Selama pemulihan seminggu setelah aku bangun, orang-orang Menara Sihir memberikanku pelajaran tentang sihir dan negara mereka, di mana aku tidak mendapatkan informasi banyak tentang Negara Sihir di perpustakaan Kastil Agitur dan di perpustakaan istana. Jadi, mereka sengaja datang dan mengajariku. Bahkan, mereka juga mengajariku berbagai mantra sihir tanpa lingkaran yang akan berguna untukku tanpa menguras banyak tenagaku.
By the way, akhirnya mereka memberikanku paviliun yang sebenarnya, yaitu Paviliun Amaranthus, paviliun khusus untuk historian dari waktu ke waktu. Tempatnya lebih besar, megah, dan lebih mewah. Dan, mungkin karena Historian sebelumnya adalah laki-laki, maka suasana paviliun ini tidak ada sisi feminin. Yah, aku tak masalah, toh, aku tidak menetap di sini.
Hari ini aku akan bertemu dengan Gildeon Xanth, Kaisar Beltzaar yang terasa berwibawa saat pembuktian kemarin, sekaligus sebagai acara peremianku sebagai Historian masa ini. Kebetulan, ia masih ada di wilayah Equattoria, dan sebelum ia pulang, aku akan menemuinya. Selain untuk menghormatinya dan berkenalan secara formalitas, juga aku berharap kami bisa berhubungan dengan baik.
"Nona, wajah pucat Nona tidak bisa tertutupi. Bagaimana, ini?" cemas seorang pelayan yang mendandaniku. Orang-orang di sini tidak ada yang membiarkanku melakukan semuanya sendirian.
"Oh, tidak apa-apa. Tidak bisa diapa-apakan juga. Jadi, baju yang aku pakai harus yang bisa menutupi kepucatan ini. Mungkin warnanya atau modelnya yang membuatku terlihat fresh," sebutku.
"Baik, Nona."
Mereka tidak punya banyak baju perempuan, kecuali baju peninggalan para istri Historian terdahulu. Baju yang dipesankan untukku pun belum banyak yang jadi. Jadi, aku memakai baju yang tidak memperlihatkan aku terlalu feminin, tapi ada sisi kuat layaknya seorang ksatria. Baju ini adalah baju yang aku pilih saat orang dari toko pakaian datang untuk mengukur tubuhku.
Seorang pelayan mengantarku dari kamar keluar paviliun, lalu berjalan di koridor dan taman terbuka menuju paviliun yang diberikan Equattoria untuk perwakilan Beltzaar, termasuk Kaisar Gildeon Xanth. Jaraknya cukup jauh, dan sebenarnya banyak yang khawatir aku berjalan sejauh itu. Padahal, aku sudah baik-baik saja.
"Nona Historian Ayana Athenia telah tiba!" seru seorang pengawal dari bangsa minotaur yang menjaga ruang pertemuanku dengan Kaisar Gildeon. Ia membuka pintu itu, dan mempersilakanku untuk masuk.
Aku pun berjalan masuk tanpa pengawalan, benar-benar hanya aku sendiri. Lalu, aku berdiri di tengah jalan menuju tengah ruang tamu ini. Ada Kaisar Gildeon yang berwibawa dan gagah itu, juga Ketua Pasukan Khusus Kekaisaran, seorang vampir perempuan berwajah pucat dengan mata merah dan bibir merah, memiliki ekspresi yang dingin, dan tentunya ia terasa sangat keren sebagai seorang perempuan. Pakaiannya sangat keren!
"Salam kepada Kasira Gildeon dan Ketua Pasukan Khusus Kegelapan, Sir Selena Ianthess." Aku membungkuk tidak sebagai seorang putri, melainkan sebagai ksatria. Aku tidak mau menjadi putri, aku ingin menjadi ksatria saja.
"Selamat datang, Nona Historian," sapa Kaisar Gildeon. "Bagaimana kondisi tubuh Anda? Ah, silakan duduk."
Aku mendekat dan duduk di sofa panjang di seberang Kasiar Gildeon, sementara Sir Selena berdiri di belakang Kaisar Gildeon. "Terima kasih perhatiannya, Yang Mulia. Berkat Anda dan obat-obatan dari Beltzaar, kondisi saya pulih dengan cepat." Aku tersenyum.
"Anda masih kecil sekali, Nona," sebut Sir Selena.
Aku terkekeh-kekeh. "Katanya, Historian termuda sepanjang sejarah. Aku harap itu tidak masalah dengan penialainku," ungkapku. "Maaf, karena saya baru bisa menemui langsung seperti ini."
"Tidak perlu meminta maaf. Sebaliknya, kami yang seharusnya meminta maaf atas kelalaian kami terhadap warga Beltzaar. Tanpa bantuan Anda, mungkin perang Equattoria dan Beltzaar bisa kembali terjadi," ungkap Kaisar Gildeon.
Aku menggeleng sambil tersenyum. Aku mungkin berbeda dengan orang-orang di dunia ini yang akan menerima setiap sanjungan dengan sangat bangga. "Saya bersyukur tidak perlu ada perang," ungkapku tulus. "Yang Mulia dan Sir Selena bisa berbicara santai dengan saya. Terlalu kaku membuat saya tegang," ungkapku.
