Chereads / Saat Kita Muda / Chapter 4 - Pemuda Tampan Penyelamat

Chapter 4 - Pemuda Tampan Penyelamat

Zahra McKenzie tengah mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut, sambil memikirkan pemuda yang tadi telah menyelamatkannya. Pemuda tampan yang baik hati, namun begitu naif, dan mudah dibodohi.

Ia tersenyum, mengingat wajah pemuda naif itu begitu terkejut ketika mendapatkan sebuah ciuman tepat di bibirnya. Rasanya sungguh tidak terlupakan oleh Zahra McKenzie. Begitu ... indah.

Selesai mengeringkan rambut, ia pun meletakkan alat pengering rambut kembali pada tempatnya. Mematut dirinya di hadapan cermin di meja riasnya. Menyisir rambutnya perlahan hingga rapi.

Zahra McKenzie kemudian mengambil kotak berisi lensa kotak berwarna cokelat tua. Menggunakannya untuk menutupi warna asli matanya.

Usai mengenakan pakaian rumahan, Zahra McKenzie kemudian keluar dari kamarnya, menuju lantai satu. Ia telah dipaksa oleh ibunya untuk berjanji menjelaskan ke mana ia pergi menghilang di tengah-tengah acara perpisahan sekolahnya di SMP Nusa Bangsa. Padahal namanya sempat dipanggil untuk menerima piagam serta piala penghargaan, karena berhasil menjadi siswa teladan dan berprestasi dari seluruh siswa seangkatannya.

Zahra McKenzie segera menemui ibunya, yang telah menunggunya, duduk di sofa berwarna lavender, sambil membaca sebuah majalah fashion, saat ia mandi terlebih dahulu, mengusir bau keringat dan matahari dari badannya.

"Jelaskan pada mama sekarang. Sebelum ayahmu pulang," Tuntut wanita paruh baya berparas anggun itu, sambil meletakkan majalah fashion yang tadi dibacanya.

Zahra McKenzie duduk di sofa, di hadapan sang ibu. Ia pun bercerita, saat acara perpisahan di sekolahnya tengah berlangsung, tiba-tiba saja Zahra McKenzie mendapatkan telepon dari teman dekatnya. Memintanya untuk datang menemuinya di belakang sekolah. Zahra McKenzie pun memenuhi panggilan teman dekatnya.

Berjalan mengendap, menghindari dari pengawal yang selama ini selalu berada di sekitarnya. Mematikan ponselnya seperti permintaan teman dekatnya, agar ia tidak bisa dilacak keberadaannya oleh pengawal yang dibayar mahal oleh sang ayah.

Hal yang tidak Zahra McKenzie duga sebelumnya, ternyata teman dekatnya itu tidak ia temukan di mana pun di belakang sekolahnya. Zahra McKenzie kemudian mencoba mengaktifkan kembali ponselnya. Namun nahas, sesuatu menutupi mulut dan hidungnya, hingga ia tidak sadarkan diri.

Zahra McKenzie terbangun kemudian, di sebuah tempat yang asing, yang ia duga merupakan sebuah gudang. Dengan tangan dan kaki terikat, serta mulutnya ditempeli lakban. Tidak ada seorang pun di dalam gudang itu kecuali dirinya.

"Tunggu dulu, Ziezie. Kamu mau bilang sama mama, kalau kamu diculik??" Wilhelmina Gie menyela cerita putrinya. Ibunya tidak percaya, putrinya telah menjadi korban penculikan dan berhasil pulang dengan selamat, tanpa kurang satu apa pun.

Zahra McKenzie mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya begitu, Ma."

"Apa kamu lihat siapa yang menculikmu?" Zahra McKenzie menggeleng pelan. Membuat ibunya menghela napas panjang.

"Lalu, bagaimana kamu bisa lolos, Sayang? Apakah tangan kakimu terluka?" Wilhelmina Gie memeriksa kedua tangan putrinya. Ingin memastikan putrinya itu tidak terluka sama sekali.

"Ada seorang pemuda tampan yang menyelamatkan Ziezie, Ma. Ia membawa Ziezie dengan motor balapnya." Zahra McKenzie menjawab dengan penuh semangat. Wajahnya terlihat berseri-seri, mengingat wajah tampan laki-laki penyelamatnya.

"Lalu, di mana pemuda itu sekarang?"

"Dia langsung pulang setelah mengantar Ziezie, Ma. Orang itu bilang, punya banyak urusan." Zahra McKenzie menutup penjelasannya. Ia pun kemudian pamit undur diri ingin beristirahat di kamarnya.

