Susan Aprilia tengah menyesap tehnya, saat mendengar suara motor di depan rumahnya, dan tidak lama terdengar pintu pagar rumahnya terbuka.
Melihat keluar jendela dan melihat putranya, Alghifari Fauzi masuk ke dalam. Di tangannya, membawa bungkusan, yang seharusnya berisi marble cake kesukaan Ara, teman masa kecil Alghifari Fauzi.
Apa yang terjadi? Mengapa anaknya membawa kembali makanan itu? Apakah ia tidak jadi bertemu dengan Ara? Mengingat, putranya belum lama pergi keluar.
Alghifari Fauzi hendak mengetuk pintu rumahnya, namun pintu itu telah dibukakan terlebih dahulu oleh ibunya.
"Ada apa? Kenapa udah pulang? Jadi ketemu Ara?" tanya sang ibu penasaran. Dilihatnya seraut wajah yang kecewa.
"Aranya gak ada di rumah, Ma." Alghifari Fauzi langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Nadanya jelas terdengar kecewa.
Susan Aprilia hanya menanggapi putranya dengan gumaman 'Oh', kemudian lanjut berkata. "Kuenya gak kamu taro aja di depan rumahnya, Ghi?"
"Nggak, Ma. Alghi gak yakin Aranya pulang jam berapa. Tetangganya aja gak tahu, kalau Ara dan keluarga barunya udah pindah lagi ke sana."
"Terus, kuenya mau kamu habisin sendiri?"
"Buat besok aja, Ma. Alghi bawa ke sekolah. Gak apa-apa, kan?"
"Atau malam, kamu coba balik lagi ke rumah Ara, kalau penasaran. Siapa tahu udah pulang kalau malam."
"Gak, deh, nanti tahunya belum pulang juga, Alghi kecewa dua kali, dong." Anaknya ini, ternyata perhitungan sekali.
Susan Aprilia lalu meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Susan Aprilia kembali dengan majalahnya yang tadi sedang ia baca.
*
Keesokan paginya, Alghifari Fauzi berangkat ke sekolah, tidak lupa membawa marble cake buatan ibunya. Seperti biasa, jika melewati rumah Ara, ia akan mengurangi kecepatan laju motornya, demi untuk melihat keadaan rumah itu. Rumahnya tampak sepi. Apakah Ara dan keluarganya belum kembali? Pikir Alghifari Fauzi.
Tidak mengambil pusing, Alghifari Fauzi, menambah kecepatannya kembali, keluar dari komplek perumahannya.
Tiba di sekolah, memarkirkan motor balap hitamnya, melepas helm dan membawanya ke dalam.
Beberapa siswa baru, kelas satu, yang masih mengenakan seragam SMP tampak telah tiba lebih dahulu di sekolah. Sebagian berkumpul dengan teman-temannya membentuk kelompok. Sepertinya anak-anak baru itu tengah mendiskusikan tugas MOS hari ke dua yang telah diberikan oleh panitia kemarin sebelum pulang sekolah.
Alghifari Fauzi berjalan menyusuri koridor sekolah menuju basecamp panitia MOS. Bungkusan berisi marble cake ia bawa di tangan kanannya. Tangan kirinya membawa helm. Sambil berjalan, sesekali pandangannya mengedar ke kiri dan ke kanan jalan, berharap menemukan seseorang yang dicarinya. Namun, tidak ada. Sepertinya, anak itu belum tiba di sekolah. Mobil yang kemarin membawanya pun, seingat Alghifari Fauzi belum terlihat di parkiran depan sekolahnya.
Tiba di basecamp panitia, Alghifari Fauzi menaruh bungkusan kue di atas meja. Kemudian menaruh helmnya di pojok ruangan. Beristirahat sejenak sambil menunggu teman-temannya lain datang.
Alghifari Fauzi mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, dan bermain game balap. Selama beberapa waktu ia terlihat fokus dengan balapannya sehingga tidak menyadari kedatangan Mario Simora, anggota panitia MOS sekaligus teman akrab Alghifari Fauzi.
Tidak ingin mengganggu atau terkena semprot kemarahan Alghifari Fauzi pagi-pagi, Mario Simora hanya duduk memperhatikan Alghifari Fauzi bermain game, hingga temannya itu sadar sendiri, bahwa ada orang lain di basecamp.
"Eh, lo, Yo, kapan nyampe?" Alghifari Fauzi baru saja memenangkan balapannya, sehingga moodnya pagi itu begitu baik.
"Udah dari tadi kali. Elonya aja yang gak peka!" Mario Simora mendengus, sementara Alghifari Fauzi hanya terkekeh mendapat jawaban seperti itu.
"Eh, ini apa, Ghi?" Mario Simora mengintip bungkusan di meja.
