Alghifari Fauzi menahan tangan Zahra McKenzie menorehkan tintanya di atas cek itu. Merebut buku cek dan juga pulpen dari tangan Zahra McKenzie dengan kasar.
"Aku tidak butuh uangmu!" Alghifari Fauzi merasa darahnya mendidih. Perempuan ini, seenaknya saja bertindak.
Sebentar-sebentar terlihat lemah, sebentar-sebentar terlihat kuat, sebentar-sebentar terlihat angkuh dan juga sombong, sebentar-sebentar bersikap baik dan manis, dan sekarang benar-benar bertindak merendahkan. Jangan lupakan bibir manisnya, pintar sekali berbohong. Perempuan ini benar-benar memiliki banyak rupa. Yang manakah sifatnya yang asli?
"Aduh, Kakak ini. Katanya aku harus melunasi hutang. Aku mau bayar, Kakak malah seperti ini. Maunya bagaimana?" Zahra McKenzie menatap tajam iris mata cokelat tua milik Alghifari Fauzi, yang jika diamati lebih seksama, mata itu begitu menawan. Eh? Ada apa ini? Zahra McKenzie mengalami perang batin. Lekas ia menggeleng. Mengenyahkan pikiran aneh yang sempat terlintas di benaknya tadi.
"Kau harus membayarnya dengan cara lain." Alghifari Fauzi menyeringai. Membuat Zahra McKenzie mengerutkan dahi.
"Baik. Kakak ingin apa?" Zahra McKenzie tanpa ragu ikut dalam perangkap yang dibuat oleh Alghifari Fauzi.
"Aku–ingin–kamu–jadi–pacarku!!" Alghifari Fauzi sengaja mengucapkan dengan menekan kata per kata. Agar Zahra McKenzie memperhatikan ucapannya.
"A–apa, Kak?" Zahra McKenzie tidak salah mendengarkah?
Laki-laki ini, apa sedang melamarnya, untuk dijadikan kekasihnya?
Caranya benar-benar aneh, tidak masuk akal, dan tidak romantis!! Seharusnya, lakukan pendekatan terlebih dahulu bukan? Membuatnya merasa nyaman, membawanya ke tempat yang spesial, baru kemudian menyatakan cintanya dengan sebuket bunga mawar. Setidaknya itu yang pernah Zahra McKenzie dapati di novel-novel romantis yang pernah dibacanya.
Tiba-tiba saja, Zahra McKenzie tertawa seraya memegangi perutnya. Membuat Alghifari Fauzi bingung. Acting apalagi ini?
"Kakak, Kakak memintaku untuk menjadi pacar Kakak?" tanya Zahra McKenzie memastikan. Menyeka sudut matanya yang berair, karena tertawa.
"Ya!!" Alghifari Fauzi menjawab dengan ketus.
"Tidak bisakah, sedikit romantis?" Zahra McKenzie mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf c, dengan membuka sedikit celah di antara jari telunjuk dan jempolnya.
"Kamu mau jadi pacarku atau tidak? Atau kamu memilih untuk dibuat menderita seumur hidupmu?" Alghifari Fauzi mulai tidak sabar. Perempuan ini, benar-benar mengujinya. Namun anehnya, mengapa Alghifari Fauzi malah ingin menjadikannya pacarnya? Sungguh bertolak belakang. Bukankah, jika menjadikan pacarnya, Alghifari Fauzi akan selalu diuji kesabarannya? Ataukah, dia punya rencana lain?
"Tidak mau!!" Zahra McKenzie langsung membereskan tasnya dan hendak beranjak dari kelasnya, meninggalkan laki-laki aneh ini sendirian.
"Aku gak nerima penolakan!!" Alghifari Fauzi menangkap pergelangan tangan Zahra McKenzie. Gerakan ini tentu saja membuat Zahra McKenzie mau tidak mau memutar badannya, menghadap kakak kelas yang aneh.
"Kakak ... tolong lepas." Zahra McKenzie berbicara dengan nada rendah.
"Kalau tidak?"
"Di luar ada pengawalku. Dan dia jago bela diri. Jika Kakak paham maksud ucapanku." Alghifari Fauzi tercengang. Bodoh! Untuk sesaat tadi, ia melupakan pengawal bertubuh besar dan berotot itu.
Tidak ingin membuat masalah, Alghifari Fauzi lantas melepaskan cengkramannya. Membebaskan Zahra McKenzie. "Kau masih berhutang penjelasan kepadaku atas hal tempo hari lalu." Kemudian, ia pergi begitu saja dari kelas, meninggalkan Zahra McKenzie sendirian.
