Chereads / Historia: Ayana Athenia's Journal / Chapter 12 - Dua-belas

Chapter 12 - Dua-belas

Duke Arsenio, Muraco, Orynn, dan Sir Keita terkejut sekali saat mendengar rencana spontanku untuk pergi ke Axin dan melawan pemberontak untuk bisa menghancurkan bendungannya. Cara mereka menatapku jelas memberitahuku bahwa aku bukan perempuan pada umumnya, bahwa aku selalu bertindak spontan dan tanpa perhitungan, dan memperlihatkan sisi perempuan yang tak anggun layaknya ksatria perempuan.

Apa itu salah? Seharusnya tidak, bukan?

Tapi, tentu saja aku tidak mentah-mentah mengatakannya. Setelah mendengar penjelasan dariku, Duke Arsenio pun menyetujui rencanaku. Bahkan, ia mengaku kagum pada diriku. Secara, aku yang sejak dulu hidup hanya untuk mempertahankan hidupku sendiri, kini harus memikirkan keselamatan banyak orang.

Duke Arsenio ikut bersamaku, Muraco, dan Orynn, sementara Sir Keita dan Sir Winter menjaga Riva al Lago bersama ksatria lainnya. Kami benar-benar hanya berempat pergi ke Axin. Sebab, di sana, kami akan bertemu dengan Carlos dan Urtzi, serta orang-orang kiriman Kerajaan Drow. Dan, berdasarkan kabar dari Jawa, Kekaisaran Beltzaar juga akan mengirimkan pasukan untuk membantu kami, meski butuh waktu. Tapi, kami yang terdekat dengan Axin akan lebih dulu memantau situasi dan lainnya.

"Sudah seperti akan berperang melawan satu kerajaan," gumamku saat kami tiba di dekat Axin. Kami harus mencari tempat persembunyian.

"Benar," tanggap Duke Arsenio. "Kita tidak tahu berapa jumlah pemberontak itu, dan siapa saja mereka," jelasnya, dan tentu saja itu yang aku pikirkan sejak awal.

Hari masih sore ketika kami akhirnya menemukan tempat persembunyian. Total dengan hari ini, kami sudah tiga malam meninggalkan Kastil Agitur. Ini pertama kalinya aku bepergian dengan minim istirahat, tapi anehnya kondisiku tak seburuk yang seharusnya terjadi. Bukan karena obat-obatan yang kuminum, tapi kurasa karena tubuhku lebih cocok berada di dunia ini dibanding di duniaku.

"Jadi, bagaimana kehidupanmu di duniamu, Aya?" tanya Sir Arsenio. Saat aku menatapnya, ia tampak penasaran dan antusias untuk mendengarkannya.

"Benar juga," gumam Orynn. "Kamu jarang membicarakan duniamu."

Aku menatap kedua Agitur itu. "Well, tidak ada yang bisa aku ceritakan secara khusus. Di sana, aku hanya orang egois yang menyendiri dan berjuang hidup untuk diri sendiri. Malah, aku senang ada di sini karena aku bisa lebih bebas dalam bergerak dan melakukan sesuatu," jelasku.

"Maksudmu?" tanya Sir Arsenio.

"Aku tidak sesehat yang Anda bayangkan, Duke," jawabku, lalu sedikit menyunggingkan senyum. "Di tempatku, penyakitku ini disebut Penyakit Jantung Bawaan. Jantungku bentuk dan strukturnya normal, tapi tidak bisa bekerja normal hingga mempengaruhi bentuk jantung. Aku berkali-kali melswan kematian, berkali-kali jatuh-bangun untuk terus bertahan hidup. Anehnya, di dunia ini, kondisiku jauh lebih baik. Bahkan, aku tidak pernah brlajar bela diri dan berpedang, tapi aku bisa melakukannya di sini." Aku menatap ketiga lelaki itu. "Seakan dunia ini adalah duniaku seharusnya berada."

Duke Arsenio tercengang. Ia tampak terkejut dan sepertinya ia sulit mencerna ceritaku. "A-Apa itu benar, Sir?" tanyanya, tapi bukan padaku, melainkan pada kedua Agitur.

Muraco memgangguk. "Kami memanggil tabib, dan memang benar bahwa kondisi jantung Aya sangat buruk. Bahkan, tabib menyarankan agar Aya tidak melakukan banyak hal melelahkan. Tapi, sejak kami meninggalkan kastil dan sempat bertarung dengan pemberontak, kondisi Aya masih cukup baik," jelasnya.

"Ini aneh," gumam Duke Arsenio.

Aku terkekeh. "Aku pun merasa aneh."

Srak! Srak!

Kami bungkam seketika. Tubuh kami langsung merendah, lalu Orynn merayap di atas rerumputan sampai ke sesemakan yang melindungi kami untuk mengintip. Kami diam dan menunggu sampai Orynn berhasil menemukan sesuatu. Dan, tak lama, ia kembali dengan ekspresi wajah tegang. Sepertinya, aku akan mendengar kabar buruk.

"Makhluk kegelapan dari berbagai ras. Jumlahnya lebih dari 50. Mereka memakai zirah, membawa senjata, dan ada dua kereta kuda."

