Pada masa sebelum Ethaniel Janko, mayoritas manusia belum mengenal baca-tulis, sehingga kisah-kisah Sang Sejarawan - atau Historian - hanya diberikan dari mulut ke mulut. Tapi, semenjak Ethaniel Janko, Historian menuliskan jurnal mereka tentang pekerjaan mereka, masalah dunia ini, dan lainnya. Jadi, aku benar-benar terbantu sekali oleh Ethaniel Janko dan Cato Dominick.
Perjalanan dari perbatasan Riva al Lago dan Thaletray ke Istana Agitur membutuhkan waktu hanya setengah hari. Setelah menemukanku, kami bermalam di hutan. Dan, kami melanjutkan perjalanan saat matahari sudah terbit dan kami sudah sarapan. Dan, saat sebelum kembali melanjutkan perjalanan, aku menyempatkan diri untuk menyelesaikan Historia dari Cato Dominck. Kini, aku cukup tahu banyak hal tentang Dunia Bayangan ini.
Begitu tiba di Istana Agitur, banyak pelayan laki-laki dan pelayan perempuan yang berbaris menyambut kami. Hanya satu perintah Agitur Ignis, lima pelayan perempuan membawaku pergi ke lantai dua rumah melalui tangga besar utama di balik pintu masuk. Tapi, tidak berhenti sampai di situ, ternyata. Kami berjalan di sepanjang lorong sebelah kiri, lalu kami pergi ke lantai tiga dari tangga yang berada di tengah-tengah lorong. Kemudian, kami ke kanan dan berhenti di depan pintu berwarna hitam legam. Seorang pelayan membukanya dan membawaku masuk.
Itu sebuah kamar yang luas sekali, seperti kamarku ditambah kamar Bunda dan ruang tengah. Luas sekali sampai aku bingung dengan kegunaan kamar yang luas ini. Kasurnya pun king-size dengan empat pilar di sisi-sisinya yang menyanggah tirai beludru yang tampak mahal. Ada meja rias, meja belajar/kerja, sofa dan meja kecilnya, dan di sudut terjauh terdapat dinding lipat yang sepertinya dipakai untuk berganti pakaian dan membasuh wajah.
"Sebelah sini." Seorang pelayan menuntunku ke arah lemari pakaian yang amat besar di sana. Dua pelayan telah berdiri di kedua sisinya, lalu membukakan pintu lemari tersebut dengan kompak. Dan, yang kulihat membuatku tercengan. "Silakan dipilih. Malam ini Kaisar Equattoria dan Permaisuri Equattoria akan tiba."
Aku tentu tak bisa memilih. Semua terlalu bagus untukku, terlalu mewah. "Pilihkan yang menurut kalian cocok untukku."
"Baik."
Ternyata semudah itu. Aku tak perlu berpikir untuk memilih gaun. Aku pun tak pandai merias diri sejak awal.
"Kami sudah siapkan air hangat dan bunga. Mari." Kini, pelayan itu mengajakku kembali keluar kamar. "Ah, Anda bisa meninggalkan tas Anda di sini."
Aku menatap wajahnya yang hampir tak beremosi, lalu aku melihat ke arah yang lainnya. "Tidak, aku akan membawanya bersamaku. Meskipun kalian bekerja di Istana Agitur, aku belum mempercayai kalian untuk menjaga Historia," jawabku dengan yakin. "Aku tahu kalian tahu tentangku yang memiliki Historia."
Pelayan itu terdiam, keningnya sempat berkerut, bibirnya sempat terkatup rapat, dan rahangnya sempat mengeras. Ia seperti sedang menahan geram. "Baik." Ia membungkuk, lantas berbalik dan kembali memimpin jalan.
Tak jauh dari kamar tadi, terdapat kamar mandi yang hanya memiliki bathtub untuk berendam. Mereka membantuku melepas pakaianku. Aku awalnya ingin menolak, tapi aku membiarkan mereka. Mereka sempat terkejut saat melihat bekas luka sayatan panjang di tengah dadaku, dan luka panjang di perut kanan bawah dan yang sedikit ke atas. Tapi, mereka tak berkomentar.
Aku merendam tubuhku di dalam air hangat yang sangat menenangkan, menghilangkan kelelahanku sejak tiba di dunia ini. Mereka memasukkan susu dan taburan bunga. Aku pernah membaca, ini ramuan alami untuk pengharum tubuh. Lalu, mereka mulai memanjakanku dengan menggosok rambutku, menyikat tubuhku, membersihkan kuku-kuku kaki dan jariku, dan setelah selesai mereka mengeringkanku.
