak terlihat gugup. Seperti biasa, Jihan selalu melakukan kebiasaannya setiap sedang gugup. Gadis itu selalu menahan emosinya dan itu sudah menjadi kebiasaan baginya. Kali ini ia memasang wajah datar, terkesan dingin.

"Lo masih sama aja ya, Han. Masih dingin" timpal Yoan. Kini ia memutar badannya, menyilangkan kaki, menatap jalanan dengan tatapan nanar. "Cuma itu reaksi lo setelah beberapa tahun kita nggak ketemu?" lanjut Yoan dengan perasaan kecewa. Hati yang tadinya berbunga-bunga setelah melihat gadis itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kini seakan teriris puluhan pisau silet tajam. Sakit sekali.

"Terus gue musti reaksi kaya gimana? Lo mengharapkan apa?" tanya Jihan datar dan ikut menatap jalanan yang sama dengan lelaki itu. Padahal detakan jantungnya tidak menentu. Beberapa kali ia menghembuskan napas perlahan, berusaha mengatur ritme jantungnya.

"Lo keterlaluan" ucap lelaki itu kemudian.  "Gue nggak ngerti sama lo, Han! Lo nggak ada kabar selama ini. Bahkan di acara kelulusan SMA kita lo juga nggak datang. Lo nggak ngomong apa-apa ke gue. Gue nggak tau lo ada dimana. Lo juga nggak pernah dateng ke acara sekolah. Terus seenaknya tiba-tiba lo dateng malam ini? Setelah nggak ada kabar apapun tentang elo selama ini, dan lo masih nanya gue mengharapkan apa?" lelaki itu mulai meninggikan nada suaranya. Emosinya sudah meluap-luap. Ia kecewa atas sikap Jihan selama ini yang tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa ada kabar, kemudian muncul secara tiba-tiba pula di hadapannya, dan bersikap seolah-olah mereka tidak pernah kenal.

Jihan yang terkejut mendengar Yoan yang tiba-tiba membentaknya, lantas tak mau kalah juga. Apa maksudnya memperlakukan Jihan seperti itu? Tak tahukah ia selama ini bagaimana Jihan terus menjaga hatinya untuk satu lelaki yang duduk di sebelahnya itu? Tak tahukah ia bagaimana Jihan menjalani hidupnya selama ini dan bertubi-tubi masalah menghampirinya dimulai semenjak ia lulus dari SMA? Yoan tidak berhak memperlakukan ia seenaknya. Sama seperti dulu ketika lelaki itu tiba-tiba menjaga jarak darinya tanpa ia tahu apa alasannya.

"Maksud lo apa bentak-bentak gue? Terserah gue mau gimana! Nggak ada sangkut pautnya sama elo!" bentak Jihan membalas ucapan Yoan yang sedikit menyinggung hatinya.

"Emangnya lo pikir kita selama ini deket? No, Yoan. Kita nggak sedeket itu buat ikut campur kehidupan satu sama lain!" lanjutnya lagi.

"Bukan itu maksud gue Han. Gue cuma heran kenapa lo tiba-tiba menghilang gitu aja. Gue nggak pernah denger kabar dari elo sampai-sampai gue pikir elo udah pindah ke tempat yang jauh banget" ungkap Yoan mulai menurunkan nada suaranya. Ia sudah bisa mengendalikan emosinya yang berlebihan tadi.

Jihan tidak menjawab. Ia terlalu kesal menanggapi lelaki itu.

"Terus, kenapa lo nggak kuliah? Gue udah cari-cari nama elo di kampus itu tapi elo nggak pernah datang kesana. Lo dapet beasiswa kan? Terus kenapa lo nggak kuliah? tanya Yoan setelah beberapa saat hanya ada keheningan diantara mereka berdua.

Masih hening. Tak ada respon dari Jihan. Ia merasa malas menangapi pertanyaan Yoan barusan tentangnya. Sudah cukup banyak pertanyaan-pertanyaan sedari tadi yang membuatnya pusing. Ia lantas ingin bergegas pulang naik ojek online saja, mengingat hari sudah malam dan lebih aman menggunakan jasa ojek online ternama itu.

