Chapter 8 - Delapan

Sejak aku sadar namun belum boleh beranjak daei kasur, Celine dan keempat Agitur membawakan banyak buku yang bisa kubaca untuk mempelajari kehidupan di dunia ini, termasuk di dalamnya Dewa dan Dewi. Mereka disebit sebagai Anak Tuhan yang akan dipilih untuk membantu Historian menjalani perannya untuk dunia ini, dan yang mengejutkan adalah Dewa dan Dewi itu bukan hanya dari mitologi Yunani, tapi juga lainnya. Jadi, bisa dibilang, Dewa dan Dewi itu jumlahnya banyak.

Dewi Athena, katanya aku mungkin mendapatkan kekuatan Dewi Perang itu. Dewi yang katanya menyelamatkan para pahlawan, melambangkan kebijaksanaan dan kerajinan tangan. Ia memang ahli strategi dan menggunakan senjata, tapi ia membenci peperangan dan menyukai cara yang damai dengan kebijaksanaan. Ia hanya akan berperang jika memang itu caranya. Dan, burung hantu adalah simbol utamanya, lalu diikuti laba-laba dan ular, dan simbol tumbuhan untuknya adalah zaitun.

Setelah lima hari berbaring saja sejak sadarkan diri, aku pun kembali memulai aktivitasku. Aku belajar dari guru yang dikirimkan Kaisar untuk mempelajari sejarah, geografis, etiket, dan lainnya. Aku juga mulai melatih tubuhku agar cepat beradaptasi dengan senjata, terutama pedang, panah, dan tombak. Meski begitu, mereka tetap membatasi gerakanku. Padahal, lukaku sudah menutup sempurna, tidak ada rasa sakit, dan tubuhku cukup baik.

Total, sebulan aku berada di dunia ini. Sungguh tak terasa, sungguh tak terhitung. Waktu berlalu begitu cepat. Aku bahkan hampir melupakan duniaku berasal. Dan, dua hari lagi adalah Penobatan Kaisar Arthur, dan di sana jugalah aku akan diumumkan secara resmi pada dunia sebagai Historian.

"Riva al Lago dan Theletray," gumamku. Aku baru selesak mengikuti kelas geografi, dan saat ini aku sedang berjalan menuju perpustakaan untuk lanjut belajar. "Perbatasan wilayah Equattoria dan Beltzaar. Ada sungai besar yang mengalir dari Pegunungan Utara dan bercabang ke kedua daerah itu, tapi aliran air di Riva al Lago akhir-akhir ini menurun. Berarti -"

"Aya, awas!"

Buk!

Terlambat aku merespon peringatan yang diserukan oleh Carlos. Aku terlanjut menabrak sesuatu yang keras. Tubuhku bahkan sampai terdorong dan jatuh ke belakang. Aku terlalu foku membaca, jadi tidak perhatian pada jalan. Kebiasaan burukku.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Carlos, seraya membantuki berdiri.

Aku mengangguk. "Iya. Kebiasaan burukku kalau sudah fokus pada buku yang kubaca," ungkapku, lantas terkekeh-kekeh malu. "Jadi, ini apa? Kenapa ada di lorong seperti ini?" Aku menatap sesuatu yang tertutup kain, sesuatu yang sepertinya berbentuk setengah lingkaran yang tinggi. "Harusnya taruh sedikit keluar."

"Itu mau dibawa ke kamarmu."

"Hah?" Aku menatapnya bingung.

Carlos tersenyum, lalu ia menarik kain penutupnya dan memperlihatkan sebuah sangkar besar yang indah dengan seekor burung hantu di dalam sebuah batang pohon yang berlubang. "Dia burung hantu yang selalu terbang ke arah kamarmu, lalu bertengger di pohon depan kamarmu. Sepertinya dia ingin kamu memilikinya. Secara, dia simbol Dewi Athena."

Aku mendekati sangkar besar itu dan menyentuh salah satu jerujinya. "Hei," panggilku. Bukan pada Carlos, tapi pada burung hantu di dalam sana yang tengah memejamkan mata. Tapi, ketika kupanggil, ia membuka matanya yang menatap tajam dari kegelapan. "Keluarlah. Kamu tidak perlu dikurung jika kamu memang ingin aku memeliharamu," kataku spontan.

Aku membuka pintu sangkar yang setinggi tubuhku, lantas aku masuk dan mengangkat tangan kananku tinggi, meski tingginya tak sampai ke lubang pohon tempat burung hantu itu bertengger.

"Aya, hati-hati. Dia masih -"

Kepak! Kepak!

Burung hantu yang cantik. Bulu putih di dada seputih salju, dan bulu di punggungnya berwarna cokelat seperti emas. Wajahnya yang putih dengan kepala keemasan itu membentuk hati. Matanya bulat hitam dan cantik, paruhnya menekuk kebawa runcing dan mungil. Ketika ia keluar, ternyata ia memiliki tubuh yang tak besar, hanya 25 sampai 30 sentimeter saja. Dan, saat ia membentangkan sayapnya, sayap itu panjang sekali dan sangat indah.

