Chapter 10 - Sepuluh

Kami tiba di hilir sungai yang berbatasan langsung dengan Desa Riva al Lago, desa yang menjadi penghasil sumber makanan air tawar paling berkualitas di Equattoria. Padahal, kami tiba saat langit masih cukup gelap, tapi desa ini terasa mati. Air sungai yang mengalir hampir tidak ada. Suasananya pun suram.

"Desa mati? Seperti habis ada wabah," gumamku. Sejak menemui perbatasan desa, kami turun dari kuda kami dan berjalan sambil menuntun kuda. Kini, kami hampir tiba di alun-alun.

"Kekeringan, karena itu jadi seperti ini. Mereka tidak punya pemasukan, bahan pangan di sini pasti menurun karena tidak bisa menjual apapun keluar," jelas Muraco.

"Sir!" Winter berseru dan kami spontan menoleh ke arah Winter. "Itu Kepala Desa."

Aku mengikuti tangan Winter menunjuk. Seorang pria berumur akhir 40 tahun - sepertinya - dengan kulit agak gelap, rambut cokelat, dan mata cokelat muda. Ia tampak lusuh, tampak seperti menahan diri untuk tidak makan demi warganya. Kalau tidak salah ingat, Kepala Desa Riva al Lago bernama Bennedict Spring, dia adalah baron di desa ini.

Muraco dan Orynn menghampiri Bennedict lebih dulu, lalu aku dan Winter berjalan di belakangnya. Karena statusku sebagai Historian belum resmi, mereka memintaku merahaskakan wajah dan identitasku. Jadi, aku menutupi kepala dan wajah dengan tudung. Namun, tentu aku akan menjadi sangat mencolok dengan tubuhku yang sangat kecil dibanding tiga lelaki yang ada di dekatku. Tinggiku hanya sampai setengah lengan mereka.

"Terima kasih sudah datang, Tuan Agitur dan Tuan Ksatria," kata Bennedict dengan suara serak, seperti tidak minum seharian. "Kami sangat mengharapkan bantuan kalian untuk menyelesaikan permasalahan di sini. Prajurit kerajaan yang berjaga di desa ini juga sudah kesulitan. Banyak monster turun ke desa sejak kekeringan terjadi."

Aku mendongak dan menatap Winter, berharap mendapatkan penjelasan. Aku tidak tahu tentang kabar itu. Tapi, dari ekspresi Winter, sepertinya ia juga tidak tahu.

"Sejak kapan monster turun ke desa?" tanya Orynn.

"Sekitar tiga hari ini," jawab Bennedict.

"Banyak warga desa yang terluka, dan kini semua mengungsi di gereja," sebut lelaki yang datang bersama Bennedict, masih cukup muda - mungkin seumuran dengan Muraco dan Orynn. "Ah, maaf. Saya anak Kepala Desa. Saya Laurent Spring." Ia membungkuk pada kami.

"Apa kalian sudah tahu masalahnya?" tanya Bennedict lagi.

Muraco mengangguk. "Tampaknya, tetangga kita ingin memonopoli sumber air. Kami melihat dam di hulu, dan sepertinya mereka bertarung dengan monster sambil membuatnya. Saat ini, Carlos dan Urtzi, juga satu ksatria, pergi ke Theletray untuk menyelidiki. Sementara, kami akan di sini dan membantu sebisa kami," jelasnya.

"Sudah kuduga itu ulah mereka!" seru Laurent. "Sejak awal, aku tidak setuju dengan perdamaian apalah-itu." Ia membalikkan badannya, lantas pergi dengan sangat kekanakkan.

"Maafkan anak saya. Kami kehilangan sosok tersayang kami karena kekeringan ini," jelas Bennedict. "Ah, mari. Saya antarkan ke gereja."

Dari alun-alun, kami pergi ke gereja yang terletak sedikit jauh. Tapi, semakin kami dekat dengan gereja, semakin buruk pemandangannya. Tampaknya, para monster tahu betul di mana lokasi manusia yang bisa mereka mangsa. Banyak bangunan yang hancur. Banyak bangkak dan jejak darah, bahkan tulang belulang. Anehnya, itu tak terlihat menjijikkan di mataku.

Tapi, pemandangan di dalam gereja jauh lebih buruk lagi. Banyak sekali orang yang terluka di ruangan lainnya, banyak anak-anak yang tampak ketakutan di ruangan lain, atau para ibu-ibu yang kelelahan merawat keluarga mereka yang terluka. Bukan hanya para biarawati, tapi petugas kesehatan sudah tampak kelelahan karena merawat orang-orang yang terluka dengan persediaan yang ala kadarnya.

