Benar kata Daisy, jika dia melihat dari bentuk tubuhku dan gaun yang telah ia buat. Namun, sebenarnya ia salah. Tubuhku tidak mengecil, tapi menjadi padat. Berat badanku masih sama, namun karena olah raga yang aku jalani, tubuh ini menjadi lebih berotot dan keras. Tapi, aku kagum dengan mata Daisy. Ia dapat melihat perbedaan yang kecil sekali. Baju yang telah ia buat hanya kebesaran satu sentimeter.
Usai makan malam, dengan berkuda, aku dan keempat Agitur pun pergi meninggalkan istana. Barang-barang untuk acara di kekaisaran nanti akan dikirimkan menjelang acara tersebut. Barang yang kami bawa tidak banyak, hanya jubah, selimut, satu pakaian ganti, dan perbekalan. Kami ditemani dua ksatria, yaitu Winter dan Damian.
Perjalanan dari istana ke hulu sungai besar yang terletak di lereng ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut hanya memakan waktu empat jam. Itu artinya, kami tiba di sana tengah malam. Dan, hulu sungai yang besar itu lebih seperti air terjun dan danau. Hulu sungai itu dikenal dengan nama Axin. Tidak ada kehidupan di sana, sebab tempat itu berbahaya dan banyak monsternya. Padahal, tempat itu sungguh indah, dan aku yakin akan lebih indah dilihat saat siang hari.
"Indahnya," gumamku, seraya turun dari kuda pemberian Kaisar Arthur yang kunamai Pulchra, artinya 'cantik' dalam Bahasa Latin. "Jawa, kamu boleh bermain selagi kami berkeliling."
"Kiiiiek!!" Jawa pun lepas landas dari bahuku.
"Aku masih kagum denganmu dan Jawa yang sidah begitu akrab dengan sangat cepat," gumam Urtzi. "Kamu tidak takut dia kabur?"
Aku menggeleng. "Kalau dia memang menyukaiku, dia akan kembali bagaimana pun caranya," balasku. "Dan, lihatlah." Aku menunjuk ke arah sungai dari Axin.
"Dam?" tanya Carlos.
Aku berjalan lebih cepat ke arah dam. Agak sedikit memutari Axin untuk bisa tiba di sana, dan itu agak jauh karena Axin sangat luas. Dan, langkahku memelan ketika aku melihat pemandangan yang mengerikan. Bangkai, tulang belulang, anak panah, ujung tombak yang patah, helm zirah, dan darah kering. Tapi, kalau dilihat dari bentukannya, ini bukan bangkai manusia.
"Jadi, mereka menciptakan dam sambil bertarung dengan monster?" gumam Orynn.
"Ya, terlihat berat sebelah," sahut Muraco. "Kalau dilihat dari helm zirah dan anak panah ini, sepertinya dari Theletray atau Kerajaan Drow."
"Mereka mau memonopoli air," kata Urtzi.
"Sir, saya akan kirimkan kabar ke kekaisaran," kata Damian. Ia membawa seekor elang pengirim surat sejak kami berangkat tadi. Untunglah, elang itu dan Jawa tidak bermusuhan.
"Ya, tolong," tanggap Muraco. "Carlos, Urtzi, dan Damian, kalian pergi ke Theletray dan mencari tahu di sana. Aku, Orynn, Aya, dan Winter akan pergi ke Riva al Lago. Besok siang, kita berkumpul lagi di sini," ujarnya. Ia memang pemimpin di sini, jadi keputusan ada di tangannya.
"Jawa!" panggilku sambil mendongam.
"Kiiiek!" Jawa terbang rendah dan mendarat di atas kepalaku. Sungguh, itu berat. Tapi, aku membiarkannya.
Kami pun berpencar tanpa protes. Kami berkuda dengan cukup cepat melewati huntan dengan medan yang menurun, licin, dan beberapa harus melewati halang rintang. Jujur, aku kagum dengan kemampuan berkudaku hanya dalam sebulan. Dan, aku rasa, Pulchra yang membuatku bisa beradaptasi dengan berkuda secepat ini.
Perjalanan dari Axin ke Desa Riva al Lago membutuhkan waktu beberapa jam saja. Kalau secepat kami berkuda sekarang, mungkin akan tiba dalam 5 jam saja. Kalau tidak banyak jalan bercabang yang mudah berubah, kalau tidak ada monster yang menghadang, seharusnya perjalanan dapat ditempuh dengan sangat mulus. Aku pun tak berharap berhadapan dengan monster. Bertarung itu melelahkan.
"Kiiiiik!!"
Kali ini Jawa melengking lebih keras secara tiba-tiba. Hal itu membuatku spontan menoleh ke arah yang menurut instingku adalah sumber masalah. Mataku terbelalak saat melihat kilau cahaya perak pantulan bulan pada benda berbahan logam.
"Oh, sh*t!"
Jleb!! Bruk!
Aku menjatuhkan tubuhku dari Pulchra dengan tepat waktu. Ketika aku mendarat di atas tanah dan Pulchra tampak terkejut, anak panah itu menancap di pohon yang berada tepat di sebelah kiriku. Jawa sudah pergi ke udara sejak ia melengkingkan suaranya. Sungguh, itu mengejutkan sekali.
