Sesaat, aku merasa seperti terombang-ambing tqk jelas di kedalaman laut yang gelap, tak tahu mengambang, mengapung, atah tenggelam, karena sensasinya sulit dideskripsikan. Lalu, seperti ada yang masuk ke kedalaman laut dan menarik tubuhku ke atas. Sebuah cahaya matahari menyilaukan membuat mataku lebih rapat. Dan, saat wajahku menyentuh permukaan, aku membuka mata dan bernapas.
Seperti habis bangun dari mimpi buruk. Aku membuka mata dan bernapas cepat. Aku langsung mengedarkan pandanganku ke sana-sini. Untunglah, hal itu berhasil menenangkanku sehingga napasku lebih tenang sekarang. Perasaanku juga lebih tenang. Ini adalah kamar di Istana Agitur yang mereka siapkan untukku.
Meski masih lemas, tapi tubuhku terasa pegal. Aku pun menarik tubuhku untuk bangkit. "Akh!" Aku berhenti bergerak saat merasakan rasa menusuk yang menyakitkan di perutku. Melawan rasa sakit itu, aku tetap bangkit untuk duduk. Aku menarik pakaianku, melihat perban dengan sedikit noda darah di tengahnya menutupi luka di perut kanan atas. "Luka?"
Cklek!
Selagi aku bingung dengan luka yang entah kapan aku dapatkan ini, pintu kamar terbuka dan membuangku mendongak. Seorang pelayan perempuan dengan baskom dan handuk kecil membeku di ambang pintu ketika mata kami bertemu. "Ah!" serunya, lantas ia berbalik cepat namun tak menghilang. "Tolong kabarkan Tuan Agitur, Nona Historian sudah siuman!" katanya, entah pada siapa. Lalu, ia kembali dan bergegas menghampiriku tergesa-gesa. "Nona. Nona kapan bangun? Seharusnya Nona masih berbaring." Ia langsung mendorong tubuhku pelan untuk kembali berbaring. Setiap pergerakan, luka itu terasa sakit seperti habis operasi usus buntu.
"Kamu siapa? Rasanya, aku tidak melihatmu di jajaran pelayan yang pertama mrlayaniku," ungkapku.
"Oh, maaf, Nona," ungkapnya. Ia menjauh satu langkah, lalu membungkuk sambil menaruh tangannya di dada. "Saya Celine, pelayan pribadi untuk Nona."
"Apa yang terjadi pada pelayan sebelumnya?"
"Mereka dihukum, Nona," jawabnya.
"Hukum?"
Perempuan yang tampak awal 20 itu mengangguk. "Mereka bermaksud untuk mencuri Historia dan mereka bekerja bersama Drow untuk mencelakak Nona," jelasnya.
Aku cukup terkejut, sebab aku tak menyangka mereka bergerak di hari pertamaku. Mereka ajaib sekali. "Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanyaku. Yah, mengetahui nasib pelayan-pelayan itu tidaklah penting sekarang. Aku tak punya hubungan apapun dengan mereka, jadi aku tak merasa kasihan pada mereka.
"Seminggu, Nona."
"Oh, wow!" Aku mengangkat tanganku, mendapati tulangku jauh lebih menonjol dari sebelumnya.
"Nona kehabisan banyak sekali darah. Nona juga mendapatkan komplikasi pada jantung dan organ hati Nona. Tuan Tabib sudah mencoba segala cara, namun pengobatan yang diberikan memang memberi efek pada Nona untuk tidur selama seminggu," jelasnya. "Saya yakin Nona lapar. Apakah Nona ingin makan?"
Aku mengangguk, meski aku tak yakin bahwa aku merasa lapar. "Ya, boleh saja."
"Baik, kalau begitu, akan saya buatkan." Ia membungkuk dalam, lalu melangkah menuju pintu kamar.
Brak!!
Untunglah Celine masih jauh dari pintu. Tiba-tiba saja pintu kamar dibuka dengan sangat kuat hingga membentur dinding. Heboh bukan main, bahkan Celine sampai melompat kecil saking terkejutnya. Saat tahu siapa yang datang, Celine terlihat gelagapan untuk memberi salam, lantas ia pergi tergesa-gesa sambil mengelus-elus dadanya. Aku yakin, ia amat sangat terkejut sekaligus bersyukur tubuhnya tidak remuk dihantam pintu kamar yang besar.
"Aya!" seru keempat Agitur sambil berhambur masuk. Mereka langsung menempatkan diri di kedua sisi kasur; Orynn dan Muraco di kiri, Urtzi dan Carlos dickanan. "Kamu tidak apa-apa?", "Apa yang kamu rasakan?", "Ada keluhan pusing? Mual? Nyeri?" Dan, masih banyak pertanyaan lain yang mereka lontarkan bertubi-tubi.
"Tunggu, tunggu!" seruku menghentikan mulut mereka berkoar-koar. "Kalian seperti ibu-ibu yang panik melihag anaknya terluka karena tergores pisau," ujarku sarkas. "Aku sudah tidak apa-apa. Lukanya masih agak sakit. Tapi, sejauh ini aku merasa baik setelah tidur seminggu."
