Chapter 5 - Lima

Tidak seperti yang aku bayangkan tentang Kaisar Equattoria dan permaisurinya. Arthur Amwolf ternyata masih muda, masih 28 tahun umurnya. Permaisurinya, Carolina, bahkan masih 20 tahun. Mereka baru menikah tahun lalu dan belum kunjung dikaruniai calon penerus. Memang berbeda kehidupan di duniaku dan dunia ini. Umur 17 tahun bahkan sudah dijodohkan. Aku harap, aku tak diperlakukan demikian, secara aku sudah resmi dinyatakan sebagai Historian oleh Kaisar Arthur. Itu artinya, aku sudah menjadi warga dunia ini, bukan?

Bagaimana cara pembuktiannya? Ternyata mudah dan sangat tak terduga. Ethaniel Janko maupun Cato Dominick tidak menjelaskannya di jurnal mereka, tapi saat aku melakukannya, ternyata tak menyakitkan, bahkan hanya beberapa detik saja.

Kaisar Arthur menyentuh Kalung Netral, dan hanya ia yang boleh dan bisa melakukannya untuk melakukan pembuktian. Ia menyinari batu hitam kalung itu di atas api lilin, lalu muncul guratan-guratan emas yang bergerak di dalamnya, dan namaku muncul di sana. Aku terkejut dan tercengang. Aku tak menyangka ada hal semajik ini. Dan, tentu saja, namaku yang muncul di Historia yang jelas bukan tulisan tanganku juga sebuah sihir, bukan?

"Penobatan itu akan dilaksanakan bulan depan," kata Kaisar Arthur. Kami sudah selesai makan malam, kami sedang menikmati teh dan camilan ringan di ruangan yang berbeda. "Karena itu, pergunakanlah waktu untuk belajar tentang dunai ini, baik kebudayaan, etika, dan lainnya. Akan ada banyak tamu undangan yang datang untuk menyambutmu, jadi setidaknya kamu dapat berbincang-bincang dengan mereka."

Aku mengangguk. "Baik, Yang Mulia."

"Jadi, umurmu berapa, Nona Historian?" tanya Permaisuri Carolina.

Aku tersenyum lebar. "Tolong panggil nama saja. Saya belum terbiasa," ungkapku, dan dibalas senyuman oleh wanita anggun itu. "Saya hampir 15 tahun. Ah, benar!" seruku pelan. "Bagaimana penanggalan di sini? Aku harus mulai belajar dari sana untuk mengisi Historia."

"Satu tahun 12 bulan, satu bulan 30-31 hari, kecuali Bulan 2, ia memiliki 28 hari, dan 29 hari setiap empat tahun," jawab Permaisuri Carolina. "Pada tanggal 29 Bulan 2, biasanya akan ada festival besar-besaran di Equattoria, dan kebetulan itu akan tiba di tahun depan," jelasnya dengan antusias.

"Wah, saya menantikan itu," tanggapku. "Lalu, bagaimana dengan tahun?"

"Saat ini adalah Tahun 456," jawab Kaisar Arthur. "Kamu bisa pelajari astronomi untuk hal seperti itu. Jika kamu butuh guru, saya bisa menyiapkannya untukmu."

Aku menganggukkan kepala. "Terima kasih."

"Jadi," sahut Permaisuri Carolina tiba-tiba. "Siapa di antara keempat Tuan Agitur ini yang kamu suka, hm? Mereka bisa menjadi calonmu, atau pasangan untuk penobatan bulan depan. Atau -"

Aku menggeleng. "Ah, maaf, Yang Mulia. Tapi, saya belum ada pikiran untuk hal itu. Saya masih harus beradaptasi dengan dunia ini. Tapi, terima kasih untuk perhatiannya." Aku membungkuk sambil menaruh tangan kanan di dada kiri. Dan, tiba-tiba saja aku teringat sesuatu.

Hampir 2 hari aku tiba di sini, aku tak merasakan apapun pada jantungku. Well, jantung itu masih berdetak tidak normal. Tapi, anehnya aku tak pernah mengalami serangan, bahkan sekedar sesak napas pun tidak. Padahal, saat di hutan aku kelelahan berjalan, lalu menempuh perjalanan dengan berkuda, dan langsung melakukan aktivitas ini begitu tiba di Istana Agitur. Dan, aku merasa lebih bugar.

"Kamu memikirkan apa, Ayana?" tanya Urtzi Gerhard. Ia adalah Agitur Caeli yang lembut dan baik hati.

Aku tersadar dari lamunanku. "Ah, tidak," jawabku. "Um... Apakah aku boleh bertemu dengan tabib atau ahli kesehatan sejenisnya? Ada sesuatu yang ingin aku pastikan."

"Apa kamu sedang sakit?" tanya Carlos Lamond. Dia adalah Agitur Terram, laki-laki berkulit gelap seperti orang Afrika, berambut pelontos, dan sikapnya jauh lebih bar-bar dan terbuka, namun jauh lebih baik dibanding Agitur Ignis Muraco Barend dan Agitur Aqua Orynn van Rozen.

Aku menatap enam orang dewasa di meja ini bergantian. "Ah, oh. Um..." Aku tak terbiasa mengungkapkan kelemahanku. Bukan karena malu, tapi rasanya akan menjadi canggung jika orang-orang berubah karena mengasihaniku. "Sebenarnya, di duniaku, aku bukan orang yang sehat. Fisikku lemah dan imunitasku tidak kuat. Tapi, semenjak tiba di dunia ini, aku merasa baik-baik saja. Karena itu, aku ingin memastikannya," jelasku.