Aku bisa melihat ketegangan di wajah Duke Arsenio, Murco, dan Orynn. "Kita ikuti diam-diam. Kita harus tahu sarang mereka dan apa yang akan mereka lakukan." Aku menatap ketiga lelaki itu. "Bagaimana?"

"Ide bagus," tanggap Duke Arsenio.

Kami memang sengaja berada di ketinggian, sehingga kami dapat mengetahui kedatangan siapapun di jalur perjalanan di sekitar Axin. Dan, keputusan kami tepat. Hanya saja, kami harus berhati-hati di sini, atau kami akan tergelincir dan rencana kami akan ketahuan. Kondisi tanah di sini tidak begitu baik, dan sebenarnya akan menguntungkan jika ada Carlos Sang Agitur Terram. Tapi, selama kami berhati-hati, sepertinya tak akan masalah.

Kami tiba di ujung tebing dan melihat gerombolan makhluk kegelapan itu memilih untuk turun ke arah lembah yang berada di belakang Axin. Tempat itu tak pernah tersentuh, karena di sana adalah sarang para monster. Tapi, jika diingat-ingat lagi, tentu tak aneh jika mereka ke sana. Sarang mereka mungkin adalah sarang monster yang telah mereka musnahkan.

"Apa tujuan mereka?" tanyaku.

"Hm? Maksudmu?" tanya Duke Arsenio.

"Mereka masuk ke daerah lembah di balik Axin, dan dari apa yang aku baca, di lembah itu adaah sarang para monster. Tidak aneh kalau mereka memusnahkan para monster dan mengambil alih tempat mereka. Tapi, apa tujuan mereka menempati tempat itu dan mengambil alih seluruh aliran Axin?" jelasku.

Muraco berhaming. "Kamu berpikir lebih cepat dari kami. Sebenarnya, otakmu sebesar apa?"

Aku menatapnya heran. Bisa-bisanya ia memikirkan hal itu di saat seperti ini. "Ada yang punya teropong atau sejenisnya?" tanyaku. Aku memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan Muraco yang menurutku tak penting.

"Ini." Duke Arsenio menyerahkan binokuler miliknya padaku.

Well, aku tidak pernah menggunakan benda seperti ini, tapi aku tahu mana yang harus aku putar untuk memperjelas penglihatanku. Sayangnya, tak begitu terlihat jelas karena terhalang pepohonan. Tapi, satu hal yang dapat kulihat dan berhasil membuat jantungku seakan berhenti berdetak satu kali.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Orynn.

Aku menyerahkan binokuler itu pada Duke Arsenio kembali. "Kereta kuda yang mereka bawa bukan berisikan persediaan makanan, tapi wanita dan anak-anak."

"Hah?" seru Muraco dan Orynn kompak.

"Kita harus minta bantuan lebih banyak, sepertinya," gumamku. "Aku akan ke bawah sana." Aku pun berdiri, hendak bergegas pergi. Tapi, Duke Arsenio menarik tanganku dan menyuruhku untuk berhenti. "Apa?" tanyaku sinis padanya, tak peduli jabatannya.

"Jangan gegabah, Aya."

Aku menarik tanganku lepas dari genggamannya. "Tenang, aku akan baik-baik saja."

"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Muraco.

Aku menyengir lebar. "Menjadi tawanan mereka."

"Kamu gila?!" seru ketiga lelaki itu berbarengan.

Aku mengusap dadaku lembut. Sungguh, seruan mereka mengejutkan sekali. Aku tidak pernah dibentak, karena mereka tahu jantungku tidak kuat. "Bisa lebih tenang? Suara kalian terlalu keras," tukasku sinis. "Kalian ikuti aku dari belakang. Aku akan diam-diam menjadi tahanan mereka. Itu menguntungkan kita nantinya."

"Terlalu berbahaya, Aya. Bagaimana dengan nasib Historia jika mereka menemukan itu? Kamu akan langsung dikenali dan kamu bisa saja terbunuh," kata Orynn dengan cepat.

Aku menggeleng. Aku cepat-cepat membuka jubah dan pakaianku, membuat mereka langsung menutup mata karena malu, padahal aku memakai baju berlapis. Aku hanya terkekeh-kekeh saja dengan mereka yang begitu polos. Lantas, aku membebat Historia di perutku dengan kain. Memang Historia ini cukup tebal, tapi aku akan terlihat seperti orang berperut buncit seperti anak kurang gizi.

"Kalian polos sekali," ledekku.

"Kamu perempuan yang aneh, Ayana," gumam Duke Arsenio malu-malu.

Aku menyengir. "Kalian percaya padaku, atau tidak?" tanyaku.

"Bukannya tak percaya. Tapi, ini berbahaya, Aya. Kamu adalah sosok penting untuk dunia ini. Semua orang dan dunia ini membutuhkanmu," kata Duke Arsenio.

"Yang kalian butuhkan bukan 'aku', tapi Historian," jawabku. "Kalau aku mati, kalian hanya perlu menunggu Historian berikutnya datang, bukan?" Aku terkekeh. "Sudah, tenang saja. Aku akan baik-baik saja."

Ketiga lelaki itu menghela napas. "Baiklah."

"Awesome!"