"Kue, buka aja." Alghifari Fauzi memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, dan beranjak menuju meja. Membuka bungkusan plastik dan mengeluarkan kotak berisi kue buatan ibunya.
"Waaah, kayanya enak." Komentar Mario Simora, saat melihat isi kotak kue yang dibawa Alghifari Fauzi.
"Enak, dong. Buatan mama gue. Cobain, nih." Alghifari Fauzi menyodorkan kotak kue ke hadapan Mario Simora, agar mengambil sendiri kuenya.
Mario Simora menggigit kue seperti marmer itu, mengunyahnya sebentar, dan menelannya. "Mmm, beneran enak ini. Mama lo jualan, Ghi?" tanyanya sambil menikmati gigitan berikutnya.
"Nggak. Ini kemarin bikin aja. Jangan dihabisin semua, bagi-bagi sama yang lain."
"Siap, Bos!"
Mario Simora mengeluarkan botol minuman dari dalam tasnya. Membuka tutup botolnya, dan menegak air di dalamnya.
"Eh, cewek yang kemarin gimana?" Mario Simora penasaran, tentu saja. Ini kali pertama Alghifari Fauzi tertarik dengan seorang perempuan. Selama ini, selalu dingin dengan kaum Hawa. Jangankan pacar, teman-teman perempuannya tidak ada yang berani mendekati Alghifari Fauzi. Mereka takut dan segan padanya. Sejak kasus terdahulu.
"Gimana, apanya?" Alghifari Fauzi mendadak menjadi acuh tak acuh.
"Yah ...." Fokus Mario Simora tiba-tiba teralihkan. Matanya mengikuti seseorang di luar ruangan yang dijadikan basecamp panitia MOS–sebetulnya, itu ruangan serba guna, yang bisa digunakan oleh para siswa untuk kegiatan apa saja.
"Panjang umur, tuh, gebetan lo, Ghi." Matanya terus mengikuti siswa baru yang kemarin Mario Simora tinggal berdua bersama Alghifari Fauzi di kelasnya, untuk suatu urusan, entah apa. Dan siswa baru itu, ia datang tentu saja tidak sendiri. Seperti kemarin, seorang pengawal bertubuh tinggi besar berjalan mengikutinya dengan jarak setidaknya lima meter–Mario Simora menebak.
Alghifari Fauzi tentu saja mengikuti arah ke mana mata Mario Simora mengedarkan pandangannya. Dan responnya, hanya sebuah kata 'oh', Alghifari Fauzi pun kemudian mengabaikannya. Membuat alis Mario Simora terangkat tinggi.
"Hei, whats up, Bro?" Mario Simora menjadi penasaran. Apakah jangan-jangan sohibnya ini ditolak oleh siswa baru itu? Wah, dia harus berguru pada ahlinya dalam melakukan pedekate terhadap lawan jenis. Dijamin, setelahnya, Alghifari Fauzi bisa memacari seluruh siswi di sekolahnya, jika ia mau, tentu saja.
Well .... Tebakan Mario Simora, tidak benar dan tidak salah juga. Dan, Alghifari Fauzi pagi ini sedang enggan membahas soal perempuan bernama Zahra McKenzie itu.
"Lupakan dia sejenak. Kita fokus persiapan MOS hari ke dua. Ke mana ini yang lain?" Tiba-tiba saja Alghifari Fauzi mengalihkan topik pembicaraan. Benar-benar ingin menunjukkan kepada Mario Simora, bahwa Alghifari Fauzi tidak suka jika soal siswa baru yang kemarin itu, disinggung.
"Baru juga jam tujuh tiga puluh, Ghi. MOS mulai, kan, jam delapan." Mario Simora lantas menengok keluar ruangan, mencari-cari anggota panitia lainnya. Jika mereka tidak datang sebelum jam delapan, dijamin, mereka semua akan kena tegur ketua panitia MOS, yang tidak lain adalah Alghifari Fauzi, yang juga Ketua OSIS.
Kandidat yang ditunjuk oleh para guru, karena prestasinya, bukan hanya secara akademik, namun juga olah raga, selain itu, Alghifari Fauzi, satu-satunya siswa teladan, yang belum pernah satu kali pun datang terlambat ke sekolah, sejak ia masuk SMU Trikora.
Dan, ia memenangkan posisi Ketua OSIS juga karena andil para siswi yang kagum dengan parasnya yang rupawan. Meski terkenal dingin di antara para siswi, hal itu tidak menghalanginya untuk mendapatkan dukungan suara terbanyak.
Tidak membuang waktu, Mario Simora mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka aplikasi hijau, dan mengirim BC kepada teman-teman panitia lainnya. Bahwa mereka ditunggu ketua di basecamp. SEGERA!!