Begitu Ignis menghancurkan batu yang menutup pintu goa, serpihannya bertebaran kemana-mana dan membunuh beberapa makhluk kegelapan, baik dengan serpihan besar dan berat, atau serpihan kecil namun runcing dan menusuk dalam ke tubuh mereka. Seketika, desa pemberontak ini porak-poranda.
Aku turun dari leher Ignatius, mengambil dua buah pedang yang tergeletak di atas tanah, lalu mulai membabi-buta mengalahkan para pemberontak yang hendak menyerangku dan Ignis. Tentu saja Ignis tidak akan mudah terluka. Katanya, ia hanya akan terluka jika ada sihir di dalam senjata atau orang-orang yang menggunakan sihir. Gerakan Ignis memang terlihat lambat, tapi ia sangat kuat.
"Siapa kamu, hah?!" tanya makhluk kegelapan yang penampilannya terlalu mirip dengan manusia, namun memiliki kulit yang sangat putih pucat. "Kamu terasa... berbeda." Ia menjulurkan lidahnya dan menjilat bibirnya seperti orang kelaparan. Saat itu, aku melihat sepasang taring sangat panjang di jajaran gigi atasnya.
"Vampir, ya," gumamku. Berusaha setenang mungkin. Dari yang aku baca, Bangsa Vampir memiliki kekuatan individual yang tak berhubungan dengan sihir. Mereka sama seperti naga, merupakan bangsa abadi yang sudah ada sejak sangag lama. "Berapa umurmu?"
"Kamu bertanya umur pada vampir?" Ia tertawa terpingkal-pingkal. "Baiklah. Tak masalah. Umurku 150 tahun."
Aku mengangguk. Itu artinya, ia masuk dalam golongan bangsa vampir yang cukup lemah. Jika ia berumur ribuan tahun, mungkin ia sangat kuat seperti para Tetua Vampir. "Masih muda."
"Kamu hanya manusia berumur pendek. Masih bisa berkata seperti itu, berarti kamu sangat berani, Nona," ujarnya.
"Kurang lebih," tanggapku.
"Hiyaaaah!!!"
Seseorang berteriak penuh semangat dari arah belakanh. Aku menoleh cepat dan spontan menghindar dari perempuan berwajah kucing yang melompat tinggi dengan sepasang pisau pendek di kedua tangannya yang bulat menggemaskan. Tak ambil pusing. Aku mengayunkan pedangku dan menebas diagonal tubuhnya yang masih berada di udara. Ia jatuh di depan kakiku dan tak bergerak. Ia adalah bangsa Klaustreich dengam bulu berwarna calico.
"Gerakanmu tidak seperti manusia biasa," ujar vampir itu. "Jadi, kamu ksatria yang dikirim untuk memata-matai kami. Itu artinya, bantuan akan segera datang."
Aku menatap mata merahnya. "Aku bukan ksatria. Aku hanya sedikit berbeda dengan manusia biasa," jawabku. "Oh, kamu sedang menggali diriku, ya?" Aku tersenyum miring padanya. "Kekuatanmu adalah Mind-Reading."
"Benar, Nona Historian." Ia tersenyum lebar. Kini, aku dapat melihat taring panjangnya dengan sangat jelas. "Ternyata rumor itu benar, bahwa Historian telah muncul. Tapi, aku tidak menyangka bahwa Historian kali ini adalah gadis kecil bertubuh lemah. Aku akan membawamu."
Aku terkekeh-kekeh. "Ya, silakan dicoba."
Vampir itu bergerak super cepat, seperti seekor ngamuk yang terbang liar di sana-sini dan sukit diikuti. Begitu vampir itu berhenti di depan wajahku, aku spontan menggerakkan tangan kananku. Tapi, ia menangkisnya, bukan menghindarinya. Itu kesalahannya. Dan, aku punya kesempatan untuk menggunakan kakiku.
Duagh!!
"Ukh!" Vampir itu membungkuk dan jatuh meringkuk sambil memegangi selangkangannya. "Li-cik."
Aku terkekeh-kekeh. "Aku lebih senang menyebutnya strategi." Aku mundur satu langkah, lalu mengayunkan tangan kananku dan menebaskan leher vampir itu. Ia tidak akan mati hanya karena kepalanya terpisah dengan tubuhnya. Jika disatukan, mereka akan sembuh. Tapi, ini akan menahannya untuk waktu lama.
"Brengs*k kau, Historian!" seru vampir itu. Kepalanya sudah menggelinding entah kemana, tersepak oleh para makhluk kegelapan yang berlarian menghindari Ignis.
Aku mengabaikannya. Lantas, aku bergegas pergi ke arah bukit. Aku harus menjemput para ksatria dan keempat Agitur. Mereka pasti bingung dengan jalan yang harus dilalui. Bahkan, saat aku duduk bersama para tahanan di dalam kereta kuda, aku pun tidak tahu kami melewati jalan apa. Sepertinya, ada tabir sihir yang melindungi tempat ini. Kata Ignis, jika demikian, aku bisa menggunakan lingkaran sihir yang sama dengan yang aku gunakan untuk membebaskannya untuk membuka tabir tersebut.
