Kuuk! Ku-kuuk!
Aku yakin itu bukan suara burung yang wajar kudengar di Jakarta. Bahkan, aku langsung tahu bahwa itu adalah suara yang khas dari sebuah hutan gelap di malam hari pada film-film horor yang sering aku lihat.
Perlahan aku membuka mata sambil mencoba memggerakkan alat gerakku, baik tangan maupum kaki. Aku menggeliat kecil, karena rasanya tubuhku sakit semua sampai ke tulang. Aku yakin itu karena aku berlari sambil membawa barang berat dan jatuh dari tangga karena pingsan kelelahan dan kehabisan napas.
"Uhuk! Uhuk! Aaw..."
Srak! Srak!
Tubuhku berhenti menggeliat, karena saat melakukannya aku mendengar suara gesekan khas seperti saat berjalan di atas jalan yang dipenuhi dedaunan kering. Cepat-cepat aku membuka mata dengan lebar, dan aku terbelalak melihat pemandangan yang tak seharusnya aku lihat di Ibu Kota.
"Hutan?"
Aku menoleh ke kanan dan kiri tanpa menggerakkam tubuhku. Aku menggerakkan kaki dan tangat dengan terbuka-tertutup seperti membuat kupu-kupu di atas tumpukan salju pada film-film. Aku benar ada di hutan. Aku benar bahwa yang kudengar adalah suara gesekan daun kering yang gugur. Dan, tentu saja itu bukan hal yang wajar.
Perlahan, aku menarik tubuhku untuk bangkit. Meski tubuhku sakit semua, tapi aku tetap memaksakan diri untuk melakukannya. "Ini benar-benar di hutan," gumamku sambil melihay berkeliling. Benar-benar hutan. "Sudah hampir malam," gumamku lagi ketika mendapati langit yang hampir sepenuhnha gelap.
Semua barang-barangku ada di sekitarku. Tas ranselku terlepas dari tubuhku, dan tote-bag-ku pun terpental agak jauh bersama ponselku
Aku mengumpulkan semua barang-barangku. Tapi, yang menjadi fokusku sekarang adalah ponselku. "Ah, elah!" keluhku kesal, karena ponselku tidak bisa menyala sama sekali. Aku pun menyimpannya di dalam tas ransel.
Kini, aku bingung harus apa atau pergi kemana. Aku tak punya pengalaman hidup di hutan. Bunda juga tidak pernah mengajakku untuk merasakan pengalaman berkemah. Selain karena itu bukan kegiatan yang Bunda suka, juga karena Bunda memikirkan kondisiku. Ia tahu aku tak akan bisa bertahan hidup di alam terbuka seperti ini. Dinginnya bisa membunuhku, kelelahan perjalanan bisa membunuhku.
Hyuuuu!!!
Angin berhembus cukup kuat, membuat dedaunan kering rontol dari dahannya, membuat dedaunan yang masih bertahan saling bergesekan. Beberapa helai daun gugur menampar wajahku, seakan menyuruhku untuk sadar dan segera mengambil keputusan. "Aku harus bergerak." Lalu, aku pun memulai langkahku.
Aku tak tahu memilih jalan mana, aku hanya mengikuti arah lumut di batang pohon atau di bebatuan. Aku pernah baca, mengikuti lumut akan membawa kita ke barat, arah matahari terbenam. Daripada berjalan tanpa arah, lebih baik terus berjalan ke barat meski tak tahu akan bertemu dengan apa. Aku tak boleh tersesat, itu hanya akan membuatku terbunuh di hutan ini.
"Manusia -"
Langkahku terhenti ketika mendengar suara seorang laki-laki yang tampaknya masih dewasa awal. Aku melihat ke kanan, kiri, atas, depan, dan belakang. Aku tak menemukan apapun. Tapi, aku merasa seperti sedang diamati dari suatu tempat. "Siapa?" tanyaku agak mengeraskan suara. "Siapa yang bicara? Hantu? Manusia? Atau makhluk mitologi?"
"Manusia... Manusia yang bisa mendengar yang tak terlihat... Manusia langka... Khekhekhekhekhe." Lelaki itu tertawa dengan tawa yang aneh.
"Tunjukkan dirimu," tantangku.
"Berani... Manusia berani..."
Aku masih berpitar-putar di tempat untuk menemukan lelaki itu. Aku yakin dia bukan manusia ataupun makhluk mitologi. Hanya hantu yang berbicara dengan aneh dan terdengar seperti orang kebingungan.