"Yoan, gue udah dulu ya. Gue mau pulang, bentar lagi ojek gue sampai" balas Jihan mencoba mengalihkan arah pembicaraan.

"Lo jangan coba-coba ngalihin pembicaraan Han. Udah basi!" ujar Yoan yang sukses membuat suasana panas kembali, ditengah dinginnya udara malam itu.

"Lo kenapa sih Yoan? Lo ada masalah sama gue? Bilang aja, gue dengerin. Ayok!" Jihan bangkit dari tempat duduknya di bangku halte. Ia melipat tangannya di dada dan berdiri menantang Yoan.

"Kenapa? Lo mau tau kenapa gue nggak kuliah? Kenapa gue nggak ada kabar? Sorry, Yoan. Hidup gue terlalu sibuk untuk cuma ngasih tau keadaan gue ke kalian semua. Bokap gue meninggal di hari kelulusan kita. Terus lo mau gue koar-koar gitu, ngasih tau bokap gue meninggal ke semua orang, berharap belas kasihan? No. It's not my type!" ungkap Jihan tak kuasa menahan butiran air mata yang mulai berjatuhan. Pertahanannya runtuh. Ia tak bisa lagi menyembunyikan emosinya. Setidaknya untuk malam itu saja.

"Jihan, gue nggak tau..." balas Yoan setelah tahu kenyataan yang sebenarnya. Ia kemudian ikut bangkit dari bangku halte yang didudukinya.

"Lo masih mau tau yang lain kan?" potong Jihan tiba-tiba. "Kenapa gue nggak kuliah meskipun udah dapat beasiswa di kampus ternama itu? Gue bisa apa Yoan? Nyokap gue mendadak pindah ke kampung halamannya di Kalimantan. Adek gue masih butuh biaya sekolah. Belum lagi biaya hidup gue dan keluarga gue. Gue harus kerja apa aja buat hidup. Gue nggak bisa berbuat apa-apa Yoan. Please jangan buat gue ngomong lebih banyak lagi. Please." pinta Jihan kepada Yoan yang berdiri mematung. Lelaki itu terdiam seribu bahasa. Ia sangat terkejut mendengar pengakuan Jihan. Tak disangkanya bahwa kehidupan yang dijalani gadis yang teramat dicintainya itu sangat berat.

"Maafin gue Han" tiba-tiba Yoan berlutut di hadapan gadis yang kini masih menangis. Ia tampak terkejut dengan sikap tiba-tiba Yoan. "Seharusnya gue nggak nyalahin elo. Seharusnya gue yang harus cari tau tentang elo, bukan nyalahin elo. Gue.. gue.. salah Han" lanjut Yoan. Kini lelaki itu merasakan matanya mulai kabur. Air mata yang menggenang itu menutupi pandangannya.

Jihan yang melihat perubahan sikap Yoan yang tiba-tiba sudah menangis berlutut di hadapannya itu perlahan luluh. Kini mereka berdua sama-sama larut dalam emosi yang sama.

"Elo nggak salah Han. Gue cuma melampiaskan perasaan kecewa gue ke elo. Karena gue.. gue.. gue cinta sama lo Han." aku Yoan tiba-tiba. Ia sudah tak ingin memendam rasa cintanya selama ini kepada gadis yang berdiri di hadapannya dan menampakkan ekspresi kagetnya.

"Lo tau, selama ini gue udah suka sama elo dari pertama gue ngeliat elo. Pertama kali kita sekelas. Gue mencoba mendekati elo, Han. Tapi elo selalu bersikap dingin sama gue. Gue udah ngelakuin segala cara untuk bisa dapat perhatian dari elo. Tapi apa? Lo selalu bersikap cuek sama gue." lanjut Yoan mengungkapkan perasaan cintanya.

Jihan menangis sejadi-jadinya mendengar pengakuan Yoan. Tak disangkanya, pria yang selama ini juga dicintainya ternyata menyimpan perasaan yang sama dengannya. Perasaan Jihan malam itu bercampur antara bahagia dan sedih sekaligus. Ia bingung dengan suasana yang baru pertama kali ia rasakan tersebut. Ia juga bingung, jika Yoan juga menyukainya saat itu, lantas kenapa pria itu tiba-tiba menjauhinya? Kenapa dulu ia tidak mengutarakan perasaannya pada Jihan? Sambil menghapus air matanya yang sudah membasahi pipinya sedari tadi, Jihan melontarkan pertanyaan yang membuatnya bingung selama ini.