Kasiar Gildeon tertawa keras sekali, sangat keras sampai membuat jantungku ikut berdetak keras. "Menarik! Kamu benar-benar manusia yang menarik!" ungkapnya. Mendadak, suasana berubah menjadi lebih santai. Bahkan, Sir Selena menunjukkan sedikit senyumnya. "Baiklah, kamu juga boleh berbicara santai dengan saya."
"Ah, baik. Terima kasih."
"Jadi, Ayana," sebut Kaisar Gildeon. "Bisa kamu ikut dengan kami ke Beltzaar mulai besok lusa? Tidak ada masalah apapun, tapi kami berharap kamu mau datang ke sana untuk menemui warga Beltzaar," ungkapnya.
Aku mengangguk dengan antusias. "Benarkah aku boleh ke sana meski tidak ada masalah apapun?" tanyaku. "Aku ingin tahu Beltzaar seperti apa, karena pada Historia, Cato Dominick dan Ethaniel Janko tidak menjelaskan dengan detail. Aku penasaran."
"Historian adalah satu-satunya orang yang bebas keluar masuk dua wilayah, bahkan kini kamu sudah memiliki izin resmi untuk masuk ke Negara Sihir, negara paling misterius dan paling tidak bisa dimasuki sembarangan orang. Akan menjadi suatu kehormatan bagi kami jika kamu mau datang untuk sekedar kunjungan saja. Kami akan menyambutmu dengan meriah," jelasnya.
Aku terkekeh-kekeh. "Tidak perlu meriah, juga tidak masalah, Yang Mulia. Asalkan semua mau menerimaku dengan baik, aku sudah sangat senang," ungkapku.
"Kamu simpel dan sederhana sekali, seperi yang mereka katakan," sebutnya. Entah siapa 'mereka' ini. "Kamu menolak penjamuan di Riva al Lago yang sedang mengalami krisis. Padahal, orang-orang berstatus tinggi akan menerima perjamuan itu. Kamu memiliki empati yang tinggi pada sekitarmu."
"Terima kasih." Aku tersenyum kikuk. "Sungguh, aku tidak terbiasa dipuji. Tolong jangan terlalu banyak memuji," ungkapku.
Kaisar Gildeon tertawa lagi. Tawanya keras dan puas sekali, benar-benar tidak ada sisi jaga image seorang kaisar.
"Sebenarnya, ada masalah," sebut Sir Selena.
"Ah, kamu tidak seru, Selena! Harusnya aku yang mengatakannya," ungkap Kaisar Gildeon yang bertingkah sedikit kekanakkan. Ia pun menghela napas berat. "Bukan masalah besar, tapi kami berharap kamu andil dalam masalah itu."
Aku mengangguk. Sudah kuduga, pasti bukan sekedar undangan bebas. "Apa yang bisa aku bantu?" tanyaku.
"Naga yang kamu temui di lembah belakang Axin," sebut Tuan Gildeon. Mendadak, aku ingat kejadian itu. Aku melupakan Tuan Ignis. "Semenjak kejadian itu, keberadaan naga yang sebelumnya hanya mitos sebagai makhluk tertua di bumi dan dinyatakan telah punah, kini banyak yang mencoba mencari keberadaan mereka. Tentu ini akan menjadi berbahaya jika banyak yang berburu naga. Mereka seharusnya menjadi makhluk yang dihormati, bukan untuk diburu seakan mereka berbahaya," jelasnya.
Aku mengangguk paham. "Bukankah naga masuk ke dalam Bangsa Monster?" tanyaku.
"Iya, tapi mereka termasuk generasi tetua. Sampai saat ini, kami hanya menghormati bekas keberadaan mereka, tidak benar-benar tahu bahwa mereka masih ada. Kamu adalah bukti bahwa mereka masih ada. Kami ingin kamu menjadi simbolik bahwa mereka tidak seharusnya diburu," ungkap Kaisar Gildeon. "Bisakah aku memintamu secara pribadi sebagai orang dari Bangsa Monster?"
Aku menganggukkan kepala. "Aku akan lakukan semaksimal yang kubisa."
"Apa kamu punya rencana?" tanya Sir Selena.
Aku menggeleng. "Bagaimana bisa aku punya rencana saat aku tidak benar-benar tahu situasinya?" tanyaku balik.
Kaisar Gildeon tertawa terbahak-bahak lagi. "Kamu benar-benar menarik!"
"Apa? Apa aku melakukan hal yang lucu?"
Sir Selena tersenyum sambil menggeleng. "Pemikiran yang sederhana. Pembawaan yang santai. Tidak mau dilayani berlebihan. Memiliki empati yang tinggi. Benar-benar berbeda dengan Historian yang terdahulu."
Kaisar Gildeon menganggukkan kepala, seakan setuju dengan ucapan Sir Selena. "Terima kasih, Ayana."
"Aku belum melakukan apa-apa. Simpan saja terima kasihnya," sebutku.