Dari subuh pagi tadi, Alex sudah bangun dan saat ini ia sedang merapihkan pakaiannya di depan cermin. Tidak lupa ia merapihkan pakaiannya agar terlihat rapih. Karena ia tidak mungkin merusak imagenya sebagai 'idola' sekolah kan?
Setelah memastikan dirinya terlihat rapih, anak laki-laki itu menuju meja belajarnya. Mengambil beberapa buku yang akan dipakainya di sekolah, setelah itu ia pun turun untuk sarapan bersama keluarganya.
Sesampainya Alex dibawah, ia melihat Kakaknya, Tania sudah berada di meja makan sedang sarapan ditemani oleh Ayah dan Ibu mereka.
"Selamat pagi semua," kata Alex menyapa mereka semua sambil menarik kursi di seebrang Kakaknya.
"Pagi Lex." jawab Ayahmya sambil membaca koran pagi itu.
Sementara Ibunya tidak menjawab, hanya fokus pada selai yang sedang ia oleskan ke atas rotinya. Hal itu menarik perhatian Arga, ia melirik dari balik koran yang sedang dibacanya. Ia menggelengkan kepalanya dan memilih untuk kembali fokus ke koran yang sedang dibacanya
Tania yang ikut memperhatikan Ibunya, akhirnya menyuruh Adiknya untuk tetap diam dan duduk dikursinya. Alex pun menurut, meskipun begitu ia tetap saja heran dengan situasi ini. Ia segera mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai ke atasnya.
Karena tidak tahan lagi dengan situasi ini, Anak laki-laki yang baru saja menginjak usia 16 tahun pun memutuskan untuk bertanya pada Kakaknya. Ia pun mengambil sepotong kecil roti dari piringnya dan melemparkan kearah Kakaknya.
Untung saja saat itu, Kakaknya tidak marah dan langsung menatap Alex. Bertanya tanpa suara kepada Adiknya satu-satunya. Alex membalas dengan tanpa suara juga, menanyakan apa yang terjadi. Tania mengangkat kedua bahunya dan memberikan isyarat pada Adiknya untuk segera keluar.
Setelah itu, Tania pun menyudahi makannya yang diikuti oleh Alex dan mereka sama-sama keluar dari rumah.
Saat sudah sampai di depan, Tania menghentikan langkahnya. Membuat Adiknya ikut melakukan hal yang sama.
"Seriusan deh, ini ada apa sih sebenarnya?" kata Tania tiba-tiba.
Alex hanya menghela nafas, "Makanya tadi gue nanya."
"Fix sih ini harus gue selidikin."
"Bukannya lo udang bilang waktu itu?"
"Kali ini bener!" kata Tania setengah berteriak pada Alex.
"Ya udah, gue jalan duluan. Takut telat."
Setelah berpamitan pada Kakak perempuannya dengan cara melambaikan tangan, Alex pun menaiki mobilnya dan berangkat menuju rumah Brian untuk menjemput anak itu, setelah itu baru mereka ke sekolah bersama. Tentu saja mereka ke sekolah menaikki mobil Alex.
Sesampainya mereka di depan sekolah, seperti biasa fans mereka sudah berkumpul mengerumuni seseorang. Dapat Alex tebak siap yang berada ditengah kerumunan itu. Siapa lagi kalau bukan Kenzo Aprilio kan?
Saat Alex dan Brian turun dari mobil, mereka bagaikan diserang. Yang tadinya mengerubuti Kenzo, tiba-tiba berpindah jadi mengerubuti Alex dan Brian. Saat fans mereka berpindah, Kenzo dapat bernafaas dengan bebas. Ia tersenyum melihat kedua sahabatnya yang kewalahan meladeni para fans.
Memang, fans Kenzo kalah banyaknya dibandingkan dengan sahabat-sahabatnya. Tapi hal itu tidak membuatnya berkecil hati. Anak laki-laki itu tetap senang dengan apa yang dimilikinya saat ini. Hal yang membuat ia bertambah senang adalah dapat bertemu lagi dengan sahabat kecilnya.
Saat Kenzo membaca papan pengumuman sekolah mereka, ia melihat poster dirinya dan sahabat-sahabatnya yang pada saat itu memenangkan lomba basket antar sekolah. Saat itu ia, Alex, dan Brian memenangkan perlombaan itu. Melihat poster itu membuatnya kembali mengenang masa-masa itu dan membuatnya tersenyum.
Pada saat ia sedang tersenyum, matanya tidak sengaja menangkap poster yang berisi tentang pendaftaran beasiswa ke Bandung. 'Terlambat, aku udah gak minat ke sana. Di sini kan udah ada Rachel.' Tepat pada saat itu, orang yang sedang dibicarakan Kenzo muncul dan melewatinya begitu saja.
Tiba-tiba suasana hatinya menjadi sedih. Ia teringat akan penjelasan Adit tentang kecelakaan yang menimpa Rachel saat itu. 'Aku tau kamu pasti bisa lewatin ini semua, Ra. Aku yakin kamu kuat.' Saat Rachel persis melewati Kenzo, Anak laki-laki itu membisikkan kata-kata semangat yang hanya mampu di dengar oleh Rachel. Ia mengira kata-kata itu bukan untuk dirinya, jadi Anak perempuan itu berjalan terus, menuju kelasnya.
***