Chereads / Saat Kita Muda / Chapter 8 - Makan Siang Keluarga McKenzie

Chapter 8 - Makan Siang Keluarga McKenzie

"Berhentilah bertanya, dan fokus menyetir!" Pengawal dan supir pribadinya yang satu ini sungguh rasa ingin tahunya besar sekali. Menyebalkan!

Zahra McKenzie mendengus, dan kembali memandang keluar jendela, melamun.

*

Bantley maroon berhenti di depan pagar tinggi sebuah rumah mewah. Menunggu penjaga pintu gerbang membukakan pintunya. Kemudian mobil itu melesat ke dalam, berhenti di depan teras rumah yang terlihat lengang. Pengemudinya turun terlebih dahulu dan membukakan pintu bagi nona mudanya.

"Hati-hati dengan langkahmu, Nona." Seketika perempuan yang dipanggil dengan sebutan nona itu membelalakan matanya. Apa-apaan, sih, David Long ini ....

Zahra McKenzie menyeret tubuhnya agar bisa tiba di lantai dua rumahnya, di mana kamarnya berada. Melewati ruang bersantai, Wilhelmina Gie menatap putrinya yang berjalan lesu.

"Apakah hari pertamamu di SMU begitu melelahkan?" Wilhelmina Gie menepuk sofa berwarna lavender, di sebelahnya. Mengisyaratkan putrinya untuk duduk di sampingnya. Kemudian pandangan matanya beralih pada David Long.

David Long terlihat hendak membuka mulutnya. Namun, Zahra McKenzie buru-buru menjawab pertanyaan ibunya. "Semua baik-baik saja, Ma. Kelompokku bahkan mendapat juara satu di hari pertama." Yeah, kecuali kejadian setelah pulang sekolah, Zahra McKenzie menambahkan dalam hatinya. Hal yang membuat semangatnya hilang.

"Benarkah? Wah! Hebat sekali anak mama." Wilhelmina Gie memeluk putrinya.

"Istirahatlah. Sebentar lagi makan siang akan disiapkan," lanjut sang ibu. Zahra McKenzie pun menurut. Beranjak dari sofa yang empuk dan kembali menyeret tubuhnya hingga ke lantai dua.

"Apa yang terjadi?" Wilhelmina Gie berbisik. Masih penasaran atas hilang semangatnya putrinya itu, bertanya pada sang pengawal.

"David Long, urus urusanmu sendiri!" Zahra McKenzie yang tengah berada di anak tangga terakhir menuju lantai dua, menginterupsi. Dia tidak ingin segala gerak-geriknya dilaporkan pada sang ibu. Lagi pula, hanya masalah sepele, tidak penting!

Ya! Sangat sepele, dan sangat tidak penting, untuk dibahas! Huh! David Long, awas jika mulutmu ember!

Zahra McKenzie merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size yang empuk, yang ditutupi sprei berwarna merah muda. Bukan warna favoritnya sebetulnya, tapi, karena semua yang menyiapkan adalah para pelayan ibunya, Zahra McKenzie menerima saja apa yang ia dapatkan. Meski, ia tidak suka sekali pun.

Perlahan memejamkan matanya. Pikirannya melayang mengembara di alam bawah sadar. Tanpa refleksi apa pun. Cukup lama rasanya Zahra McKenzie tertidur, hingga tiba-tiba ia merasakan nyeri di lensa matanya. Sekejap ia langsung membuka matanya, beranjak dengan terburu-buru menuju kamar mandi, mencuci kedua tangannya hingga bersih, dan duduk di depan meja riasnya. Melepaskan sepasang soft lens-nya yang berwarna cokelat tua. Menaruhnya kembali di tempatnya. Kemudian meneteskan cairan di kedua matanya yang terlihat iritasi, akibat terlalu lama memakai soft lens dan lupa melepaskannya.

Zahra McKenzie mematut dirinya di hadapan cermin, memandang jauh ke dalam iris matanya yang berwarna hijau zambrud. Yang mulai mereda dari iritasi. Kemudian ia merasa penasaran. Entah mengapa ia memiliki warna mata yang berbeda dari kedua orang tuanya.

Ingatan akan masa kecilnya begitu samar. Ia tidak ingat rupa orang tuanya. Yang ia ingat, beberapa kali berpindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya, setelah orang tua angkatnya semasa kecil meninggal, jauh sebelum Zahra McKenzie masuk ke dalam silsilah keluarga konglomerat, McKenzie, seorang pengusaha kaya raya di banyak sektor industri.

Mereka mengaku sebagai kerabatnya saat menemukan Zahra McKenzie di sebuah panti asuhan jauh di ujung timur Indonesia. Merawatnya dan memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan kelewat berlebihan. Orang-orang seperti David Long salah satunya.

Meski warna matanya berbeda sendiri, namun kedua orang tua angkatnya yang sekarang sudah memastikan dengan benar, bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan, melalui tes DNA. Ada kecocokan sekitar tujuh puluh lima persen.

