Chereads / Bayi di Depan Rumahku / Chapter 11 - 11.Sikap Aneh

Chapter 11 - 11.Sikap Aneh

Saat tengah menyiapkan makan malam, suara mobil Mas Denis terdengar memasuki halaman. Hatiku senang bukan kepalang, akhirnya suamiku itu pulang ke rumah. Ingin menghampirinya tapi masakan yang sedang dibuat tidak bisa ditinggalkan.

Nita sedang berada di kamar Kiara, tadi sebelum masak kulihat bocah itu mulai mengantuk. Jadi, ku biarkan saja Nita menidurkan Kiara. Ternyata keyakinanku terbukti, Mas Denis pasti pulang malam ini.

"Assalamualaikum," ucap Mas Denis, suaranya terdengar sampai ke dapur.

"Waalaikumsalam Mas," jawabku berteriak, saking senangnya mendengar suara Mas Denis. Aku sampai lupa jika Kiara akan tidur.

Tidak lama kemudian, suamiku itu datang ke dapur. Raut wajahnya menyunggingkan senyum lebar. Ya seperti biasanya seakan tidak terjadi apa-apa.

Kuraih tangan kekar yang selama memberi nafkah itu dengan khidmat. Tangan Mas Denis terasa mengusap puncak kepalaku. Tidak terasa air mata ini menetes mendapat pelukan hangat suamiku.

"Maaf, sayang, jika aku punya salah," ucapku penuh sesal.

"Tidak, kamu tidak bersalah Dinda. Mas yang bersalah," jawabnya.

"Mas darimana saja? Aku rindu sekali." Aku mendongakkan kepala menatapnya lekat.

"Semalam ada sedikit masalah, Mas nabrak orang, Dinda," jawab Mas Denis, wajahnya berubah murung.

"Innalilahi, kapan kejadiannya Mas? Terus, orang itu nggak apa-apa?" cecarku.

"Ya tadi malam, makanya hpku nggak aktif. Karena jadi jaminan damai," kata Mas Denis.

"Hah? Lalu data perusahaan dan kerjaan kamu gimana? Foto kita?"

"Aduh, kamu ini bisanya mencecar aja. Udah ya sayang, itu hp pribadi yang aku kasih kok. Kalau hp yang untuk pekerjaan, ya beda judulnya," jawab Mas Denis.

Otakku berpikir keras, apa iya Mas Denis dengan mudahnya memberikan ponsel pribadi pada orang lain. Sementara ponsel itu memiliki banyak privasi. Hatiku merasa janggal, tapi pantaskah jika diri ini bertanya. Tidak, Mas Denis pasti akan marah lagi. Aku takut dia pergi seperti semalam.

"Boleh, aku ikut temui orang yang kamu tabrak, Mas?" tanyaku.

"Mau apa sih, orang kasusnya sudah selesai kok. Aku kasih uang juga," jawab Mas Denis, wajahnya terlihat gusar.

"Ya, aku mau tahu aja," jawabku.

"Tidak usah, nanti malah mereka memanfaatkan kita. Jangan ya sayang," bujuknya.

"Ya sudah deh kalau begitu. Tapi bener ya udah beres?"

"Iya, semua aman dan beres kok. Aku juga sudah mengurus surat di kantor polisi. Nanti, paling ada yang nganterin ke sini," jawabnya.

"Ya sudah, sekarang kamu ganti baju dulu. Habis itu kita makan ya," kataku mencoba tersenyum lebar, walau hatiku masih dipenuhi tanya.

"Ok, masak yang enak ya sayang," ucap Mas Denis seraya mengelus lembut pipiku.

Rasanya dunia ini damai, jika sikap Mas Denis selembut ini. Pria gagah itu membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan dapur. Kutatap punggung bidangnya yang selalu menjadi penopang saat hati dilanda rasa sepi, ketika sadar bahwa kami belum punya keturunan.

Semua makanan sudah terhidang di meja makan. Sayur bayam, tempe tepung yang bertaburan daun bawang, juga ayam goreng keremes kesukaan Mas Denis. Tak sabar hatiku melihat bagaimana Mas Denis melahap semua makanan yang sudah kubuat sepenuh hati.

Saat tengah menyiapkan piring, Sonia datang lebih dulu ke meja makan. Mata gadis itu langsung terbelalak melihat makanan. Tanpa bicara apapun, Sonia langsung menyendok nasi berikut lauk pauknya. Sonia duduk dengan mengangkat kaki kanannya ke atas.