Keempat Agitur menghela napas dengan kompak. Mereka terlihat lebih penuh lelucon sekarang dibanding saat pertama. Pertama kali kami bertemu, mereka kaku, tegang, dan dingin. Tapi, sekarang mereka seperti sosok keluarga yang mengkhawatirkanku. Mereka masih cukup muda, sepertinya belum sampai 25 tahun. Jadi, aku anggap mereka kakak yang mencemaskan adik mereka yang paling bungsu. Mereka benar-benar penuh kejutan.
"Apa yang terjadi selama seminggu ini? Kalian berubah, dan itu membuatku bingung," ungkapku jujur, meski mungkin itu akan membuat suasana menjadi canggung.
"Maaf." Orynn-lah yang pertama berbicara. Aku juga bisa melihat Muraco menunjukkan ekspresi serupa di sebelahnya. "Kami sudah sangat keterlaluan mengujimu."
"Menguji?" ulangku, dan mereka berdua mengangguk. "Apa Drow itu termasuk?" tanyaku.
"Tidak! Itu di luar perkiraan kami," jawab Muraco cepat. "Pengkhianatan para pelayan juga tidak termasuk di dalamnya. Padahal, kami sudah berusaha untuk menutupi tersebarnya kabar tentangmu sebelum penobatanmu. Kami minta maaf." Ia membungkuk sambil menaruh tangannya di dada, pun dengan Orynn, Urtzi, dan Carlos. Mereka tampak sungguh-sungguh.
"Pfft!" Aku tertawa ha-ha-ha dengan cukup puas, meski aku tak bisa melakukannya dengan lepas karena perutku masih sakit. "Ya, ya. Oke, aku maafkan. Aku memang serius membenci kalian berdua, Tuan Orynn dan Tuan Muraco. Tapi, semenjak kejadian yang lalu, aku tahu kalian tidak membenciku. Kalian peduli dan mengkhawwtirkanku," jelasku. Aku dapat melihat Orynn dan Muraco tampak terkejut. "Secara, Historian saat ini adalah anak perempuan rapuh dan penyakitan. Tanggung jawabnya besar, dan kalian tak yakin aku bisa melakukannya."
"Tidak, bukan itu -"
Aku mengangkat tangan kiriku ke hadapan wajah Muraco, membuatnya berhenti bicara. "Aku paham, Tuan," ungkapku. Aku pun tersenyum menatap mereka berdua. "Meskipun Agitur ada untuk Historian, tapi aku tidak akan menganggap kalian berada di tingkat yang berbeda. Karena saat ini, Historian membutuhkan Agitur bukan untuk melindunginya, tapi untuk bekerja sama demi dunia ini."
"Kami akan tetap melindungimu," tegas Carlos. "Bagaimana bisa kami membiarkanmu memegang pedang yang hampir sama besarnya dengan tubuhmu? Melihatmu berpedang memang amatir tapi keren. Tapi, itu menggelikan sekali karena ukuran kalian sama." Ia tertawa terbahak-bahak.
Aku tertawa mendengar ledekannya, meski Urtzi menyikutnya untuk tidak bercanda denganku. "Kalian boleh santai denganku. Aku tidak kaku, aku suka kesederhanaan. Kalan boleh meledekku, aku tidak akan marah," jawabku. "Tapi, aku memang amatir dalam berpedang. Bahkan, aku tidak pernah belajar bela diri."
"Hah?!" seru keempat Agitur.
Aku tertawa melihat mereka begitu terkejut. "Mana mungkin anak lemah dan penyakitan sepertiku bisa melakukannya? Aku bahkan tidak bisa bernapas setelah menaiki anak tangga ke lantai tiga," sebjtku, lalu aku terkekeh-kekeh. "Tapi, anehnya, di sini aku merasa jauh lebih sehat. Aku tidak merasa sakit seperti saat di duniaku. Karena itu, kemarin aku meminta kalian memanggil tabib untuk memastikannya."
"Aya," panggil Urtzi. Saat itu, aku merasa suasana agak berat. "Tabib mengatakan bahwa jantung kamu memang tidak normal. Itu adalah penyakit bom waktu. Namun, yang membuatmu lebih kuat dibanding orang yang menderita penyakit sama adalah kekuatanmu sebagai Historian."
"Oh? Historian punya kekuatan apa?" tanyaku.
"Setiap Historian memiliki kekuatan yang berbeda-beda, yaitu kekuatan yang diberkati oleh dewa dan dewi," kata Muraco. "Ethaniel Janko memiliki kekuatan untuk bisa melihat kebenaran dalam diri manusia atau makhluk kegelapan, ia mendapatkannya dari Dewa Kebenaran. Cato Dominimck memiliki kekuatan pengetahuan, ia mendapatkannya dari Dewa Pengetahuan."
"Lalu, apa punyaku?" tanyaku.
"Dewi Perang."
Aku tercengang. "Wow!"