"Kalau lo suka sama gue, terus kenapa elo mendadak jaga jarak sama gue waktu itu?" tanya Jihan penasaran.

Yoan kembali berdiri. Kali ini dia melemparkan pandangan ke tengah jalan raya yang ada di hadapannya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang berwarna senada dengan jas yang dikenakannya malam itu. Lalu ia menjawab pertanyaan Jihan.

"Lo salah satu makhluk yang paling enggak gue ngerti, Han. Sesaat elo perhatian banget sama gue. Gue seneng banget saat itu. Gue pikir elo udah mulai ada rasa sama gue. Tapi sesaat kemudian elo kembali dingin dan cuek sama gue. Gue bingung, Han. Mulai saat itu gue mulai berpikir kalau nggak ada harapan gue sama elo. Gue pikir elo risih sama gue, elo benci sama gue. Itu makanya gue mutusin buat jauh dari elo. Setidaknya untuk diri gue sendiri. Tapi jadinya gue malah lebih tersiksa hanya ngeliat elo dari jauh. Sampai akhirnya kita lulus dan elo mulai nggak ada kabar lagi. Gue mulai menyesal" ungkap Yoan kemudian.

Betapa terkejutnya Jihan bahwa selama ini Yoan menganggap Jihan benci dan risih kepadanya. Asal Yoan tahu, sikap dinginnya saat itu adalah cara untuk menutupi kegugupannya selama berada di dekat Yoan. Ternyata Yoan telah salah paham terhadap sikapnya itu. Yoan salah. Tidak pernah sekalipun ia membenci Yoan. Ia sangat mencintai dan memuja Yoan yang menurutnya sangat baik. Ketika semua orang tidak menyadari keberadaan Jihan, hanya Yoan yang selalu mendekati Jihan. Selalu bertanya pada Jihan walaupun sudah dijelaskan guru dan itu pertanyaan mudah. Meskipun Yoan dikenal bad boy sewaktu SMA, namun Jihan tak pernah mempermasalahkan itu. Saat itu, dimata Jihan hanya ada Yoan.

Setelah mereka saling diam untuk beberapa saat, akhirnya tiba juga pesanan ojek online Jihan untuk mengantarnya pulang ke kost. Namun Yoan memaksa untuk mengantar Jihan pulang dan membayarkan ongkos ojek Jihan kepada driver yang sudah stand by di depan halte.

"Pak, maaf sebelumnya. Ini ongkos ojeknya. Dia nggak jadi naik ojek bapak. Dia pulang sama saya aja. Maaf ya pak" ucap Yoan sopan sambil menyodorkan satu lembar uang 50 ribu dari dalam dompetnya.

"Ini nggak ada kembaliannya mas. Ada uang pas aja nggak?" tanya sopir itu masih memegang uang tersebut.

"Ambil aja kembaliannya pak, nggak papa" jawab Yoan kemudian seraya melemparkan senyum.

"Okelah mas kalau gitu. Makasih ya. Saya permisi mau lanjut dulu. Permisi mas, mba" ucap sopir itu undur diri setelah memasukkan uang tersebut ke dalam saku jaketnya.

***

Tanpa diundang, hujan perlahan turun. Awalnya hanya gerimis kecil, namun selanjutnya berubah menjadi deras diikuti angin yang mendadak kencang.

"Jadi, lo mau kan gue anterin pulang? Hujannya deres banget lo. Untung lo nggak jadi naik ojek. Bisa-bisa lo kebasahan di jalan. Bisa kena demam." Kata Yoan mencoba meyakinkan Jihan.