"Kami sudah kirimkan kabar ke kekaisaran, semoga bantuan dapat datang lebih cepat," kata Muraco. "Dan, tanpa hambatan," tambahnya.

"Drow sempat menyerang kami saat kami turun dari Axin ke Riva al Lago. Mereka tahu kami akan bergerak," sahut Orynn.

Bennedict mengangguk. "Kami berterima kasih dengan segala bantuan kalian." Ia tersenyum, tapi ia terlihat menyedihkan. "Buat diri kalian nyaman. Kami akan siapkan makan -"

"Jangan melayani kami seperti orang asing," ucapku spontan. Hal itu membuat diriku dipandang aneh oleh Muraco, Orynn, dan Winter. "Kami datang bukan untuk menyusahkan kalian sampai kalian harus melayani kami. Kalian saja sudah kesusahan. Akan jadi tidak tahu diri jika kami menambah beban kalian," jelasku.

Bennedict tampak terkejut dengan ucapanku. Aku tahu itu aneh, karena orang-orang berstatus tinggi akan tetap mendapatkan pelayanan VIP di tengah krisis. "Nona terlalu kecil untuk menjadi ksatria," ungkapnya, tapi aku tak mendengar maksud lain. "Tapi, sudah seharusnya kami melakukan hal itu pada kalian yang terhormat."

Aku menggeleng. "Kalian urus saja untuk perut kalian. Kami akan urus perut kami sendiri," tegasku. "Tuan, aku akan pergi berkeliling -"

"Aku akan menemanimu," sahut Orynn.

Aku mengangguk, lantas berbalik dan pergi dari sana secepat mungkin. Aku muak dengan pemandangan ini. Aku benci karena tidak bisa melakukan apa-apa, tapi malah mereka mau melayani kami dengan spesial. Mungkin kata-kataku tadi terdengar kasar, tapi aku tak peduli. Budaya seperti itu harus diubah.

Sesampainya di luar gereja, aku langsung membungkuk dengan sebelah tangan berpegangan pada dinding gereja. Dadaku sesak, terasa nyeri, dan kepalaku pun mulai pusing. Padahal, sampai sebelumnya aku merasa baik-baik saja. Sepertinya memang sudah batasku. Baru kali ini aku tidak tidur semalaman.

"Aya?"

"Sakit sekali, dan menyesakkan," keluhku.

"Ayo, duduklah." Ia membantuku untuk duduk di sana, dan ia setengah berlutut di sebelahku. "Kamu belum makan apapun dan belum meminum obatmu. Tentu saja kamu akan seperti ini setelah perjalanan tanpa istirahat. Anak kecil sepertimu seharusnya tidur dengan baik "

Aku mengeluarkan obag dari tabib istana dan meminumnya, bahkan meski aku belum makan apapun. "Aku tidak akan bisa makan kalau wrga di sini masih kesulitan," ungkapku.

"Kamu akan mati jika bekerja dengan kondisi seperti ini. Setidaknya, kamu harus makan sesuatu," kata Orynn.

Aku tak menanggapinya. Aku menoleh ke arah aliran sungai yang cukup jauh, tapi masih terlihat. Di sana adalah lokasi para warga menbuat tambak untuk beternak ikan air tawar. Kering, suram, dan menyedihkan. Aku memang tidak paham peternakan dan pertanian, tapi siapapun akan tahu bahwa desa ini akan segera mati jika air sungai tetap tidak mengalir deras.

"Kiiiiik!!"

Aku mendongak, menatap Jawa yang sejak tadi pergi berjalan-jalan. Ia datang bersama elang milik Damian. Jawa mendarat di atas kepalaku, sedangkan elang milik Damian mendarat di lenganku. Tak kusangka, elang ini lebih berat dari Jawa. Wajahnya tampak keren dilihat dari dekat, begitu berwibawa. Berbeda dengan Jawa yang lembut dan manis.

Orynn mengambil surat yang digulung kecil di kaki kanan elang itu. Ia membukanya, lalu membacakannya. "Theletray sudah rata dengan tanah. Kerajaan Drow membumihanguskannya. Kami bergerak ke Kerajaan Drow. Kirimkan pesan ke Kaisar Beltzaar," sebutnya.

Aku menghela napas kasar. "Kalau tidak ada yang namanya perdamaian, sudah kuhancurkan dam secara sepihak."

"Oh, aku kira kamu akan melakukan cara itu."

"Tidak. Itu akan tidak adil, dan mereka akan merendahkanku nanti. Dan, jika kita lakukan itu, perang akan terjadi lagi. Aku tidak mau itu," ungkapku.

Orynn menaruh tangannya di atas kepalaku. "Aku setuju."