"Ah!" seruku spontan dengan tubuh terlonjak ke belakang. "Astagah, kaget," gumamku. Sebab, seorang lelaki dengan pakaian yang terkesan rakyat jelata zaman kerajaan Eropa itu munchl tiba-tiba di depanku ketika aku kembali menghadap ke arah barat.
Hantu itu menatapku lama. "Kamu juga bisa melihatku?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kamu siapa?" tanyaku.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menatap kedua mataku lekat-lekat. "Kamu Manusia Suci. Tapi, kamu terlalu muda untuk menjadi Manusia Suci milik Tuhan," ujarnya.
Aku tak paham dengan apa yang ia katakan. "Ini di mana?" tanyaku
"Penampilanmu berbeda. Pakaianmu sangat aneh, begitu juga dengan sepatumu. Wajahmu bukan dari negara ini. Kamu berkulit sawo matang, rambut dan mata legam, dan air muka yang berbeda dengan penduduk Kekaisaran Equattoria," sebutnya. Lalu, ia bergerak mengelilingiku sambil terus mengamatiku. Aku hampir saja kehabisa kesabaran karena ia tak menjawab apa yang aku tanyakan. "Ini adalah Pegunungan Utara, perbatasa Riva al Lago dengan Theletray."
Aku mengerutkan kening. Aku benar-benar tak tahu apa itu Kekaisaran Equattoria, apa itu Riva al Lago, apalagi Theletray. Itu bukan nama yang pernah kudengar seumur hidupku.
"Kamu bukan manusia dari dunia ini." Tiba-tiba hantu itu menjauh sampai dua meter di depanku. Tapi, kemudian ia kembali mendekat. "Kamu manusia dari dunia yang berbeda. Kamu manusia yang disebut dalam ramalan Manusia Suci."
Aku semakin mengerutkan kening. "Oke, Tuan. Mohon jelaskan pelan-pelan. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Tuan katakan."
Ia terdiam. Ia mengamatiku lagi, tapi hanya sebentar. Lalu, ia mendekat dari sisi kiri dan menunduk menatap tote-bag yang kugantung di bahu kiriku. "Kamu membawa sesuatu yang menarik. Berhati-hatilah." Dan, tiba-tiba saja dia lenyap seakan tersedot ke suatu tempat.
Aku menatap tote-bag-ku cukup lama untuk memahami ucapan hantu itu. Aku pun memutuskan untuk mendekati sebuah pohon untuk duduk dan bersandar di sana sambil beristirahat, lalu aku membuka tote-bag-ku. Aku mengamati enam buku di sana, tapi yang menarik perhatianku lagi-lagi adalah Historia. Aku mengambilnya dan membuka plastik pembungkusnya.
Saat aku benar-benar menyentuh sampul kulit yang dikeringkan alami dengan tulisan Historia sebagai judul seakan itu adalah stampel timah pamas, aku merasakan sensasi yang aneh. Sensasi hangat yang menjalar dari tangan ke dada, membuat jantungku berdetak kuat namun tak menyakitkan. Aku mencoba bertahan untuk merasakannya dan memahaminya. Entah kenapa, aku merasa seperti mengenali situasiku ini.
Aku membuka sampul itu dan langsung disuguhkan oleh kalimat yang ditulis tangan dengan tinta tebal. Tapi, tak ada preliminaries apapun di sana. "Pertemuan bukan sekedar kebetulan, melainkan sebuah takdir - Ethaniel Janko Sang Sejarawan."
Halaman berikutnya adalah tulisan nama Ethaniel Janko dengan ukuran huruf yang besar sekali. Bentuk tulisan yang sama dengan tulisan di halaman pertama. Lalu, ke halaman ketiga dan aku menemukan tulisan tangan penuh dari bagian atas ke bagian bawah, dan seterusnya hinhga halaman-halaman berikutnya yang kubuka cepat. Tapi, ada satu halaman kosong dengan sebuah nama di tengah yang memiliki bentuk tulisan berbeda, tulisan berbunyi Cato Dominick.
Penasaran, aku pun membaca buku itu mulai halaman yang ditulis penuh oleh Ethaniel Janko. Tapi, tunggu!
"Hah? Serius?" gumamku. Kali ini aku menyadari sesuatu yang aneh. Aku membolak-balikkan lembar berikutnya, mengucek mata, dan kembali membaca semua tulisan itu. Tapi, semua tetap sama. "The hell! Kenapa aku bisa baca Bahasa Latin? Apa yang sebenarnya terjadi?"