Benar. Ketika aku tiba di ujung bukit, aku tidak bisa keluar dari sana. Ada pelindung kaca transparan yang membuatku tidak bisa melihat apapun kecuali jalanan hutan yang kosong. Terdapat sepasang pilar seperti gapura, membuatku yakin bahwa mereka adalah penandanya. Ini akan membunuhku, tentu saja. Tapi, siapa yang bisa melakukannya selain aku?
Aku menggambarkan kembali lingkaran sihir untuk pembebasan menggunakan darahku di atas tanah di antara kedua pilar itu. Aku pun duduk di dekatnya, lalu menaruh tangan kananku di atasnya, dan aku pun menyebutkan mantra itu, "Frange quod animam meam mihi tenet, cum metrico, liber sum."
Cahaya itu kembali berpendar dari lingkaran sihir ini. Aku merasa tubuhku seperti tersengat sesuatu, amat menyakitkan. Paru-paruku seperti ditarik, jantungku seperti diremat. "Uuuugh..." Aku mencoba mempertahankan kesadaranku. Sungguh, ini lebih menyakitkan dibanding pertama. Mungkin karena aku memaksakan diriku dengan berlebihan.
Saat tabir itu menghilang secara perlahan, saat kesadaranku pun perlahan-lahan menipis, aku melihat Duke Arsenio berdiri tepat di hadapanku. "Syukurlah." Aku yakin aku mengatakan itu. Dan, aku pun tak ingat apapun lagi setelahnya.
***
Aku kira, aku sudah mati. Tenagaku terkuras 100%, aku yakin itu. Tapi, bisa membuka mata, menghirup udara dengan aroma lavender yang lembut, dan merasakan hangatnya perapian, tentu hanya bisa didapatkan dikehidupan, bukan kematian. Jadi, jelas aku masih hidup.
Tapi, tentu saja aku tidak bisa bergerak bayak. Menggerakkan kedua tanganku saja rasanya seperti kebas, lemas sekali. Aku tidak bisa menggerakkan kakiku, aku tak bisa merasakan gerakannya. Dan, bernapas pun cukup berat untuk dadaku. Ketika aku melihat tangan kananku, ternyata tinggal kulit dan tulang saja. Sepertinya, aku kehilangan 5 kilogram berat badanku. Sihir mengerikan.
Tidak ada siapapun di kamar ini, padahal kuharap setidaknya ada satu orang yang menemaniku dan menungguku dengan sabar sampai aku bangun. Tapi, yang kudapat malah sesosok arwah pelayan perempuan yang wira-wiri melakukan aktivitas yang sepertinya sudah rutin dilakukannya.
Ah, benar. Kamar ini bukan kamarku di Kastil Agitur. Ini kamar yang jauh lebih besar, jauh lebih mewah, dan terlalu berat, seakan ada kisah kelam di dalam sini. Dan, mungkin pelayan perempuan itu terlibat di dalamnya.
Cklek.
Pintu kamar terbuka dan kulihat dua pelayan perempuan berjalan masuk dengan membawa masing-masing membawa satu baskom dan sebuah handuk putih. Mata mereka terbelalak saat melihatku menatap mereka dan menyunggingkan sedikit senyum.
"Cepat panggil tabib!" seru pelayan yang tampak lebih tua. Lalu, pelayan yang lebih muda itu menaruh baskom dan handuk di atas buffet, kemudian pergi tergesa-geda. "Apa Nona Historian benar-benar sudah sadar?" tanyanya, lantas bergegas menghampiriku.
Seperti de javu. "Iya. Sepertinya, aku tidur cukup lama, ya?" tanyaku. Tak kusangka suaraku serak.
"Nona tidak sadarkan diri selama satu minggu. Kondisi Nona benar-benar membuat kami semua takut," jawabnya. "Apa yang Nona rasakan sekarang?"
"Hanya lemas, dan sepertinya aku harus mulai belajar berjalan kembali," jawabku, lalu aku terkekeh lirih. "Ini di mana?"
"Salah satu paviliun di Kekaisaran Equattoria," jawabnya. Anehnya, ia tak menyebutkan nama paviliun ini. Biasanya, paviliun memiliki sebuah nama dan makna. "Ta-Tapi, karena Nona menggunakan sihir, Kaisar Equattoria dan Tuan Agitur memutuskan untuk mengisolasi Nona sampai ahli sihir dari Menara Sihir Kekaisaran Beltzaar tiba untuk memeriksakan Nona."
"Hm? Bukankah Historian bisa menggunakan sedikit sihir?" tanyaku.
"Tidak, Nona," jawabnya. "Berdasarkan sejarah yang saya dengar dari para bangsawan, hal itu hanya pernah terjadi pada Historian I, Luciel Benedictus. Jadi, sampai utusan Menara Sihir tiba dan membuktikan bahwa Nona tidak dalam pengaruh ikatan dengan iblis, Nona akan tetap ada di paviliun ini."
"Oh, great," gumamku sarkas.