"Rachel... Rachel, ayo bangun. Bukannya hari ini kamu masuk sekolah? Sudah jam berapa ini?"
Seorang laki-laki setengah baya terlihat sedang menyiapkan makanan. Yang tadi berteriak adalah istrinya, Mira. Selagi Mira bersiap-siap, laki-laki itu, Heru namanya, membantu istrinya untuk menyiapkan sarapan.
"Nati pulangnya, bener gak mau dijemput?"
"Gak usah, suamiku. Aku masih punya kaki, lagi pula nati kayaknya aku bakalan pulang malam."
Heru hanya mengangkuk-angguk. Tiba-tiba putri mereka, yang bernama Rachel pun turun sambil mengepang kedua belahan rambutnya.
"Yah, Bun aku berangkat duluan ya. Udah telat."
"Sarapan dulu yuk?"
"Gak deh Bun, nanti aja di sekolah."
Setelah itu Rachel pun segera berlari keluar rumah. Heru pun menggeleng gelengkan kepalanya, melihat kelakuan putri kecil mereka.
"Dia persis kayak kamu, Mir. Selalu gerabak-gerubuk kalau kerja."
"Tapi wajahnya sama kayak kamu, Her. Cantik."
"Cantik? Aku cantik?"
Mira hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Heru pun mencolek susu kental manis rasa coklat yang ada diatas meja, kemudian ia mencolek wajah Mira dengan jari yang ada susunya. Alhasil sekarang wajah Mira menjadi cemong. Mira ingin membalas Heru akan tetapi, Adit anak pertama mereka tiba-tiba saja turun.
"Kalian pagi-pagi udah mesra aja deh. Jadi penggen cepet-cepet punya istri, tapi istri pun gak ada, jangankan istri pacar aja gak punya."
Mira hanya tersenyum menanggapi putranya. ia mengambil tisu dan menyeka wajahnya
"Makanya cepet cari cewek terus nikah, biar bisa bermesraan." tegur Ayahnya.
Adit hanya menggomel tidak jelas, menanggapi teguran Ayahnya.
Mira pun ke kamarnya mengambil tas dan beberapa map penting di meja riasnya. Setelah berpamitan, ia pun segera keluar dari rumah dan berjalan kaki, sampai ia menemukan bus yang menuju ke arah kantornya.
30 menit kemudian, ia telah tiba di depan kantornya yang baru. Mira tidak henti hentinya memandang kagum kantor barunya itu. Bahkan, ia sampai ditegur oleh satpam yang sedang berjaga.
Mira memasuki loby gedung itu, lagi-lagi ia dibuat tercengang dengan keindahan kantor tersebut. Pilar-pilar yang kokoh, pajangan-pajangan antik, serta piagam prestasi perusahaan dipanjang di loby gedung itu.
Saking mewahnya, Mira sampai ingin melepas kedua sepatunya tadi sewaktu masuk, karena ia tidak ingin mengotori lantai marmer putih berkilau dengan sepatumya yang sudah usang. Mira segera pergi ke meja resepsionis, untuk menanyakan letak ruangan HRD.
"Maaf permisi, ruang HRD lantai berapa ya?"
"Maaf sebelumnya, Ibu ini siapa ya?"
"Oh saya Mira, karyawan yang dipindah tugaskan dari Bogor."
"Ibu naik lift saja ke lantai 17 ruangannya ada dibelakang lift."
"Iya, terimakasih."
Mira segera menuju ke lift yang dimaksud oleh orang resepsionis tadi. Jujur, sebenarnya ia sedikit takut naik lift. Tapi ia gengsi untuk bertanya dimana letak tangga darurat.
Pintu lift pun terbuka, Mira ingin melangkah masuk ke dalam ruangan kotak itu. Saat ia sudah masuk, tubuhnya gemetaran. Ia pun meremas tali tasnya kuat-kuat, tidak lupa ia juga membaca doa. Seluruh karyawan yang berada di dalam lift pun menahat tawa mereka, agar tidak keluar melihat tingkah Mira yang terkesan udik.
Akhirnya lift pun sampai dilantai 17. Mira pun keluar lift dengat cara yang unik, yaitu dengan melompat. Seolah-olah ada sebatang bambu yang menghalangi jalannya. Para karyawan pun tidak dapan menahan tawa mereka saat pintu lift tertutup.
Mira pun segera pergi ke ruangan yang ada di belakang lift untuk menemui staf HRD. Sebelum mengetuk pintu, wanita itu merapihkan pakaiannya terlebih dahulu. Ia masuk dan langsung dipersilahkan duduk.
"Perkenalkan saya William. Dengan Ibu Mira dari Bogor?"
Mira hanya mengangguk.
"Tugas Ibu disini, menggantikan posisi sekertaris yang saat ini sedang kosong dan-"
Tiba-tiba telepon genggam milik Pak William berdering, memotong pembicaraan mereka. Pak William langsung meminta izin mengangkat telepon itu. Bertepatan dengan itu, Argadana, pemilik perusahaan itu pun memasuki ruangan yang terbuat kaca tersebut.
"Bu Mira?"
"Betul pak. Selamat pagi."
"Pagi, pagi. Silahkan duduk, Ibu santai saja. Kita tunggu Pak William kembali."
Mira hanya tersenyum sembari mengangguk. Arga pun mengambil sebuah surat kabar pagi dan membacanya. Sedangkan Mira, duduk di sofa tamu sambil menatap piala penghargaan yang di pajang disebuah lemari khusus dalam ruangan itu.
Selagi Mira melihat piala-piala itu, perhatiannya teralihkan dengan kedatangan seorang office boy yang nembawakan secangkir teh panas. Untuk menghormati sekaligus meredakan kegugupnya, Mira sampai lupa bahwa teh tersebut masih panas, dan langsung meminumnya.
Bagai terkena bara api, Mira langsung berteriak sambil menjauhkan cangkir dari mulutnya. Namun akibat gaya tarik tanggan Mira yang sangat cepat, membuat teh di dalamnya tidak memiliki keseimbangan, dan tumpah mengenai dirinya. Tentu saja ia berteriak kesakitan dan teriakkannya pun mengagetkan Arga yang sedang membaca koran pagi.
Arga yang memiliki gerak yang cekatan dengan cepat menolong Mira, mengipasi baju Mira yang terkena teh panas. Karena Arga merasa itu kurang efektif, maka ia pun mulai meniupi baju Mira. Tepat saat itu, Wina, istri Arga datang dan menyaksikan suaminya melakukan hal yang tidak pantas pada pegawainya, melalui pintu ruangan yang sepenuhnya terbuat dari kaca.
Arga yang memiliki gerak yang cekatan dengan cepat menolong Mira, mengipasi baju Mira yang terkena teh panas. Karena Arga merasa itu kurang efektif, maka ia pun mulai meniupi baju Mira. Tepat saat itu, Wina, istri Arga datang dan menyaksikan suaminya melakukan hal yang tidak pantas pada pegawainya, melalui pintu ruangan yang sepenuhnya terbuat dari kaca.
Wajah Wina seketika berubah merah padam dan ia pun membuka secara kasar pintu kaca tersebut dengan kasar. Arga nampak terkejut melihat kedatangan istrinya. Hal yang sama juga dirasakan Mira yang tidak tahu apa-apa.
Tanpa ba-bi-bu Wina langsung menjewer telinga Arga sampai merah.
"Auu, auu Win sakit... sakit..."
"Ayo ikut!"
Mira pun terheran-heran namun ia lebih memilih untuk melanjutkan mengeringkan pakaiannya yang basah sambil menunggu pemilik ruangan itu kembali.
***