"Maaf, apa kamu bisa lebih sopan?" Terpaksa, aku harus menegur anak ini. Karena jika tidak, aku takut Sonia terbiasa di tempat lain. Sonia menatapku lurus, sudut bibirnya terangkat sebelah.

"Mbak, ini rumah abangku ya. Jadi, apapun yang aku lakukan ya bebas saja," jawabnya.

"Iya, tapi maaf Sonia. Tindakan kamu ini tidak sopan, wajar sebagai Tuan rumah kalau Mbak nggak suka," kataku.

"Sopan atau tidak, selama aku tidak duduk di atas meja makan langsung. Kayanya sah sah aja Mbak," kata Sonia, nada bicaranya semakin meninggi.

"Apa kamu tidak pernah diajari Mama di rumah?"

"Jangan suka bawa orang tua ya Mbak!" seru Sonia.

"Aduh, kalian berdua kenapa ribut sih? Ini kita mau makan loh," tegur Mas Denis yang baru saja datang.

Aku menoleh padanya, suamiku itu duduk di bangku tengah yang menjadi singgasananya.

"Ini loh Mas, aku tegur adikmu supaya duduk dengan benar. Maaf, cara Sonia duduk itu tidak sopan," jawabku.

"Negur sih negur Mbak, tapi jangan bawa-bawa orang tua juga! Istri kamunya aja lebay Mas!" Sonia mulai mengadu, padahal jelas dia yang salah.

"Sudah! Kalian berdua salah!" Suara Mas Denis meninggi, sorot wajah dan mata tajamnya membuatku takut.

"Tapi Mas, Mbak Dinda yang dulu--."

"Sonia, cukup! Mas mau makan dan tidak ingin ada keributan. Kalian berdua ini, sama saja bersalah. Kamu baperan kalau dibilangin dan kamu Dinda, kalau negur boleh. Tapi jangan sampai bawa orang tua!" seru Mas Denis.

"Iya, Mas, maaf," ucapku.

Suasana mendadak hening, kami sibuk dengan piring masing-masing. Malam ini Mas Denis begitu mandiri, biasanya dia selalu ingin kulayani. Dari mulai mengambil lauk dan persiapan minum. Ingin bertanya, tapi wajahnya yang tegang membuat nyali dalam diri ciut. Baiklah, lebih baik aku diam saja.

Selesai makan malam, setelah membereskan meja. Kami langsung masuk ke dalam kamar. Tidak seperti biasanya, kali ini aku sangat merindukan Mas Denis. Hingga ingin terus bermanja padanya. Ku sandarkan kepala ini di dada bidang Mas Denis, tangan pria itu memainkan puncak kepalaku.

"Mas," panggilku.

"Ya sayang," jawab Mas Denis.

"Gimana soal akte lahir Kiara?" tanyaku menagih janji Mas Denis beberapa waktu lalu.

"Hmm, sedang diurus Pak Rt sayang," jawab Mas Denis. Entah kenapa aku mendengar jawaban yang begitu malas.

"Tapi kok, lama banget Mas? Maaf loh, kita pasti bayar kan? Biasanya kalau bayar cepat," kataku.

"Ya gak semua hal itu bisa cepat sama uang. Ada prosedur yang memang harus dilalui."

"Ya bener juga sih Mas, tapi biasanya uang melancarkan hal yang kaya gitu."

"Udahlah, nanti juga akte Kiara selesai. Lagian, buat apa kamu pingin punya akte cepet-cepet." Mas Denis melepaskan kepalaku dari sandarannya.

Aku menghela napas panjang, rasanya pertanyaan Mas Denis sangat tidak etis, lalu aku menjawab, "Ya karena ingin suatu pengakuan buat Kiara. Bahwa dia itu sekarang anak kita," jawabku.

Mata Mas Denis melotot lebar. Aku tidak tahu dia kenapa. Mas Denis kemudian mengambil laptop dan memainkan benda kotak tersebut. Aku tersinggung karena dia cuek.

Tunggu! Ada hal aneh yang baru aku sadari. Kenapa Sonia tidak bertanya padaku. Siapa Kiara dan gadis itu nampak tenang, seolah tahu segalanya, padahal kami belum cerita.

"Mas, apa Sonia tahu kalau Kiara anak kita?" tanyaku penasaran.