Kabar itu kami sampaikan juga ke kekaisaran dan pasukan yang kekaisaran kirim. Dan, selagi menunggu kabar selanjutnya dari Carlos, Urtzi, dan Damian, serta datangnya pasukan yang dikirim kekaisaran, kami mencoba melakukan sebisa kami untuk Riva al Lago. Yah, walaupun aku merasa ini akan butuh waktu.
Kabarnya, pasukan dari kekaisaran akan tiba hari ini sekitar sore hari. Sekarang hampir sore dan langit mulai tampak gelap. Saat ini aku sedang membantu di dapur gereja, membantu menyiapkan makanan untuk para warga dari bahan-bahan yamg didapatkan beberapa warga yang dibantu oleh Muraco dan Orynn. Meski sebenarnya mereka menolak bantuan dari orang-orang Agitur karena sungkan.
Ya, sampai saat ini, tidak ada yang tahu bahwa aku adalah Historian.
"Nona umur berapa?" tanya seorang wanita bertubuh cukup berisi. Suaranya cenderung alto, dalam, namun hangat. Entah kenapa, aku teringat pada Bunda karena suaranya.
Aku menatapnya sebentar. "Panggil Aya saja," ungkapku. "Saha 15 tahun."
"Waah!" seru ibu-ibu lainnya. Terdengar kagum, entah untuk apa.
"Masih muda sekali. Tapi, wajah kamu tidak seperti penduduk Equattoria. Kamu seperti berasal dari daerah pesisir timur. Kamu dari mana?" tanya wanita itu lagi.
Aku tahu pertanyaan seperti itu akan muncul. Jadi, sampai waktunya tiba, sampai aku diresmikan, aku tak bisa mengatakan asalku sebenarnya. "Entahlah," jawabku. Lantas, aku tersenyum. "Aku yatim piatu yang besar di Equattoria."
"Oh, astagah!" seru wanita itu. "Lalu, dengan umur semuda ini, kamu bekerja untuk Agitur? Apa kamu ksatria?"
Aku mengangguk saja. "Kurang lebih."
"Oh, benar!" seru wanita lainnya. Rambutnya panjang berwarna cokelat muda, tubuhnya agak kurus, dan ia memiliki suara yang cukup tinggi. "Kata Kepala Desa, kamu yang menolak penjamuan dari kami. Apakah ada alasan khusus? Itu sungguh langka untuk kalian yang merupakan ksatria dan status tinggi."
Aku terkekeh-kekeh ramah. "Mungkin karena aku dibesarkan dalam keadaan susah, aku sedikit memahami penderitaan kalian. Kami akan menjadi orang yang tidak tahu diri jika kami menerima penjamuan dari kalian yang sedang dilanda musibah seperti ini. Yah, untunglah, Tuan Agitur setuju dengan keputusanku yang spontan."
"Kamu memiliki hati yang mulia, Nak," kata wanita pertama. "Kalau kamu menjadi pendeta, kamu akan dianugerahi berkah dari Tuhan dan Dewa-Dewi," ungkapnya.
"Terima kasih."
Brak!!
Aku tersentak dan spontan menoleh ke arah pintu. Sungguh, itu cara membuka pintu yang sangat tidak sopan. Dan, ternyata itu Orynn. Memang, ya, lelaki satu itu. Wajahnya masih saja terpasang dingin, bahkan tak tampak seakan ia merasa bersalah telah masuk ke dapur yang seluruhnya adalah perempuan. Ia bahkan berjalan cepat dan menghampiriku.
"Ayo. Pasukan kekaisaran sudah tiba."
"Tuan bisa lebih lembut, bukan?" tukasku sinis dengan berani di depan orang-orang, seraya berdiri dan berjalan mendahuluinya menuju pintu. Dan, setelah pintu ditutup olehnya, aku berbalik sedikit sambil tetap berjalan. "Demi Tuhan, itu sangat mengejutkan. Aku belum merasa baik setelah serangan tadi."
"Ah, maaf." Ia menunduk dan menatap ke bawah. Saat itu, ia tampak seperti anjing gembala jerman yang sedang merasa bersalah.
Aku terkekeh-kekeh menertawakannya.
Pasukan ksatria yang dikirim oleh kekaisaran ternyata jumlahnya cukul banyak, mungkin lebih dari 30 orang dengan tiga kereta kuda besar. Beberapa ksatria sudah mulai menurunkan bahan makanan yang diberikan kekaisaran, bahkan beberapa warga turut membantu dengan semangatnya. Beberapa juga membawa drum, mungkin berisi air untuk kebutuhan penduduk Riva al Lago. Sungguh, mereka hebat sekali.
