Apa aku terlalu nekat? Sepertinya, iya.
Semasa hidupku di duniaku, aku tidak pernah senekat ini sampai mengorbankan keselamatanku. Sungguh, di tempat ini, aku merasa seakan semuanya penting untukku. Mungkin bukan penduduknya, tapi lebih kepada kehidupanku di sini. Aku merasa tempat ini sangat cocok untukku. Aku bebas, dan kenekatanku ini sepertinya salah satu dampaknya. Jujur, aku pun bingung pada diriku yang sekarang.
Saat para pemberontak itu lengah, aku menyelinap dan melompat masuk ke dalam kereta kuda paling belakang. Tentu saja, semua manusia - ya, manusia - yang ada di tempat ini terkejut dengan kehadiranku. Aku menatap mereka bergantian lalu tersenyum kecil sambil menaruh jari di depan bibirku. Aku harap mereka akan memahami situasinya, dan tahu bahwa akan ada yang menyelamatkan mereka.
Bukan hanya wanita, tapi juga anak-anak perempuan. Tidak ada anak lelaki atay pemuda. Jelas ini adalah masalah perlindungan anak dan perempuan. Wanita yang ada di sini pun tampak masih muda, belum 20 tahun atau mungkin awal 20 tahun. Anak-anak perempuan ini ada yang seumuranku, ada yang sepertinya masih 7 atau 8 tahun. Para pemberontak ini tidak bisa dibiarkan.
Akhirnya, kami berhenti di sarang mereka. Ini seperti sebuah desa, dan sepertinya sudah berdiri lebih dari dua-tiga minggu. Rumah-rumah tinggi, rumah pohon, rumah di tebing dan goa di tebing-tebing. Dan, semuanya mengelilingi sebuah danau kecil yang terhubung dengan aliran dari Axin. Tapi, danau ini bukanlah danau yang seutuhnya tampak normal, seperti diperluas dan dieprdalam.
"Turun!"
Aku pun turun bersama para tawanan, berjalan menunduk seperti orang yang putus asa, mengikuti kemana orc membawa kami. Tapi, aku menunduk bukan hanya memandangi jalan yang aku lewati. Aku melirik ke kanan dan kiri, memastikan situasi di sekitar. Jika sudah ada alat komunikasi canggih, pasti Duke Arsenio, Muraco, dan Orynn tahu situasi yang kulihat.
Duk! Bruk!
Orc lain menendang punggungku tiba-tiba, dan aku pun terjatuh. Aku tak mengeluh, hanya sedikit merintih karena kaget dan sakit. Lutut dan telapak tanganku terluka karena bergesekan dengan tanah keras dari goa besar di dasar lembah ini.
"Grrrh!"
Aku mendongak, menatap sebuah moncong besar dengan taring-taring runcing, dan sepasang mata berwarna merah. "Naga?" gumamku. Setahuku, naga adalah monster legendaris yang dinyatakan telah punah. Tapi, bisa-bisanya makhluk sebesar ini ada di sini. "Rantai?" gumamku lagi, saat meliat lehernya terlilit besi dan rantai. Aku mengasihaninya.
"Kyaaa!!" jerit seorang perempuan.
Aku menoleh dan melihat orc, minotaur, drow, dan satyr tengah menyiksa beberapa perempuan dan anak-anak. Mereka memaksa mereka mendekati naga yang kini berjarak satu meter do depan wajahku. Aku bahkan dapat merasakan hembusan napasnya yang panas. Tak heran goa ini terasa panas.
"Kalian adalah makanan untuk Naga Api. Kalian seharusnya bangga. Dengan begitu, Naga Api akan melindungi tempat ini," ujar minotaur berkulit hitam itu.
Dan, setelah mereka mentertawakan para tawanan yang ketakutan, mereka keluar dari goa ini dan meninggalkan kami semua. Tempatnya agak gelap, hanya ada penerangan dari obor di dinding, jumlahnya pun hanya empat. Semua tawanan memilih menjauh, berkumpul bersama-sama untuk saling menguatkan.
Aku berdiri perlahan-lahan, tak mau membuat Naga Api ini terkejut dan malah menyerang kami. Aku bisa melihat perubahan pupilnya saat aku bergerak. Ia menggeram, dan hal itu membuat para tawanan ketakutan, bahkan sampai ada yang menangis.
"Ssshh." Aku mendesis pelan, meminta semua tawanan itu berhenti berisik dengan manja. Lalu, aku berdiri dengan berani di hadapan Naga Api ini. "Tuan," panggilku, lalu aku mengangkat tangan kananku perlahan-lahan ke arahnya.
"Ggrrh!!"
"Hei, hati-hati!" seru seorang perempuan.
"Sssh! Aku tahu yang aku lakukan. Diamlah," tukasku ketus.
"Sebenarnya, kamu siapa? Kenapa malah masuk ke kereta kuda?" tanya perempuan lainnya.