Apa? Semudah ini, melepaskan diri dari lelaki yang sedari awal begitu mengintimidasi, lalu tiba-tiba memintanya untuk menjadi pacarnya? Lelaki yang memang tidak buruk juga penampilannya, dan sebetulnya, jujur, benar-benar tampan! Seharusnya, tadi Zahra McKenzie menerima saja permintaannya. Tidak rugi juga menjadi pacar Ketua OSIS, tinggi dan tampan pula! Ah!! Zahra McKenzie dibuat menyesal hari ini. Bisa jadi, kesempatan itu hanya sekali. Apalagi jabatan Ketua OSIS itu begitu bergengsi di antara kalangan para siswa. Akan terlihat keren, bukan, jika Zahra McKenzie, siswa kelas satu, memiliki pacar seorang Ketua OSIS yang tampan.
Tidak berselang lama, pengawal David Long masuk ke kelasnya. Mendapati nona mudanya tengah berdiri mematung.
"Nona, kita pulang?" Dalam sekejap, Zahra McKenzie tersadar dari lamunannya. Mengerjapkan matanya beberapa kali.
Zahra McKenzie melangkah keluar kelas dengan diikuti David Long.
"Apa ada masalah, Nona? Mengapa Nona lama tidak keluar kelas? Apakah laki-laki yang tadi pagi menyulitkan Nona lagi?" David Long mengkhawatirkan nona mudanya. Sedari tadi hanya berjalan mondar-mandir di luar kelas, sesuai perintah sang nona, agar tidak mengikutinya ke dalam kelas. Nona mudanya merasa malu. Hei! Dia bahkan sudah lima belas tahun, dan bulan depan ulang tahunnya yang enam belas, sudah seharusnya sang ayah memberinya kepercayaan, bukan? Bahwa anaknya, kini bisa menjaga dirinya sendiri. Tidak akan membahayakan dirinya sendiri, lagi.
"Ah!! Diamlah Tuan David! Ucapanmu membuatku pusing." Zahra McKenzie berteriak dan langsung mempercepat langkahnya menuju mobil pribadi ayahnya.
Duduk dengan tenang di dalam mobil mewah sang ayah, ternyata tidak membuatnya merasa nyaman. Di dalam hatinya ada gundah melanda. Entah mengapa, hal seperti ini mengganggunya.
Biasanya, seorang Zahra McKenzie tidak pernah meralat atau membuat klarifikasi atas pernyataannya sebelumnya. Mereka yang mendapat penjelasannya cukup mempercayai ucapannya tanpa ragu. Tapi sekarang, sepertinya Zahra McKenzie mulai terkena batunya. Dan batunya adalah Alghifari Fauzi, si Ketua OSIS, yang tampan, sekaligus penyelamatnya beberapa waktu lalu.
Zahra McKenzie tidak pernah menduga bahwa ia akan bertemu kembali dengan orang itu lagi. Dia pikir, pemuda tampan yang menyelamatkannya, mungkin saja sudah kuliah, karena saat itu, kan, pemuda penyelamatnya tidak mengenakan seragam sekolahnya. Tapi ternyata, kenyataannya, laki-laki itu baru saja kelas tiga SMU. Benar-benar penampilannya saat itu telah membuatnya terkecoh.
Ya, Tuhan! Zahra McKenzie sekarang merasa malu. Dia telah mencium begitu saja laki-laki itu. Dan tanpa meninggalkan kesan. Kabur begitu mendapat kesempatan. Bagaimana ini? Zahra McKenzie bahkan baru masuk satu hari, dan besok, juga besoknya lagi, ia masih harus bertemu dengan Alghifari Fauzi. Entah apa yang ada dalam pikiran Ketua OSIS sekaligus ketua panitia itu, ketika menyadari siapa Zahra McKenzie.
Aaargh! Seharusnya tadi Zahra McKenzie menerima saja permintaan untuk menjadi pacarnya. Sebagai kompensasi membayar hutangnya. Laki-laki itu tadi mengatakan ia tidak butuh uangnya, kan? Jadi, saat bertemu nanti, mereka tidak akan merasa canggung, yeah, maksudnya, Zahra McKenzie tidak perlu lagi merasa malu atas perbuatannya yang telah lalu.
Atau, jangan-jangan .... Alghifari Fauzi sengaja memintanya untuk menjadi pacarnya, dengan tujuan memanfaatkan dirinya. Menganggap dirinya perempuan murahan, karena berani mencium laki-laki asing yang baru saja ia temui.
Ya, bisa jadi begitu. Bukankah Alghifari Fauzi berniat membuat perhitungan dengannya? Membalas perbuatannya. Membuatnya jatuh cinta, hingga merasa bahwa hidupnya tidak berarti tanpa Alghifari Fauzi, dan akhirnya kemudian ia akan mencampakkannya. Sebagaimana dirinya yang sebulan lalu, meninggalkan laki-laki penyelamatnya setelah menciumnya dengan tiba-tiba. Itu sama dengan mencampakkankah?
Ah ... Zahra McKenzie terlihat menghela napas panjang.
"Apa ada masalah, Nona?" Tiba-tiba saja suara David Long membuyarkan perang batinnya.
"Berhentilah bertanya, dan fokus menyetir!" Pengawal dan supir pribadinya yang satu ini sungguh rasa ingin tahunya besar sekali. Menyebalkan!