Chapter 5 - MINUM SUSU

Seperti biasa di pagi hariku, aku selalu menyiapkan sarapan untuk semua orang termasuk susu hangat untuk Azka yang selalu suka rasa cokelat. Terkadang bocah itu bertanya, "Ammah, dimana susu cokelatku?" tanyanya ketika aku terlambat membuatkan dia susu di meja makan.

Buru-burulah aku membuatkan susu cokelat yang dia minta dan terpaksa menghentikan sarapan pagiku untuk sesaat. Itu sering terjadi di awal-awal aku mengurus Azka, tapi sekarang aku sudah berusaha menjadi ammah yang baik dan selalu ingat dengan kebiasaannya.

"El, itu susu untuk siapa?" tanya bunda yang datang menghampiriku di meja dapur.

"Susu hangat untuk Azka, Bunda. Dia selalu meminta susu setiap pagi," jawabku apa adanya dengan sebuah senyuman manis.

"Bisa tolong buatkan susu untuk Farida? Bunda sudah membeli susu khusus untuk ibu hamil, sekalian kamu antarkan juga ke kamarnya, ya? Sepertinya dia dan Habib masih nyenyak tidur," pinta bunda pula sembari mengeluarkan sekotak susu dari salah satu bar pintu lemari yang ada di atas kompor.

Ternyata dia sudah menyiapkan susu khusus untuk Farida, yang mana memang di haruskan untuk ibu hamil usia tiga sampai enam bulan. Rasanya juga cokelat, sama seperti susu kesukaan Azka juga.

Tanpa bisa menolak, aku pun akhirnya mengangguk. Mau tak mau, aku tetap membuatkan susu untuk Farida sementara bunda melanjutkan masakanku di dapur. Kuletakkan segelas susu itu di atas nampan lalu berjalan perlahan menaiki tangga menuju kamar Habib dan Farida.

Oh, iya. Aku juga baru sadar kalau Habib dan Farida belum keluar kamar sejak pagi tadi. Apa mungkin dia masih tidur? Tapi tertidur di jam enam pagi itu bukan kebiasaan Habib, dia bahkan selalu bangun lebih awal dariku, sekitar jam dua atau jam tiga pagi.

"Ammah, itu susu untuk Azka?" tanya Azka yang baru saja keluar kamar dan tak sengaja berpapasan denganku.

"Bukan, sayang. Ini susu untuk Ammah Farida," jawabku tanpa berjongkok.

"Ammah Farida juga minum susu?" tanyanya dengan polos.

"Iya. Ammah Farida 'kan sedang hamil, jadi bayi dalam perutnya juga butuh nutrisi."

"Kalau begitu Ammah El juga harus minum susu, Ammah El juga 'kan sedang hamil."

Eum ... iya juga. Kenapa aku tidak minum susu, sementara Farida yang sedang hamil saja minum susu. Padahal kami berdua sama-sama sedang hamil. Tapi aku tidak mau memusingkan hal itu, kalau aku mau nanti aku bisa beli susu sendiri di toko.

"Iya, nanti Ammah minum susu. Sekarang Azka turun ke bawah, ya? Bantu nenek kalau dia perlu sesuatu di dapur," pesanku pada bocah berseragam SD ini.

Bocah itu mengangguk. Aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kamar Habib yang tinggal beberapa langkah lagi. Awalnya aku ingin mengetuk pintu, tapi tanganku mendadak lemah ketika ingin memegang nampan dengan satu tangan.

Namun kemudian aku melihat pintu tidak tertutup dengan rapat, hingga aku memutuskan untuk mendorong pintu dengant tubuhku dan masuk ke dalamnya. Awalnya aku bingung karena tidak melihat Habib dan Farida di tempat tidur, tapi setelah melihat ke balkon aku pun menemukan jawabannya.

Di balik pintu kaca besar yang mengarah ke balkon, aku melihat Habib dan Farida sedang berdiri sambil menghadap ke luar dengan posisi membelakangiku. Sepertinya mereka tengah sibuk bercerita tentang perasaan mereka masing-masing setelah menikah.

"Maaf ya, Mas. Dulu aku pernah membuatmu dan mbak El kehilangan anak kalian. Aku benar-benar menyesal, aku sungguh menyesal," kata Farida memandang Habib dari arah kiri.