Tampak Muraco sedang berbicara dengan dua orang lelaki, salah satunya tampak sangat bercahaya dan mencolok dengan wajah tampan yang mirip dengan Kaisar Arthur. Aku dengar, kaisar itu punya dua orang adik, perempuan dan laki-laki. Dan, dari yang aku pelajari, adik bungsu Kaisar Arthur adalah seorang duke yang ahli dalam berpedang, ia bernama Arsenio. Tapi, aku tidak tahu siapa lelaki berwajah Asia di sebelahnya.
"Ah, itu dia." Muraco bergumam, lalu melambai memberi isyarat. Aku dan Orynn pun mempercepat langkah kami. "Ini Historian kita," lirih Muraco pada Duke Arsenio dan lelaki Asia. "Aya, ini Duke Arsenio dan Pemimpin Ksatria Bintang Sirius, Sir Keita."
Aku berdiri di samping Muraco, lalu membungkuk dengan postur ksatria. "Saya Ayana Athenia. Silahkan panggil dengan nama," ungkapku tepat di hadapan kedua orang itu. Lalu, aku menegakkan tubuhku lagi setelah tiga detik membungkuk pada mereka.
"Apa kamu memilih menjadi ksatria dibanding seorang putri?" tanya Duke Arsenio. Nada bicaranya sulit kupahami, apakah ia menyindir, atau memang sekedar bertanya.
Aku mengangguk, tentu saja. "Apapun yang saya pilih, status saya di sini tidak akan berubah. Sayangnya, saya tidak cocok bersikap seperti seorang putri," jawabku.
Duke Arsenio tertawa. "Ah, saya menyukaimu."
"Hah?!" Bukan, bukan aku yang berseru. Itu Sir Keita. Aku kira, ia tipe yang tenang, tapi ternyata ia bisa memasang ekspresi konyol dan menggelikan. "Tolong Tuan jangan menjadi lelaki hidung belang dengan mengatakan suka pada perempuan di sana sini. Apalagi, dengan Nona Historian." Ia menegaskan itu, tapi suaranya tetap rendah saat menyebutku.
Aku tersenyum kecil melihat kemarahan Sir Keita, sementara Duke Arsenio hanya tersenyum dan tak menanggapi tangan kanannya.
"Sungguh, kamu tidak seperti perempuan lainnya, Ayana," kata Duke Arsenio. "Saya dengar, kamu menolak perjamuan karena tidak tega melihat penderitaan penduduk. Untuk pendatang sepertimu, rasa empatimu cukup besar."
Aku tak menanggapi itu. "Kalian, orang-orang berstatus tinggi, juga harus belajar hal itu. Di duniaku, orang-orang berstatus tinggi turut merasakan penderitaan rakyat," ungkapku.
"Ya, kamu benar. Saya suka pemikiran itu," ungkap Duke Arsenio dengan lembut. "Lalu, informasi apa lagi yang sudah kalian dapatkan?" tanyanya. Ia pun berubah sekejap menjadi orang yang serius.
Aku mendongak ketika merasakan kehadiran Jawa. Aku melambai lada Jawa yang terbang rendah, lalu mendarat di atas kepalaku begitu saja. Ia tiba tepat waktu. Ia membawa surat di kakinya. "Ini dari Tuan Carlos, Tuan Urtzi, dan Sir Damian," ungkapku. Lalu, aku membuka surat yang digulung sangat kecil itu. "Kerajaan Drow diserang monster jumlah besar, Theletray musnah, banyak korban berjatuhan. Pemberontakan."
"Sepertinya, masalahnya rumit," gumam Sir Keita.
Aku mengangguk setuju, lalu menyerahkan surat itu pada Duke Arsenio untuk dibacanya. "Sepertinya, yang membuat bendungan itu bukan Kerajaan Drow, tapi para pemberontak. Jika itu benar, berarti kita tidak perlu berperang dengan Beltzaar. Kita bisa minta Kaisar Beltzaar untuk membantu, bukan?"
Duke Arsenio mengangguk. "Aku akan kirim pesan ini ke Kaisar Arthur. Ayana, kamu tolong kirimkan burung hantumu ini ke Kaisar Gildeon."
Aku mengangguk. "Tapi, Jawa - burung hantuku ini - belum tahu jalan. Aku baru bersamanya dua-tiga hari," ungkapku.
"Oh! Tapi, dia bisa begitu menurut padamu. Mengagumkan," gumam Sir Keita. "Kalau begitu, Jawa akan mengirimkan surat ke Kaisar Arthur, dan burung kami yang akan mengirimkan surat ke Kaisar Gildeon," jelasnya.
Aku mengangguk. "Kalau begitu, aku akan pergi ke Axin."
"Hah? Untuk apa?" tanya Duke Arsenio.
"Menyerang pemberontak dan menghancurkan bendungan."