Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 6 - RASA YANG SAMA

Chapter 6 - RASA YANG SAMA

Ketika sarapan, Mira tetap bersama Rizky di ruang tengah sambil berusaha menidurkannya agar dia juga bisa sarapan. Suasana di meja makan benar-benar terasa berbeda dari pada biasanya, sebab kejadian di balkon kamar tadi pagi Habib jadi lebih banyak diam.

Meja makan berbentuk oval milik keluarga bang Fahri yang kami gunakan ini membuat Habib harus duduk di sisi ovalnya, hingga tidak ada siapapun yang bisa duduk di sebelahnya, kecuali aku dan Farida yang duduk di sisi panjang meja di bagian kanan dan kiri Habib.

Bunda bilang, Farida sedikit lebih kurus sekarang. Padahal perutnya buncit, tapi entah kenapa dia terlihat kurus hingga bunda mengharuskan putri kesayangannya itu untuk makan lebih banyak. Namun Farida menolak, karena mengaku sudah kenyang.

"Bib, coba lihat istrimu. Dia menolak makan, padahal tubuhnya sangat kurus sekarang," adu bunda pada Habib.

"Mungkin dia sudah kenyang, Bunda."

"Tidak, dia tidak kenyang kalau makan hanya satu sendok nasi saja. Ayo tambah lagi, kalau perlu kamu harus makan dua kali lipat dari biasanya, lihat tubuhmu terlalu kurus." Bunda kembali menuangkan nasi ke piring Farida lengkap lauknya.

Wanita itu tetap menolak dan mengatakan jika dirinya sudah kenyang. Tapi bunda tetap memaksa. Aku tahu, bunda hanya tidak ingin putrinya terlihat kurus saja, karena dia sedang hamil hingga butuh lebih banyak nutrisi yang akan di serap oleh bayinya juga.

Aku hanya memperhatikan bagaimana interaksi bunda dan Farida yang saling memaksa. Yang satu menyuruh makan, dan yang satunya lagi menolak untuk makan. Sampai bunda menyadari tatapanku dan berkata sesuatu.

"Oh, kamu tidak mau makan terlalu banyak karena takut El menganggapmu beban di rumah ini?" ucap bunda melihatku dengan tatapan tak suka.

"Tidak, Bunda. Aku memang sudah kenyang, sungguh! Ini bukan karena Mbak El," jawab Farida menyangkal.

"Tidak usah takut pada El. Dia tidak akan berani memarahimu kalau makan terlalu banyak, lagi pula nasi dan semua bahan pangan di rumah ini berasal dari uang Habib yang sekarang adalah suamimu juga," kata bunda lagi tetap memaksa Farida untuk makan.

Aku tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa melihat dengan pandangan bingung. Mau berkomentar pun takut salah bicara, aku tidak ingin itu nantinya membuat bunda tersinggung sampai kembali menyalahkanku.

"Ayo, makan," pinta bunda berusaha menyuapi Farida.

Wanita itu menggeleng kuat dan mengaku tidak mau makan. Lagi pula kenapa bunda terus memaksa Farida untuk makan, padahal dia sendiri sudah mengaku kalau perutnya kenyang. Kalau di paksa yang ada nanti malah muntah.

"Bib, ayo suapi istrimu. Dia terlalu nakal kalau tidak di suapi langsung oleh suaminya," titah bunda pula memberikan sendok pada Habib untuk menyuapi Farida.

Entah karena apa, Habib mendadak terdiam dan menerima sendok pemberian bunda begitu saja, seolah dia menerima perintahnya untuk menyuapi Farida. Aku hanya tertegun melihat kejadian itu, sementara Habib ikut menatapku seperti meminta ijin dari istri pertamanya ini.

Tapi tatapannya buyar ketika bunda menepuk pundaknya dan segera menyuruh dia untuk menyuapi Farida. Entah seperti apa perasaanku sekarang, rasanya aneh dan seperti ada sesuatu yang mengganjal. Ini tidak salah, menyuapi istri saat makan itu bahkan sesuatu yang manis dalam sebuah pernikahan.

Tapi kenapa aku merasa kalau ini salah dimataku?

"Ayo, Bib!" titah bunda lagi.

Mau tak mau, Habib pun menyuapi Farida. Dan anehnya Farida langsung menerima suapan itu, padahal tadi dia mengaku kenyang dan tidak mau makan lagi. Entah karena dia paksa bunda atau memang dia ingin makan dari tangan Habib.