"Sekarang kamu sadar, 'kan? Betapa baiknya El padamu? Bahkan dalam kondisi seperti ini pun, dia masih mau melindungimu dan merelakan Mas untuk menikahimu. Sebenarnya Mas tidak mau, bahkan kami sempat tidak saling menegur karena permintaannya yang sangat tidak Mas sukai."

Habib menuturkan kalau dirinya sangatlah tidak ingin menduakanku, permintaanku yang menyuruhnya untuk menikahi Farida untuk bertanggung jawab atas kehamilannya membuat lelaki brewok itu cukup tertekan.

Tapi dia tidak ingin membuatku sedih, dia juga tahu sebesar apa rasa sayangku pada Farida. Sampai akhirnya dia rela membiarkan dirinya menikahi Farida demi aku. Ya, ini demi Farida juga sih.

"Iya, aku tahu mbak El sangat baik. Aku saja yang tidak tahu diri, sampai-sampai aku tega membuat hidupnya di penuhi air mata. Sekali lagi aku minta maaf, Mas," kata Farida teramat sangat menyesal.

"Seharusnya kamu tidak minta maaf pada Mas, tapi minta maaf lah pada Elyana. Dia yang selama ini sudah kamu sakiti," culas Habib.

Aku masih terus menyimak pembicaraan mereka yang terus membicarakanku. Sampai suatu ketika Farida tersenyum dan mengangguk. Aku senang, mereka akhirnya bisa akur meski masih ada rasa tak suka Habib terhadap Farida setelah apa yang dia lakukan pada rumah tangga kami.

Kaki ini pun dengan penuh percaya diri melangkah menghampiri mereka. Tapi belum sempat melewati pintu, aku mendadak berhenti ketika Farida bersuara.

"Eh, Mas! Bayinya menendang-nendang!"

"Benarkah?"

"Iya, aku bisa merasakannya!"

Sebuah senyum bahagia terukir di wajah Habib sambil memandang ke perut Farida. Tangannya tampak ragu untuk menyentuh perut istri keduanya yang tampak bergerak-gerak. Namun kemudian Farida tanpa ragu menarik tangan Habib untuk mengelus perutnya.

Pandangan mereka bertemu satu sama lain, bahkan jika kuperhatikan Habib menatap Farida dengan rasa bingung. Entah bingung karena apa, atau mungkin dia bingung kenapa dia bisa menatap wanita lain selain aku.

"Terasa, 'kan?" tanya Farida tersenyum sambil memegangi tangan Habib yang juga memegang perutnya.

"Iya, tendangannya kuat sekali." Habib mendongak sambil tersenyum tipis.

Hah, kenapa jadi begini? Hati, apa kamu baik-baik saja? Melihat Habib untuk pertama kalinya mengelus perut perempuan lain di hadapanku, dan sayangnya perempuan itu adalah adikku yang merupakan istri kedua suamiku sendiri.

"Itu artinya anak kita sehat, Mas," ucap Farida lagi.

Apa? Anak kita?

Raut wajah Habib sedikit kaget mendengar perkataan itu, sampai-sampai dia terdiam cengo untuk beberapa saat, matanya mengerjap lucu sampai aku pun mengalihkan pandang ke arah lain untuk tidak melihat adegan itu terlalu lama.

Dengan mental yupi yang kupunya, kuberanikan diri untuk mengetuk pintu balkon dan menghampiri mereka. Habib langsung kembali berdiri tegak setelah sebelumnya membungkuk untuk bisa memegang perut Farida.

Mereka berdua tampak terkejut, kaku dan sedikit malu ketika aku memergoki mereka. Kenapa?

"Farida, ini Mbak mengantarkan segelas susu hangat untukmu. Bunda bilang kamu harus rajin minum susu mulai sekarang supaya kandunganmu kuat," kataku menyodorkan susu di atas nampan padanya.

"Oh, terima kasih, Mbak."

Aku mengangguk dan menatap Habib yang berdiri di sisi kanan. Dia tampak enggan melihatku dan memilih untuk memandang ke jalanan. Entah kenapa, suasana menadadak kaku dan tidak terkendali. Maksudku, kami semua sama-sama merasa canggung seketika.

"Kalau begitu, aku permisi dulu. Azka pasti menunggu bekalnya sekarang," ucapku memutuskan untuk pamit.

"I—iya," jawab Habib yang mendadak gugup.