Wilhelmina Gie tentu saja mengijinkannya. Ia pun lantas memanggil David Long, pengawal yang dipekerjakan suaminya untuk menjaga Zahra McKenzie. Memintanya untuk merahasiakan soal penculikan putrinya. Ia tidak ingin pengawal pribadi Zahra McKenzie dipecat dari pekerjaannya, karena telah lalai dalam tugas. Dan memintanya untuk lebih waspada untuk mengawasi putrinya itu. Karena bukan kali ini saja, Zahra McKenzie berhasil lolos dari pengawasan pengawalnya.

Pengawal pertamanya dahulu telah dipecat oleh suaminya, Dahlan McKenzie, karena telah lalai dalam bekerja. Tidak mampu menjaga putrinya dengan baik.

David Long adalah pengawal ke lima yang dipekerjakan sang ayah untuk mengawasi putrinya itu.

Sama seperti pengawal pertama, pengawal ke dua, ke tiga, dan ke empat, tidak bertahan lama dalam mengawasi putrinya. Bahkan yang fatal, pengawal ke empat hampir saja dijebloskan ke dalam penjara, karena hampir membunuh Zahra McKenzie yang tenggelam di laut.

Padahal pengawalnya itu berhasil menyelamatkan nyawa Zahra McKenzie. Dan Zahra McKenzie sendiri yang meminta sang ayah untuk mengampuni pengawalnya. Karena itu bukan murni kesalahannya. Ayahnya yang sangat menyayangi Zahra McKenzie pun mengabulkan permintaannya.

Di dalam kamar Zahra McKenzie, ia merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur king size yang empuk. Pengejaran hari ini benar-benar telah menguras energinya, bahkan ia tidak mampu melawan rasa kantuknya, meski ia merasa lapar. Zahra McKenzie pun tidak berapa lama terlelap dalam tidurnya.

Di tempat yang berbeda, seorang pemuda turun dari motor balapnya, dan berjalan dengan tergesa menuju rumahnya. Sebuah rumah yang megah dengan banyak pilar di sisi setiap bangunan. Mengetuk dengan tidak sabar dan memencet bel rumahnya beberapa kali, hingga seorang pelayan rumah membukakan pintu untuknya.

Pemuda tampan itu berjalan menuju belakang rumahnya, tempat biasa yang sering ia kunjungi jika ingin menemui kedua orang tuanya. Mereka biasa menghabiskan waktu berduaan saja di halaman belakang rumah. Berbincang-bincang sambil menikmati segelas kopi atau teh dan juga kudapan.

"Alghi, kamu sudah pulang?" tanya wanita paruh baya–sang ibu, menoleh, ketika mendengar suara langkah kaki putranya.

Pemuda tampan yang dipanggil Alghi pun mendaratkan tubuhnya di sofa taman yang empuk, melempar kunci motornya di meja di hadapannya.

"Ada apa dengan anak papa hari ini?" tanya pria paruh baya, ayahnya, saat memerhatikan wajah putranya yang tidak bersahabat.

"Tidak ada yang terjadi, Pa. Hanya begitu-begitu saja." Alghi tidak bermaksud untuk berbohong kepada sang ayah. Hanya saja saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalahnya.

Di bodohi seorang gadis yang terlihat lemah, dan kemudian mendapatkan ciuman, tepat di bibirnya, Alghi pikir bukan sesuatu yang bisa ia utarakan dengan mudah di hadapan kedua orang tuanya. Meski sejak kecil, Alghi terbiasa terbuka kepada kedua orang tuanya. Hampir tidak ada rahasia di antara mereka bertiga. Bahkan, saat ia mendapatkan mimpi basahnya untuk pertama kali, tanpa malu, Alghi menceritakannya kepada ibunya, tanpa merasa malu.

Kemudian Alghi hendak mengambil kue yang tersaji di hadapannya.

"Cuci tangan dulu, Sayang." Sang ibu menahan pergelangan tangan putranya.

Alghi, kemudian beranjak dari tempatnya duduk menuju tempat cuci tangan. Membersihkan tangannya dengan sabun dan membilasnya hingga bersih. Setelah itu, ia kembali bergabung dengan kedua orang tuanya. Menikmati kudapan siang jelang sore. Entah mengapa, bayangan saat gadis itu menciumnya, tiba-tiba berputar kembali di kepalanya. Membuat selera makannya menghilang begitu saja. Alghi menghabiskan sisa kudapan di tangannya dengan sekali suapan, dan ia berpamitan kepada kedua orang tuanya, untuk beristirahat.

"Ada apa dengan anak kita, Sue?" tanya ayah Alghi, Hendra Fauzi.

"Entahlah. Wajahnya seperti baru saja mengalami puber pertamanya," ibunya Susan Aprilia menjawab lirih. Membuat Hendra Fauzi menahan tawa.