"Oh, tidak aneh kamu terlihat begitu kecil dan kurus. Ternyata benar kamu lemah," tukas Orynn dengan sangat dingin.

Kalau dia bukan orang yang lebih tua, aku sudah melemparnya dengan piring besar bersama kue-kue kering di atasnya. "Terima kasih atas kejujurannya," balasku sarkastik. "Yang Mulia Kaisar," sebutku. Aku pun menatapnya dengan mantap. "Apakah ada kemungkinan saya bisa tinggal tidak satu atap dengan Tuan Agitur?"

"Jangan dengarkan ucapan Orynn. Dia -"

Aku menaruh telunjukku di depan bibir Urtzi. Ia langsung berhenti bicara. "Itu lebih baik. Walaupun kita harus bekerja bersama-sama untuk dunia ini, tapi kalau aku harus tinggal di sini dengam Tuan Orynn atau Tuan Muraco, bisa-bisa kami tidak profesional saat bekerja nantinya. Aku tidak bisa."

"Tapi -"

"Oh, jadi ini karena saya?" tanya Orynn memotong ucapan Urtzi.

"Dan saya?" sahut Muraco.

Aku menatap mereka berdua bergantian. Aku mencoba tak termakan amarahku. "Maaf, Tuan. Tapi, saya lebih suka jujur dan terbuka daripada memendamnya. Saya akan mencoba menyukai kalian agar dapat bekerja bersama kalian dengan profesional. Tapi, saya akan mati dalam seminggu jika berada di satu atap dengan kalian," tegasku.

Orynn dan Muraco saling bertatapan, lalu mereka menatapku kompak. "Kamu akan tinggal di mana? Kamu bahkan tidak punya siapapun yang kamu kenal di sini," kata Muraco menantang.

Ucapannya benar, tapi aku tidak akan menyerah. "Di mana pun itu. Gubuk, kandang kuda, terserah. Itu lebih baik untuk kenyamanan bersama. Dan, perlu Tuan tahu, aku tidak pernah meminta untuk menjadi Historian dan berpindah ke dunia asing," jawabku. Aku menoleh, menatap Kasiar Arthur dan Permaisuri Carolina. Mereka tampak biasa saja, seakan perdebatan seperti ini bukan hal yang mengejutkan. "Maaf, Yang Mulia. Saya pamit undur diri lebih dulu. Saya butuh udara segar." Aku berdiri, lalu membungkuk pada mereka, kemudian pergi dari sana.

"Aya!" seru Urtzi.

Pintu ruangan dibuka oleh pengawal yang berjaga di sana, lalu salah satunya keluar bersamaku dan berjalan di belakangku. Aku sempat bingung, tapi karena ia tampak seperti tak mau mengatakan apa-apa, aku pun kembali menghadap depan dan mengabaikannya.

"Argh! Rese!" seruku kesal. Aku berhenti berjalan tiba-tiba dan membalikkan tubuhku. Ksatria itu berhenti tiba-tiba karenaku. "Tolong tunjukkan jalan. Aku butuh tempat yang tenang seperti taman," pintaku.

"Baik."

Jadi, aku mengikuti ksatria itu dengan berjalan sedikit di belakangnya. Ia membawaku ke sisi yang berlawanan dari jalan yang kuambil tadi, lalu membawaku menurunk tangga, kemudian berjalan ke arah belakang, dan kami keluar melalui pintu di sana. Hamparan taman yang luas langsung memanjakan mata. Meski malam hari, tapi semuanya tampak indah. Saat udara menerpa, meski dingin, tapi aku merasa disegarkan.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. Aku melakukannya tiga kali, lalu aku menurunj tangga dan membiarkan sepatu berhak rendahku ini menyentuh jalan setapak taman. Aku tak peduli ksatria itu mengikutiku atau tidak. Tersesat pun aku tak peduli. Bahkan, kalau aku bisa mencari jalan untuk kembali ke duniaku, itu lebih baik.

Kalau ini wilayahku, aku sudah berteriak keras untuk mengeluarkan uneg-uneg-ku.

"Oh, ternyata benar."

Aku memutar badanku ke arah suara. Tapi, belum sempat aku melihat siapa yang bicara, ksatria tadi langsung berdiri di depanku dengan pedang yang sudah ia keluarkan dari sarungnya. "Tetap di belakang saya, Nona," katanya. "Apa yang Bangsa Drow lakukan di sini? Bagaimana caramu masuk?" tanyanya pada perempuan di sana.

"Drow?" batinku. Aku memiringkan tubuhku ke kanan untuk mengintip. Itu perempuan berkulit hitam, mata agak kuning, rambut dikepang kecil-kecil, dan pakaiannya tampak seperti petarung. "Mau apa?" tanyaku padanya.

"Historia." Dan, ia tersenyum lebar sambil mengangkat tangan kanannya. Lalu, tiba-tiba saja terdengar suara-suara meramaian. "Kami datang untuk menjemputmu, Nona Historian."

Ya, kami. Drow itu tidak sendirian. Ada sembilan lainnya yang juga tampak seperti petarung seperti dirinya, bahkan mereka bersenjata.

"Oh, sh*t."