Jihan membenarkan ucapan Yoan saat itu. Ia kemudian mengangguk tanda setuju. Yoan tersenyum bahagia karena malam itu dia akan mengantarkan Jihan, sang pujaan hatinya. Itu tandanya ia memiliki waktu lebih lama lagi untuk berdua dengan Jihan. Yoan menyuruh Jihan menunggunya di halte seraya ia kembali ke hotel untuk menjemput mobilnya. Lelaki itu langsung bergegas menuju hotel. Namun belum beberapa langkah ia berlari, ia lalu kembali lagi ke halte dan berdiri di hadapan Jihan. Sesaat kemudian ia melepaskan jas berwarna biru tua yang ia kenakan malam itu dan langsung memakaikannya pada Jihan. Ia tidak mau Jihan kedinginan terlalu lama. Jihan hanya tertunduk malu mendapatkan perlakuan romantis dari pria yang dicintainya. Gadis itu tak tahu bagaimana bereaksi.

Setelah melemparkan senyuman, Yoan kemudian berlari di tengah derasnya hujan malam itu. Tak apa ia kebasahan. Ia sungguh tidak peduli. Malam itu ia adalah pria yang sangat berbahagia. Akhirnya ia bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini membuatnya menderita.

***

Mereka berdua sudah berada di dalam mobil Yoan. Jihan khawatir melihat keadaan Yoan yang sudah basah kuyup. Ia menyalahkan Yoan kenapa memberinya jas padahal dia sendiri yang akan kehujanan. Seharusnya Yoan pakai saja jas itu untuk melindunginya dari hujan. Yoan hanya menanggapi ocehan Jihan yang mengkhawatirkan dirinya dengan senyuman hangat. Ia merasa gadis disampingnya itu kini lebih cerewet dibandingkan dulu. Tapi ia malah senang, karena Jihan pasti akan selalu berbicara, tidak seperti dulu yang hanya diam-diam saja.

"Tenang aja sayang, aku nggak bakalan kenapa-kenapa kok" ucap Yoan memperhatikan perubahan sikap Jihan setelah mendengar ucapannya barusan. Ia menggoda gadis itu sambil menahan tawa.

"Sayang apaan. Kita nggak ada hubungan apa-apa ya. Gue juga belum kasih jawaban pernyataan lo tadi" jawab Jihan gusar mendengar gombalan Yoan. Ia memanyunkan bibirnya seraya melipat kedua tangannya di dada dan menoleh ke luar kaca jendela mobil. Jihan sangat gugup.

Yoan tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Jihan. Seperti yang sudah ia bayangkan, Jihan pasti akan jengkel kepadanya. Jihan yang melihat Yoan tertawa hanya mendengus kesal.

Mobil melaju pesat di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Mereka mengobrol mengenang kebodohan masa lalu. Keduanya saling berpandangan dan kemudian tertawa. Hanya ada kebahagiaan malam itu. Mereka bercanda layaknya sepasang kekasih baru yang sedang kasmaran. Sampai suatu kejadian yang tidak terduga merubah suasana hangat itu kembali menjadi dingin. Jihan terpaku melihat nama yang terpampang di layar monitor mobil yang sudah disetel Yoan untuk bisa tersambung ke ponsel miliknya. Yoan lupa memutuskan sambungannya. Yoan terlihat panik. Nama itu terpampang jelas. Nama yang disimpan Yoan sebagai "Sayang". Yoan tidak mengangkat panggilan dari "Sayang" tersebut.

Keadaan kembali sunyi.

"Lo udah punya pacar ya? Atau mungkin istri?" tukas Jihan memecah kesunyian. "Terus kenapa nggak lo angkat aja?" tanya Jihan datar. Jihan kecewa. Ia hanya memandang hujan yang deras dan langit yang gelap dari balik kaca jendela mobil yang tertutup.

Yoan terdiam seribu bahasa. Ia tidak sanggup menjelaskannya pada Jihan. Panggilan dari "Sayang" itu muncul kembali. Kali ini Jihan spontan menggeser tanda terima pada layar monitor. Jantungnya berdebar tak karuan. Kali ini bukan debaran cinta. Melainkan debaran rasa takut, marah, gugup, dan sedih menjadi satu.

"Sayang, kamu masih disana? Acaranya belum kelar?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari speaker yang mengiang di seluruh mobil, karena memang speaker mobil tersebut biasanya Yoan gunakan untuk mendengarkan lagu-lagu yang biasa ia setel dengan suara keras.