Di dalam darahnya mengalir darah McKenzie dan entah darah siapa lagi, yang Zahra McKenzie yakin, bertanggung jawab atas warna matanya yang hijau. Sehingga, demi menutupi perbedaan ini, Zahra McKenzie rela mengenakan soft lens sewarna mata kedua orang tua angkatnya, sejak kedatangannya ke rumah ini. Agar seluruh penghuni rumah ini percaya, bahwa Zahra McKenzie adalah anak keturunan Dahlan McKenzie dan Wilhelmina Gie yang hilang, lima belas tahun lalu di sebuah rumah sakit bersalin.

Suara ketukan di pintu kamarnya membawanya kembali dari lamunan. "Nona Ziezie, makan siang sudah siap. Tuan dan nyonya besar sudah menanti di bawah." Suara pelayanan rumah ini terdengar dari balik pintu yang masih tertutup.

"Baik. Aku akan ke sana setelah berganti pakaian. Terima kasih." Zahra McKenzie menjawab tanpa repot-repot membuka pintu kamarnya. Ia pun segera berganti pakaian. Melepas seragam sekolahnya dan mengenakan pakaian rumahnya.

Sebelum keluar dari kamarnya, Zahra McKenzie mengenakan kembali soft lensnya.

Tidur sejenak rupanya telah memberi pengaruh positif pada moodnya siang ini. Bergabung di meja makan bersama Dahlan McKenzie dan Wilhelmima Gie.

Aneka masakan lezat telah terhidang di atas meja makan, yang bisa menampung dua belas orang. Hanya saja, kursi-kursi makan itu, hanya terisi oleh tiga orang saja. Dahlan McKenzie dan Wilhelmina Gie duduk di kedua ujung meja, sementara Zahra McKenzie, duduk di tengah-tengah kursi.

Ayam panggang dengan bumbu racik rahasia keluarga McKenzie, aneka sayur yang dikukus cepat selama satu menit, sambal terasi yang aromanya begitu menggoda, menjadi menu utama makan siang pada hari itu. Selain hidangan pembuka dan penutup yang disajikan terpisah. Mereka menikmati santapan makan siang sambil diselingi obrolan ringan seputar pekerjaan sang ayah, Dahlan McKenzie, dan sekolah hari pertama Zahra McKenzie di SMUnya.

"Apa ada siswa yang mengganggu di sekolah, Ziezie?" tanya sang ayah, sambil menikmati potongan paha ayam dan sayur kukus.

"Tidak ada, Pa. Mereka semua baik." Zahra McKenzie melirik sekilas ibunya, yang tengah mencocol potongan ayam panggang ke dalam sambal terasi. Seperti berpura-pura menghindar kontak mata dengannya.

Zahra McKenzie tentu saja curiga, ayahnya mendapat berita ini dari ibunya. Dan, tentu saja, ibunya pasti tadi menginterogasi David Long, saat Zahra McKenzie tengah beristirahat dan tertidur lelap.

Dasar pengawal bermulut ember! Dia harus mendapat pelajaran, tentang apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada kedua orang tuanya. Yeah, meski pengawal yang baru saja bekerja mengawasinya selama tiga bulan ini, digaji oleh ayahnya. Tapi, ayolah! Setidaknya Zahra McKenzie butuh ruang pribadi, yang hanya dirinya dan pengawal itu saja yang tahu, jika memang tidak mungkin menghindar dari pengawasannya.

Terbayang bagaimana nanti jika Zahra McKenzie memiliki pacar? Ke mana-mana akan selalu pergi bertiga? Meski, itu konon demi keselamatan dirinya sendiri. Agar tidak ada celah bagi pesaing bisnis sang ayah, dengan memanfaatkan dirinya, untuk menjatuhkan perusahaan yang telah dibangun sejak generasi pertama McKenzie berada di Indonesia, dan dikelola secara turun temurun. Dan ayahnya adalah generasi ke enam.

Lagi pula, kenapa, sih, tidak bekerja sama saja dengan pengusaha di bisnis atau industri yang serupa? Alih-alih bersaing, sehingga menciptakan ketakutan yang berlebihan seperti sekarang.

Zahra McKenzie akhirnya harus menjelaskan tentang kejadian di sekolahnya mulai tadi pagi hingga jelang pulang sekolah. Bahwa laki-laki yang dimaksud David Long, telah mengganggu nonanya itu, hanyalah seorang kakak kelas yang naksir dirinya. Sehingga bertingkah berlebihan untuk mencari perhatiannya. Dan, saat pulang sekolah, di dalam ruangan itu, kakak kelasnya menyatakan cintanya, dan memintanya untuk menjadi pacarnya.

Kejadiannya memang seperti itu, bukan? Hanya saja, Zahra McKenzie tidak menjelaskan hal lainnya, atau sebuah fakta kalau ia menolak permintaan Alghifari Fauzi untuk menjadi pacarnya.

Setidaknya, biarlah kedua orang tuanya ini berpikir, jika putrinya kini memiliki seorang pacar. Dan Zahra McKenzie berharap, dengan begitu ia bisa terbebas dari pengawalnya, saat bersama sang pacar.

Usai menghabiskan makan siang beserta hidangan penutupnya, Zahra McKenzie kembali ke kamarnya. Matanya masih kelelahan mengenakan soft lens terlalu lama. Atau mungkin, ia harus meminta ayahnya untuk membelikan soft lens yang baru yang lebih nyaman untuk matanya, menggantikan soft lens lamanya.