"Musuh!" seru Muraco.
Aku merangkak dan merayap untuk berlindung di balik pohon lebih dulu. Aku juga harus bersiap-siap. Pulchra duduk di atas tanah, meringkuk tanpa bisa melindungi tubuhnya. Namun, untunglah ia cukuo tenang dan tak banyak bergerak. Aku rasa, penyerang tidak akan mengincar kuda-kuda kami. Mereka bisa diuntungkan jika mendapatkan kuda, bukan?
"Aya, apa kamu terluka?" tanya Orynn yang berada di sebelahku.
Aku menggeleng, tapi aku tak menjawabnya dengan kata-kata. Aku menoleh ke belakang, ke arah anak-anak panah berasal, lalu aku mendongak dan melihat Jawa terbang berputar-putar di atas sana. "Sepertinya ada cukup banyak. Dan, sepertinya mereka tahu kita akan datang," gumamku.
Syut! Jleb!
Satu anak panah melesat tepat di depan wajahku, lalu mendarat tepat di dekat kakiku. "Oh, God," gumamku. Aku pun mengambil anak panah itu dari tanah, lalu mengamati bentukannya. "Ini milik Drow, khas sekali. Lihat." Aku menunjukkan sebuah ukiran khas Bangsa Drow dekat mata anak panah itu.
"Kita harus hati-hati," sebut Orynn. Ia berbalik, menatap Muraco yang ada di pohon lain bersama Winter. Tak ada suara, hanya gerakan tangan sebagai isyarat. "Kamu di sini saja dengan panahmu. Jangan keluar dari persembunyian. Kami yang akan maju."
Aku mengangguk. "Aku jaga dari belakang."
Aku berdiri perlahan-lahan saat para lelaki mulai menyerbu ke daerah lawan. Aku menyiapka busur dan anak panahku. Aku melepaskan anak panah berkali-kali ke arah aku melihat kilau perak pantulan rembulan di antara sesemakan atau rimbunnya dahan pohon. Memang tidak bisa tepat semua, tapi dari lima belas anak panah yang kulepaskan, lima di antaranya mengenai lawan tepat di kepala mereka dengan sangat mengerikan.
"Aya, apa yang kamu pikirkan, hah?!" seru Muraco dari depan sana. "Kamu membunuh mereka dengan mengenaskan."
"Mana aku tahu! Aku hanya asal tembak, ya!" balasku kesal.
Dan, dua puluh anak panahku habis. Ada tiga puluh anak panah lagi, tapi aku menyimpannya di kantung persediaan di Pulchra. Aku berdecak sebal, tapi aku juga tidak bisa diam saja.
Aku berguling ke arah Pulchra, merayap dan berlindung di belakangnya. Aku merogoh kantung dan mengambil seluruh anak panah yang tersisa. Aku menyimpannya di kantung pinggangku. Dan, aku pun bergegas bangkit meninggalkan Pulchra untuk kembali ke pohon persembunyianku. Tapi, ketika aku berbalik, aku malah berhadapan dengan satu makhluk yang bukanlah Bangsa Drow, tapi ia bersosok setengah manusia setengah banteng.
"Minotaur."
"Historian kita sudah mengenali masyarakat dengan baik, ya," gumamnya terdengar sarkas. Lantas, ia mengayunkan tangan kekarnya, menaruh mata kapaknya di depan wajahku persis. "Ikut kami dengan tenang, tanpa perlawanan. Kami membutuhkanmu hidup-hidup bersama Historia."
Aku menatap matanya lekat-lekat, tanganku bergerak perlahan ke pinggang untuk mengambil anak panah. "Maaf, aku tidak mau. Hiyah!" Aku mengangkat tangan kananku cepat dan menancapkan anak panahku di paha minotaur itu. Menancap cukup dalam, sepertinya.
"Graaargh!!"
Selagi ia lengah, aku berdiri sambil mendorong tubuhnya hingga ia terjatuh ke belakang. Aku merebut kapaknya, lalu memukul wajahnya dengan bagian belakang kapak dengan cukup keras. Ia yang mengerang itu pun menjadi tenang. Ia pingsan.
"Ah, sial. Kaget, sumpah!" keluhku.
"Aku tidak tahu kalau kapak bisa digunakan seperti itu." Aku tersentak dan menoleh cepat ke belakang. Aku sudah waspada, aku kira musuh. Tapi, untunglah itu Muraco, Orynn, dan Winter.
Aku menghela napas berat, lalu aku mencoba untuk berdiri. Tapi, lututku lemas. "Ah!"
Grep!
Orynn menahan tubuhku dengan cepat. "Kamu baik-baik saja?"
"Jantungku berdebar-debar. Aku benci kejutan," jawabku sambil merangkul pinggangnya sebagai peganganku untuk bisa tetap berdiri. "Omong-omong, jika semua orang tahu kalau Historian kali ini 'pembunuh', apa yang akan mereka pikirkan?"
Tiba-tiba saja Muraco, Orynn, dan Wintwr tertawa terbahak-bahak. Aku yakin pertanyaanku bukan lelucon. "Mereka tidak akan berpikir bahwa kamu Historian yang buruk, Aya. Mereka malah akan takut dan tunduk."
"Oh?"