Tangan Yoan meraih tombol volume untuk mengecilkan suara sang pemanggil. Setelah itu Yoan hanya diam tak menjawab pertanyaan "Sayang" itu.

"Sayang, kamu denger kan? Kok diam aja sih?" tanya suara itu kembali setelah beberapa saat Yoan tak menjawab.

Jihan melirik Yoan sinis, mengisyaratkannya untuk segera menjawab panggilan itu. Yoan menurut. "Aku udah di jalan mau pulang nih. Kenapa?" sahut Yoan datar. Ia kesal karena kebahagiaan yang hanya sebentar saja ia rasakan telah dirusak oleh kekasihnya sendiri. Ia lalu melirik Jihan hati-hati. Jihan masih memandang ke luar kaca jendela seolah tak sudi melihatnya.

"Thank's God! Kebetulan nih kamu bisa jemput aku di Mall Sudirman nggak? Aku tadi lagi meeting bareng client. Lupa deh bawa mobil. Tadi barengan ke Mall sama client aku. Aku keinget kamu ada acara reuni deket sini kan. Sekalian aku pengen pulang bareng kamu. Kamu belum jauh kan?" ujar suara yang sudah dipastikan adalah kekasih Yoan atau mungkin istrinya.

"Emangnya kamu nggak bisa pulang sama client lagi? Kan perginya tadi barengan." balas Yoan dengan malas.

"Kok kamu jawabnya gitu sih? Jadi kamu udah nggak mau jemput-jemput aku lagi?" rengek suara itu. Terdengar suara wanita itu sedikit kesal pada jawaban yang diberikan Yoan.

Jihan melirik Yoan dan  menyuruhnya untuk menjemput kekasihnya itu. Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan kata perkata tanpa mengeluarkan suara. Yoan mendengus. Ia patuh saja pada perintah Jihan.

"Iya deh. Bentar lagi aku telpon kalo udah nyampe" sahut Yoan kemudian.

"Nah, gitu dong pacarku yang ganteng dan baik hati. Ketemu di sana ya, sayang. Bye. Muach." suara tersebut terdengar riang, pertanda empunya suara sedang gembira. Ternyata wanita itu pacar Yoan, belum menjadi istrinya.

"Hmm.." jawab Yoan datar dan mengakhiri panggilan.

"Yoan lo bisa turunin gue disini" ucap Jihan pada akhirnya sesaat panggilan tadi berakhir.  Ia tidak mau memandang Yoan. Hatinya sakit sekali. Sesaat yang lalu ia menjadi orang paling bahagia di dunia, untuk kemudian bahagia itu direnggut kembali darinya. Kenapa Yoan menyatakan perasaan padanya padahal dia sudah mempunyai kekasih?

"Nggak. Lo gue anter pulang." sahut Yoan tidak memedulikan permintaan Jihan.

"Lo denger gue ngomong apa nggak sih? Gue mau lo turunin gue disini!" pekik Jihan. "Lo gila! Udah tau punya pacar kenapa lo kaya gini ke gue, An? Lo beneran brengsek ya. Udah mainin hati gue terus lo mau sakitin hati cewek lo? Nggak ada hati lo ya. Benci gue sama lo." ungkap Jihan kecewa menahan agar air matanya tak jatuh. "Cepet berhenti disini atau enggak gue lompat." ancam Jihan kemudian yang sukses membuat Yoan menghentikan laju mobilnya.

"Tapi sekarang lagi hujan Han. Lo mau kemana malam-malam begini. Disini sepi. Nggak ada kendaraan yang lewat" ujar Yoan dengan nada lembut. Ia khawatir meninggalkan Jihan sendirian malam-malam begini. Kalau terjadi apa-apa padanya bagaimana? Yoan pasti tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau itu sampai terjadi.

"Udah nggak ada urusannya sama lo lagi" jawab Jihan ketus. Gadis itu bersiap turun sampai tiba-tiba Yoan mencengkram lengan Jihan dengan kuat.