Aku menghela napas berat, lantas berbalik menghadap para tawanan, memunggungi Naga Api yang cukup tenang. "Aku datang dikirim oleh kekaisaran. Akan ada pasukan yang menyelamatkan kalian. Jadi, kalian diam saja dengan tenang dan berdoalah agar mereka tiba tepat waktu. Oke?" tegasku.
"Apa kamu ksatria?"
Aku berdecak sebal. Tampaknya, mereka akan terus bertanya sampai mereka puas. "Kurang lebih," jawabku. Lalu, aku berbalik dan kembali menghadap Naga Api. Aku mengangkat tangan kananku, lalu mendekati moncongnya perlahan-lahan sambil terus menatap mata merahnya. "Tuan, aku Ayana Athenia, Historian," ucapku lirih padanya. Taruhan saja, dia mengerti ucapanku.
"Ggrh!" geramnya singkat. Lantas, ia bergerak. Sungguh, jantungku seperti akan berhenti karena gerakan kecilnya. Aku sampai menahan napas. Tapi, untunglah aku tak kabur. "Historian..."
"Eh?" Aku yakin ia berbicara dengan suara laki-laki, tapi suaranya bukan didengar telingaku, tapi seperti di dalam kepalaku. Aku terkejut ketika ia membiarkan tanganku menyentuh moncongnya. Kulitnya keras dan licin seperti reptil bersisik pada umumnya. "T-Tuan bisa bicara, ternyata," gumamku terbata.
"Kami sudah hidup lebih lama dari kalian. Kami mempelajari bahasa kalian," ungkapnya, dan lagi-lagi ia bicara di dalam otakku. "Kamu datang langsung ke pusat masalah dengan berani. Padahal, kamu hanya anak manusia kecil bertubuh lemah."
Aku terkekeh. "Saya menyukai dunia ini, dan saya akan melindungi dunia ini dengan taruhan nyawa saya," tanggapku, lantas aku berjalan mendekatinya. "Bagaimana cara melepaskan rantai ini? Tuan pasti tidak nyaman."
"Di-Dia berkomunikasi dengan naga?"
"Astagah! Apa dia bukan manusia?"
"Si-Siapa dia sebenarnya?"
Aku tak peduki dengan apa yang dikatakan orang-orang tentangku. Aku terus berjalan ke arah leher Naga Api ini, menaiki tangannya, memanjat lengannya, dan akhirnya berada di atas punggungnya. Aku mencoba mencari sesuatu dari kalung rantai ini agar aku bisa melepaskannya.
"Kamu tidak akan bisa melepaskannya, karena ini sihir," kata Naga Api. "Aku tidak akan memangsamu dan mereka. Aku tidak memakan manusia. Kalian kurang lezat."
Aku terkekeh-kekeh. "Kalau begitu, apa yang Anda suka, Tuan?"
"Minotaur, satyr, sapi, kambing, babi. Mereka lebih lezat," jawabnya. Jawaban itu membuatku terkekeh-kekeh. "Kamu tidak takut denganku? Apa kamu memang datang untuk menyelamatkan manusia, atau kamu ingin menundukkanku?"
Aku terbahak-bahak. "Tidak. Aku tidak berminat sama sekali untuk menaklukkan siapapun. Aku datang untuk menyelesaikan ketidakadilan," jawabku. "Desa Riva al Lago mengalami kekeringan, dan Theletray dimusnahkan. Kerajaan Drow tidak tahu apa-apa. Dan, kami menemukan desa ini. Mereka membuat bendungan di Danau Axin dan menguasai seluruh air. Jadi, aku datang untuk mencaritahu alasan dibalik semua itu, sambil menyelamatkan Theletray, Riva al Lago, dan orang-orang," jelasku.
Naga Api ini bergerak, membuat tubuhku sedikit bergoyang dan hampir jatuh dari pundaknya. Ia menoleh dan menatapku dengan mata merahnya. "Mereka membutuhkan air untuk menjinakkanku agar tidak menghancurkan mereka, agar tidak menyebabkan gunung api ini meletus."
"Oh, jadi, Tuan lemah terhadap air? Apa itu karena elemennya Tuan adalah Api?" tanyaku.
"Benar," jawab Naga Api. "Selama ini, hidup saya tentram bersama para monster yang menghormati saya. Saya penguasa daerah ini. Dan, mereka ingin mempergunakan saya untuk menjaga wilayah mereka dan mengalahkan daerah-daerah lain, seperti yang mereka lakukan pada Theletray."
Aku menatap matanya lama. "Oh, God!" gumamku. Aku pun terdiam sejenak untuk berpikir. "Kalau Tuan mau bekerja sama, aku akan mengembalikan wilayah ini dan menjauhkannya dari tangan-tangan penjahat."
"Apa yang kamu rencanakan?" tanyanya.
"Memberontak."