Chapter 3 - Tiga

Bagaimana aku tahu ini Bahasa Latin? Entah, aku tahu begitu saja. Otakku seperti punya pengaturan sendiri untuk mengetahui itu. Bahkan, meski aku jurusan Sains di sekolah, aku tak bisa menghapal nama-nama ilmiah hewan atau tumbuhan yang menggunakan Bahasa Latin. Ini seperti sebuah permainan, seakan aku masuk ke dalam permainan dan memiliki pengaturan untuk memahami bahasanya.

Tapi, aku tak fokus pada itu. Aku malah sibuk membaca Historia ini. Memang agak sulit karena langit semakin gelap, tapi dengan kemampuan membacaku yang super cepat, aku dapat menyelesaikan bab Ethaniel Janko yang berjumlaj 80-an halaman. Saat ingin memulai bab Cato Dominick, aku tak bisa melihat satu huruf pun. Bahkan, melihat tanganku sendiri saja agak sulit sampai harus memicingkan mata.

Semakin gelap, semakin berbahaya jika aku berjalan di hutan tanpa tahu arah. Aku tak punya penerangan, karena ponselku mati seperti kehabisan daya. Jadi, aku memutuskan untuk berdiam di sana sampai matahari terbit, entah berapa jam lagi aku harus menunggu.

Udara semakin dingin. Aku memang memakai jaket, tapi tak cukup untuk menangkal dingin di hutan yang sedang mengalami musim gugur ini. Aku meringkuk pada cekungan pohon, memeluk ransel dan tote-bag, lalu menyandarkan kepalaku pada tubuh pohon. Meski tidur di cuaca dingin dapat membunuhku, tapi aku tak bisa menahan kantuk. Tubuhku lemas, lelah, dan lapar.

Tuk! Tak! Tuk! Tak!

Aku rasa, aku belum benar-benar terlelap, atau aku sempat terlelap beberapa menit dan kembali terjaga. Sebab, suara ketukan khas itu terdengar mengusik keheningan hutan. Aku merapikan barang-barangku, terutama Historia ini. Aku tahu seberapa pentingnya Historia di dunia ini, jadi aku memindahkannya ke dalam ranselku, sementara semua barang-barang tak penting aku taruh di dalam tote-bag, dan rencananta akan aku tinggalkan di hutan ini agar tidak membebaniku dalam perjalanan.

Srak! Srak!

Sepertinya sejumlah pasukan berkuda itu berhenti. Ya, pasukan. Aku rasa suara yang kudengar seperti itu. Yah, kalian pasti paham, bukan? Intinya, aku tahu itu bukan hanya satu ekor kuda dan penunggangnya. Mungkin ada lebih dari tiga.

"Menyebarlah. Temukan dia!" seru seorang laki-laki bersuara berat dan terkesan dingin.

"Yes, Sir!" serunya.

Aku tak tahu siapa yang mereka harus temukan, tapi kata 'her' yang ia gunakan menunjukkan pada 'dia' untuk seorang perempuan. Itu artinya, mungkin akulah yang mereka ingin temukan, mungkin juga perempuan lain yang ada di hutan ini. Jadi, aku harus waspada.

Jika bergerak, aku akan menghasilkan suara. Jadi, aku diam di tempatku, meringkuk makin erat, dan memejamkan mata untuk benar-benar menajamkan pendengaranku. Aku mencoba mengendalikan napas dan irama jantungku meski mereka meronta. Aku tak mau napas kerasku malah mengundang mereka.

"Sir, di utara tidak ada."

"Di timur juga tidak ada, Sir."

"Aku tidak menemukan apapun di selatan." Laki-laki ini menggunakan bahasa yang terkesan santai, berbeda dengan dua lelaki sebelumnya.

"Tidak apa," tanggap lelaki yang memberi perintah tadi. "Sebab, aku rasa aku tahu dia ada di mana."

Dap-srak!

Seseorang mendarat di atas tanah dengan dedaunan kering. Lalu, orang itu melangkah ke arah pohon tempatku bersembunyi. Aku langsung membungkam mulut dan hidungku, bahkan aku harus menahan napasku. Tapi, jantungku berdetak terlalu keras, bahkan aku yakin detakan jantung abnormalku inilah yang memberitahukan lokasiku pada lelaki itu.

Swing!

Sebuah mata pedang terhunus tepat di samping wajahku. Napasku terasa tercekat saat itu. Aku menoleh perlahan-lahan dan mendongak. Laki-laki bertubuh besar, berbahu lebar dengan dada membusung gagah, dan wajah yang sedikit bernuansa Asia. Ada kalung merah yang ia kenakan yang menggantung di luar baju zirahnya yang membuatnya semakin gagah.