"Lo bebal banget dibilangin ya. Seenggaknya gue anter elo ke tempat yang banyak taksinya. Kalau bus gue rasa udah nggak ada jam segini. Kalau lo tetep nggak mau, gue juga bakalan tetep disini sama lo. Gue nggak akan jemput Vina" bujuk Yoan.

Jihan memikirkan kembali ucapan Yoan yang tidak salah sedikitpun. Akhirnya ia menyetujui permintaan Yoan dan kembali pada posisinya semula. Tak ada percakapan diantara dua insan yang larut dalam pikirannya masing-masing. Hanya ada suara hujan yang tak kunjung reda. Tanpa sadar air mata Jihan mengalir hangat membasahi pipi tirusnya. Cepat-cepat ia mengusap pipinya yang basah.

Dari sebelah, Yoan melirik Jihan. Ia merasa bersalah pada gadis itu. Hatinya ikutan sakit melihat Jihan sedang menangis tanpa bersuara. Lagi-lagi ini salahnya. Kenapa ia selalu membuat Jihan menangis?

***

Mobil berhenti di sebuah gedung mall yang telah sepi. Mall itu tidak begitu jauh dari lokasi mereka terakhir kali. Di depan mall dengan arsitektur eropa dan modern itu, berjejer puluhan taksi yang sedang menunggu penumpang. Sebelum turun Yoan mencoba menjelaskan semua yang terjadi.

"Jihan, gue minta maaf kalau lo kecewa sama gue. Tapi gue beneran cintanya sama elo, jauh sebelum gue kenal Vina. Gue terpaksa nerima Vina jadi cewek gue, Han. Karena gue pikir udah nggak ada harapan lagi untuk kita ketemu. Gue pikir kita nggak akan pernah ketemu lagi. Gue pikir dengan gue pacaran sama Vina, gue bisa ngelupain lo. Ngelupain semua rasa yang udah dari lama pengen gue nyatain ke elo. Please, Jihan. Lo harus percaya sama gue. Jujur, sampai sekarang gue nggak ada rasa sama Vina." ungkap Yoan. "Gue mau putusin Vina demi lo, Han." lanjutnya lagi. Kali ini ia mencoba menggenggam tangan Jihan yang dingin. Tapi Jihan dengan sigap menepis.

"Udah nggak ada yang perlu lo jelasin ke gue. Gue rasa semuanya udah cukup jelas. Gue nggak peduli apa alasan elo pacaran sama dia. Dan gue minta ini terakhir kalinya kita ketemu. Gue nggak mau ada urusan lagi sama lo. Enough." pinta Jihan kembali pada ekspresi dinginnya.

Tanpa menunggu jawaban Yoan, ia meraih kenop pintu mobil. Sebelum benar-benar turun, Jihan kembali menoleh pada Yoan. "Dan gue gak sudi elo mutusin cewek lo karena gue. Gue nggak serendah itu! Gue bukan cewek perusak hubungan orang. Lo inget itu." lanjutnya murka.

"Jadi lo lebih suka kalau gue ngejalanin hubungan sama orang lain tapi hati gue tetep ke elo? Itu yang lo suka?" tanya Yoan menanggapi pernyataan Jihan.

Jihan membanting pintu mobil Yoan dengan kasar tanpa menjawab pertanyaan Yoan. Ia kemudian naik taksi yang berwarna biru muda. Kemudian taksi itu bergerak melaju meninggalkan kawasan mall.

Yoan termenung mendengar semua amarah Jihan padanya. Darahnya berdesir. Jantungnya berdetak lebih cepat. Yoan marah, gusar, kecewa, menyesal, dan sedih. Semua yang dirasakan Yoan menyatu menjadi satu. Tak disadari matanya mulai basah. Sepersekian detik kemudian tangisnya pecah sejadi-jadinya. Ia memukul dadanya yang penuh rasa sesak. Kepalanya berpangku pada kemudi mobil. Ia benar-benar mencintai Jihan. Yoan tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia tak mempunyai rasa sedikitpun pada Vina, kekasihnya kini. Hanya Jihan yang selalu ada di hatinya kini, dulu, dan seterusnya. Kini kesempatan untuk bersama Jihan sudah hilang. Ia kembali larut dalam duka yang mendalam.

***