Kami kembali ke kamar setelah aku memakai pakaian sederhana sehabis mandi. Dan, tak kusangka bahwa pakaian yang mereka pilih adalah gaun berwarna biru gelap yang bagian roknya memiliki gradasi warna seperti malam menjelang pagi. Indah sekali, dan terlalu bagus untukku. Bukan hanya gaun, mereka juga menata rambutku dan merkas wajahku.
"Kalian punya kain panjang?" tanyaku, usai mereka meriasku dan sedang merapikan barang-barang, sementara aku duduk di tepi kasur untuk beristirahat dan menunggu jemputan.
"Ada," jawab seorang pelayan. "Untuk apa, Nona?"
"Kalian akan tahu," jawabku.
"Baik."
Pelayan itu pergi ke lemari pakaian, lalu membuka sebuah laci dan mengeluarkan kain gulung yang cukup tebal berwarna putih. Ia memberikannya padaku, dannternyata itu kain berbahan sutra tipis. Agak sayang menggunakannya, tapi tetap aku gunakan untuk menjadi sabuk yang membawa Historia di pinggangku. Aku tak perlu menenteng, tapi aku bisa menjaga Historia.
Tok. Tok.
Pelayan membukakan pintu kamar, lalu menyambut seorang lelaki berkulit sangat putih dengan rambut perak dan pakaian ksatria yang gagah dan menawan. Ia mengenakan kalung Agitur Caeli. Dengan senyum lebar dan ramah, ia menghampiriku dan mengulurkan tangan kanan sambil sedikit membungkuk.
"Saya datang untuk menyambut Nona Historian."
Aku menaruh tangan kananku di atas tangan kanannya. "Terima kasih, Tuan." Lalu, kami berjalan berdampingan dengan tangan kananku melingkar di lengan kirinya.
"Nona tetap membawa Historia?" tanyanya.
"Iya. Kalau saya tinggalkan, saya takut terjadi apa-apa. Saya tidak mempercayai pelayan yang kalian berikan. Ada satu yang tampak sebal saat saya memutuskan untuk membawa tas saya saat mandi," jelasku. "Maaf jika ini menyinggung Anda, Tuan. Saya hanya bersikap hati-hati."
Lelaki itu menggeleng dan tertawa. "Tidak, tidak. Itu sikap yang sangat wajar. Kewaspadaan membuatmu kuat," tanggapnya. "Kalau begitu, kami akan membiarkanmu memilih pelayanmu sendiri nanti."
Aku menatapnya bingung. "Tuan tidak mencurigai saya sebagai penipu?" tanyaku. Ia bersikap ramah sekali, sampai aku bingung. "Tuan Agitur Ignis dan Tuan Agitur Aqua bersikap dingin, sinis, dan bermulut pedas padaku. Tapi, Tuan bersikap sebaliknya."
"Oh, tentu saja. Tidak ada alasan untuk menyebutmu penipu. Di lihat dari sudut mana pun, kamu memang Historian, Nona," kata lelaki ini dengan sangat halus. "Pertama. Nona bisa memegang Historia dan tetap baik-baik saja. Kedua. Nona mengenakan Kalung Netral dan tetap baik-baik saja. Ketiga. Gereja Agung sudah mengeluarkan pesan pada Kaisar Equattoria dan Istana Agitur bahwa Historian dari dunia lain telah tiba sesuai wahyu Tuhan di hari kematian Tuan Cato Dominick," jelasnya.
"Kenapa Tuan Agitur Ignis dan Tuan Agitur Aqua begitu dingin padaku?"
"Oh, mereka memang seperti itu. Jangan terlalu diambil hati. Mereka juga bersikap waspada padamu," jelasnya.
Aku tak berkomentar, tak menanyakan apapun lagi sehubungan dengan topik itu. "Oh, iya. Apakah Kaisar Equattoria sekarang adalah Arthur Amwolf? Atau, apakah masih Alrez Amwolf?" tanyaku. Sebab, saat Cato Dominick, Kaisar Equattoria masih Alrez Amwolf, dan ia memiliki penerus bernama Arthur. Hanya saja, aku tak tahu kapan Cati Dominick menulisnya.
Agitur Caeli ini mengangguk. "Ya, saat ini adalah Arthur Amwolf. Ayahnya meninggal sebulan setelah Tuan Cato Dominick meninggal."
"Kapan itu?" tanyaku.
"Bulan lalu," jawabnya. "Dan, saat penobatan Kaisar Eqauttoria XI Arthur Amwolf, Anda juga akan dinobatkan sebagai Historian. Lalu, akan ada banyak tamu undangan, baik dari Equattoria maupun Beltzaar."
"Oh, wow."