Tep!

Dan, dia bertengger natural di lenganku. Kini, kami saling bertatapan. "Oke, karena kamu mirip dengan serak jawa, aku namai kamu Jawa. Agar aku selalu ingat asalku," kataku padanya, lalu aku menunduk sedikit ke arahnya. Ia pun menunduk dan menyentuhkan kepalanya pada kepalaku. Itu membuatku terkekeh-kekeh.

"Sepertinya, itu memang untukmu," gumam Carlos terdengar keheranan. "Dia begitu sulit dipegang dan ditangkap. Banyak yang terluka karena dia melawan. Tapi, dia bisa begitu menurut padamu pada pertemuan pertama kalian. Memang menakjubkan."

Aku keluar dari kandang dengan membiarkan Jawa bertengger di pundakku. "Aku disukai banyak hewan sejak dulu," sebutku bangga. "Terima kasih, Tuan. Kalai begitu -" aku merendahkan tubuhku sambil mengangkat gaunku sedikti -"aku pamit. Aku mau ke perpustakaan."

"Eh, tidak, tidak!" seru Carlos. Ia langsung menangkap tanganku dan menghentikanku.

"Kenapa?"

"Kamu harus mencoba pakaian yang akan kamu pakai di acara nanti. Malam ini kita akan langsung berangkat ke Kekaisaran Equattoria."

"Eh? Bukankah besok siang?" tanyaku. Sebab, itu yang aku dengar dari Muraco pagi tadi.

"Kita mengganti rencananya," kata Carlos. "Kita harus pergi ke Riva al Lago lebih dulu untuk menyelesaikan permasalahan di sana. Penobatan akan diundur sampai masalah di sana selesai."

Aku terdiam sejenak. "Oh, um... Baiklah." Aku tidak tahu harus berkomentar apa lagi. Itu sudah menjadi pekerjaanku sebagai Historian - calon.

"Kamu tidak bertanya?" tanya Carlos bingung.

Aku menggeleng. "Tadi aku habis berdiskusi tentang itu, jadi aku tahu apa masalah di sana," jawabku. "Aku punya rencana. Kita pergi ke hulu sungai yang mengalir dari Pegunungan Utara sampai ke percabangannya. Aku yakin, di sana kita akan menemukan jawabannya."

Carlos menatapku bingung. "Um... Oke, akan aku sampaikan pada yang lain."

"Kiiiik!!" seru Jawa.

Carlos tersentak kaget. Ia sepertinya agak takut dengan Jawa. "Kalau begitu, kamu kembalilah ke kamar dan coba bajumu. Setelah makan malam, kita akan langsung berangkat." Ia menepuk pundakku agak ragu sambil menatap Jawa, lalu ia berbalik dan pergi.

"Sepertinya Tuan Carlo takut padamu, Jawa," kataku pada Jawa, lalu aku terkekeh-kekeh sendiri. Dan, aku pun meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kamarku yang berlawanan arah dengan tujuanku semula.

Saat sampai di kamar, aku melihat Celine dan orang-orang dari toko pakaian sudah siap di kamarku. Mereka tampak sibuk menyiapkan pakaian yang akan aku kenakan di hari Penobatan Kaisar Arthur dan peresmiannya diriku sebagai Historian. Aku sudah lihat desain-nya, dan melihat hasilnya membuatku takjub bukan main.

"Astagah!" seru Celine. "Nona, burung hantu itu belum jinak. Hati-hati!"

"Kiiik!!"

Celine tersentak dan agak menjauh. "Lihat, dia terdengar marah."

Aku tertawa. "Tidak, dia sudah jinak padaku. Namanha Jawa," ungkapku sedikit sombong. "Jawa, kamu tunggu dulu, ya. Terserah mau di mana. Nanti, kita main lagi. Oke?"

"Kiiik!!" Jawa melompat dari bahuku setelah menyahuti ucapanku. Ia terbang dengan sayap selebar hampir satu meter itu. Ia sempat mengelilingi kamar ini satu kali, lalu ia berhenti dengan bertengger di atas pilar kelambu kasurku.

"Menakjubkan!" seru Daisy, desainer langganan kami. Ia menghampiriku, lalu menarik tubuhku. "Aku menyiapkanmu gaun yang elegan dan akan sangat cocok dengan Jawa!" Ia menarik kain penutup manekin, dan aku tercengang. "Gaun berwarna putih, cokelat, dan emas ini akan sangat cocok untuk kulit matangmu, juga bulu Jawa. Kalian akan mencuri perhatian!" Ia tertawa dengan sangat bangga. "Tapi - astagah!"

"A-Apa?" tanyaku bingung.

"Bagaimana bisa kamu menjadi semakin kecil?!" seru Daisy setengah marah dan panik.

"Hah?"