"Agitur Ignis," sebutku.

"Oh, kamu tahu," sahutnya dingin. "Sebutkan identitasmu."

"Na-Namaku Ayana Athenia," jawabku tergagap. Sungguh, aku takut karena pedangnya begitu dekat dengan leherku. Kalau dia gerakkan sedikit saja, sepertinya aku bisa langsung terpenggal. "A-Aku dari bukan dari dunia kalian. Aku memiliki Historia dan Kalung Netral."

Lelaki itu menegaskan pedangnya dengan menyentuhkan ujungnya pada leherku. Rasanya aku langsung tak bisa bernapas. Kalau bernapas, rasanya pedang itu akan langsung menusuk leherku. "Buktikan."

Aku menggerakkan tanganku perlahan dengan kepala tetap terdongak karena pedangnya itu. Aku merogoh kalung yang aku sembunyikan di balik jaketku. Lalu, aku menggerakkan tangan untuk melepas ranselku dan mengeluarkan Historia dari dalamnya. "Ini." Aku hanya menunjukkannya padanga. "Pada halaman ke-200, ada namaku tertulis di sana." Ya, entah bagaimana namaku muncul tepat di halaman kosong setelah kidah Cato Dominick selesai. Aku sempat melihatnya meski aku belum membaca kisah yang Cato Dominick tulis.

Agitur Ignis yang diakui jika bisa memiliki kalung berbatu merah yang akan menyala kuning jika disinari itu tak mengambil Historia maupun kalungku. Alih-alih, ia menarik pedangnya dari leherku dan menyimpannya kembali di pinggangnya. "Ikut kami." Ia berbalik dan melangkah pergi dengan angkuh. "Kalah kamu berbohong, hukuman mati menunggumu," ancamnya.

Aku meninggalkan tote-bag-ku di sana, laku aku berdiri dan berjalan perlahan dan waspada di belakangnya. Lima lelaki memandangiku dengan penuh curiga, dan salah satunya adalah Agitur lainnya. Agitur pemilik batu biru yang akan berpendar putih jika disinari, yaitu Agitu Aqua. Wajah Agitur Aqua juga dingin, tapi tak semengerikan Agitur Ignis.

Ah, by the way, 'agitur' dalam Bahasa Latin memiliki arti 'pilar'. Itu adalah sebutan untuk manusia pilihan Tuhan yang dianugerahi kekuatan Pengendali Elemen untuk membantu manusia-manusia di dunia ini. Manusia tidak punya kekuatan sihir seperti makhluk kegelapan, karena itulah perang antara manusia dan makhluk kegelapan tak pernah seimbang. Dan, pada masa-masa akhir Ethaniel Janko, muncullah empat manusia yang menjadi Agitur, yaitu Ignis untuk Api, Aqua untuk air, Caeli untuk Udara, dan Terram untuk Tanah.

"Naik," titah Agitur Ignis itu sambil berdiri di samping kuda gagahnya.

Aku memandangu kuda itu sangat lama. "Mustahil. Tinggi punggungnya bahkan melebihi tinggi badanku," jawabku, lalu aku menatap Agitur angkuh itu. "Aku jalan kaki saja -"

Grep! Syut!

"Waa!" seruku refleks.

"Kamu denganku saja," kata Agitur Aqua yang tiba-tiba menarik tubuhku dan langsung mendudukkanku dengan posisi miring di atas pelana di depannya. "Kamu ringan dan terlihat lemah. Jika benar kamu Historian saat ini, aku tak yakin dunia ini akan bertahan."

Aku kira ia berbeda dengan Agitur Ignis. Aku kira ia dingin dan pendiam saja. Tapi, ternyata mulutnya sangat tajam dan pedas saat berbicara. Aku kecewa, dan jujur saja aku kesal mendengarnya.

"Aku bahkan tidak meminta untuk menjadi Historian," balasku ketus, lalu aku buang muka dan hanya menatap jalan di depan, meski seringnya terhalang leher kuda yang panjang dan lebar ini.

Dan, kami pun pergi meninggalkan hutan ini ke arah selatan, berbeda dengan yang kutuju. Andai aku tak berhenti berjalan dan terus bergerak ke barat, mungkin aku akan menemukan Desa Dan-Hlang atau desa Riva al Lago. Dugaanku bahwa Agitur adalah orang bijak dan baik ternyata salah. Aku sudah dibuat kesal oleh dua Agitur ini. Dan, aku akan pesimis dengan dua Agitur lainnya.