Sebuah perasaan tak mengenakkan hinggap di dadaku hingga merasa sedikit sesak. Apa aku cemburu? Tidak, aku rasa ini hanya perasaan tak senang melihat Habib bersama istri keduanya, sebab sebelum ini Habib sangatlah anti dengan wanita bernama Farida.

***

"Apa Rizky sudah tidur?" tanyaku pada Mira saat memasuki kamar dan melihat baby sister itu sedang menaruh Rizky dalam box tidurnya.

"Sudah, Bu," jawabnya.

Aku pergi mendekatinya untuk memastikan bahwa Rizky benar-benar sudah tidur. Tadi, setelah aku menyelesaikan sarapan pagi dan mengantar Habib sampai ke pintu sebelum bekerja, Rizky rewel sekali. Aku tidak menduga kalau dia bisa tidur secepat ini.

Bayi tampan dengan bibir pink itu tertidur begitu pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia benar-benar mirip dengan Aisyah.

"Bu, Ibu baik-baik saja 'kan?" tanya Mira mendadak menyentuh pundakku.

"Apa maksudmu? Tentu saya baik-baik saja."

"Tapi, tadi saya melihat pak Habib menyuapi bu Farida makan. Padahal biasanya tidak pernah, apa Ibu tidak cemburu?"

Pertanyaan itu sebenarnya mewakili perasaanku. Tapi aku sendiri tidak tahu apa jawabannya. Tidak jelas perasaanku seperti apa saat melihat Farida tersenyum menerima suapan dari Habib, kacau dan pastinya merasa deja vu.

Dulu aku juga pernah merasakan hal yang sama ketika melihat Umar begitu dekat dengan Farida di awal-awal pernikahan mereka. Di momen berbeda, dengan rasa sakit yang sama, aku menerima keduanya dari Farida juga.

"Saya tidak apa-apa. Farida juga istri mas Habib, tidak ada salahnya kalau dia menyuapi istrinya, bukan?" kataku menanggapi pertanyaan Mira yang sedikit menggelitik hati.

"Tapi kalau saya lihat-lihat, sepertinya bu Farida bahagia sekali ketika di suapi oleh pak Habib." Mira menarik tanganku untuk duduk di tepi ranjang. Tenang saja, meski dia adalah pengasuh bayiku, tapi aku tidak membedakan dia atau memperlakukan dia seperti pembantu.

Dia tetap kuanggap sebagai teman di rumah ini, tak jarang kami juga sering berbagi cerita ketika salah satu dari kami memiliki masalah.

"Bu, saya memang belum lama bekerja disini, tapi saya kenal betul seperti apa kisah pernikahan pak Habib dan bu Farida. Ibu lupa, saya siapa?"

Iya, dia adalah orang kepercayaan bang Fahri dan mbak Anisa dulu. Bisa dibilang kalau Amira adalah kerabat jauhnya mbak Anisa. Dia memang sudah jarang bertemu dengan mbak Anisa, tapi dia cukup tahu cerita hidup kakak iparku dan juga diriku sendiri.

Pasti semasa hidup, mbak Anisa juga pernah bercerita pada Amira tentang bagaimana hidupku setelah menjalani pernikahan dengan Habib. Meski tidak keseluruhannya, tapi setidaknya dia tahu sedikit banyak tentang kisah hidupku.

Setelah membawa pulang baby Rizky dari rumah sakit, tepatnya sehari setelah pernikahan Habib dan Farida, dia langsung datang untuk merawat putra Aisyah. Itu merupakan pesan dari mbak Anisa sebelum dia berangkat bersama bang Fahri ke singapura.

Sepertinya mbak Anisa memang sudah tahu bahwa dia juga kedua mertuaku tidak akan kembali lagi ke tanah air. Seperti sudah punya feeling bahwa dia akan pergi untuk selama-lamanya, hingga dia mengirim orang baik ini untuk membantuku merawat Rizky.

"Walau saya tidak begitu paham seperti apa rasanya di madu, tapi tetap saja saya rasa kehadiran bu Farida dalam rumah tangga Bu El sangatlah tidak tepat. Saya tidak tahu apa alasan Bu El membiarkan pak Habib menikah lagi, tapi seharusnya Ibu tidak melakukan ini jika merasa tidak sanggup," tuturnya membuatku menatap wanita itu dengan nanar.