Chereads / K I R A N A / Chapter 10 - Pengharapan & Pembalasan 3

Chapter 10 - Pengharapan & Pembalasan 3

Namun, Aini masih bergeming, tatapannya tak lepas dari wajah lelaki yang membuatnya tergila-gila, sampai dia harus melamar pekerjaan di kantor pusat Corner Crop.

"Nona, Anda tidak mendengar ucapanku?" tanya Jacob datar, tetapi tatapan matanya begitu sinis.

"Baiklah, aku tunggu di luar, ya," jawab Aini seperti tak memedulikan sikap dingin pujaan hatinya.

Jacob menggerakkan kedua bahunya sembari mengangkat satu alis, tanda tak peduli karena gadis itu seperti pura-pura tak paham maksudnya. Lalu, Aini akhirnya keluar dengan perasaan cukup kesal.

"Susah sekali mengambil hatimu," gumamnya sambil terus melangkah.

Angga yang dari tadi berdiri di dekat pintu, mengikuti langkah Aini.

"Aini," sapa Angga. Karena dia sudah tahu nama gadis itu saat mengecek surat lamaran.

"Ya," sahut Aini.

"Sini duduk dulu. Kamu mau ngopi atau mau teh?" tawar Angga.

"Darah bayi ada?" seloroh Aini, tetapi sukses membuat Angga terbelalak.

"Jangan becanda!" ujar Angga sembari berkacak pinggang.

Aini pun tertawa lepas melihat wajah Angga berubah. Semua mata pun tertuju pada gadis slengean itu. Tanpa disadari, Jacob sudah berdiri di belakang Aini. Akan tetapi, Aini masih saja tertawa sambil tubuhnya miring ke kiri dan kanan.

Aini membalikkan badannya saat Angga memberi kode. Gadis itu mengira kalau Jacob memerhatikan dia di depan pintu ruangan kerja, nyatanya ....

Aini tertegun, kini jaraknya hanya beberapa senti meter dari lelaki tampan itu. Detak jantungnya mulai tak karuan. Situasi seperti ini yang sangat dinanti-nanti, tetapi justru membuat Aini gemetaran. Dia menengadah, memastikan raut wajah Jacob.

"Sial! Kenapa wajahnya terlihat biasa-biasa saja. Kenapa tidak seperti adegan di drama-drama Korea," celetuk Aini dalam hati. "Apa dia hanya mencintai iblis betina itu."

"Sudah becandanya? Anda kira ini tempat pertunjukan badut. Mengganggu jam pekerjaan saja. Masuk ke ruanganku!" perintah Jacob.

Aini tetap tersenyum walaupun hatinya mendongkol. Dibentak seperti anak kecil, lalu para karyawan di dalam ruangan itu berbisik-bisik sambil mencibir.

Jatuh cinta, siapa yang tidak pernah merasakan? Jika cinta sudah merajai, rasa malu pun tak ada.

Setiba di ruangan Jacob, Aini kembali disuguhi pertanyaan-pertanyaan. Tak ada pertanyaan yang sulit dijawab oleh sang gadis. Dia pintar dan juga sudah bertitel. Hanya saja selama ini, Aini tak diperbolehkan bekerja oleh ayahnya. Uang yang didapat Mbah Suki, itu lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan mereka berdua. Aini yang memang terbilang pemalas, dia sangat senang dengan keputusan sang ayah. Akan tetapi, ketika pertama melihat Jacob, lalu jatuh hati, dia memutuskan untuk bekerja agar bisa selalu bertemu dengan pujaan hati.

"Mulai besok silakan bekerja. Ingat, jangan pernah telat, kalau telat gaji Anda akan dipotong separoh, Nona."

Aini sangat bahagia, saking semangatnya, dia tanpa sadar melompat dan memeluk lelaki tampan itu. Wajah Jacob memerah, jantungnya mulai berdetak lebih kencang. Ada perasaan aneh menjalar, hingga darahnya berdesir berkali-kali. Lalu ....

"Anda sakit, Nona? Jaga sikap, ya," ucap Jacob. Dia terlihat kikkuk.

"Maaf, Pak, maaf. Aku terlalu bersemangat." Kini wajah Aini yang gantian memerah. "Aku ditempatkan di bagian apa, Pak?" tanyanya kemudian.

"OB," jawab Jacob singkat.

"Kalau cuma jadi OB, ngapain juga ditanya-tanya banyak," sungut Aini.

"Anda tidak mau, Nona?"

"Mau ... mau, kok, siapa bilang nggak mau. Hehehe." Aini cengenggesan dan salah tingkah. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu tersenyum sambil memandangi ujung sepatu.

***

Mentari mulai merayap, kini langit tampak gelap. Jacob duduk di ruang tengah, menonton berita di televisi sambil menikmati secangkir kopi. Sementara di kediam Erlangga, tampak sesosok manusia meringkuk di sudut kamar. Iya, Erlangga diam-diam pulang ke rumahnya. Dia kini tak punya siapa-siapa lagi. Mau kabur ke luar negeri, kesempatan tak memberinya ruang. Sesuatu yang aneh terjadi padanya di bandara. Erlangga seperti orang kebingungan, lalu sesekali matanya melotot melihat ke arah ruang hampa.

Kirana, iblis betina mulai turun tangan. Dia muncul di beberapa tempat, sehingga Erlangga tak berkutik. Pria lalim itu terpojok, rasa takut yang tak terbendung, membuat dirinya menjadi setengah gila.

"Sayang, datanglah ke rumah pria terkutuk itu," bisik Kirana.

Jacob tersedak saat dia menyesap kopi. Kini orang yang dicintainya telah duduk di samping kiri, menyuguhkan senyuman, lalu mengusap sudut bibir Jacob yang terkena ampas kopi.

"Kirana?" Jacob mengulurkan tangan hendak menyentuh sosok di sampingnya, tetapi Kirana menghindar.

"Jangan sekarang, jiwaku belum sempurna dan emosiku tidak stabil," sergah Kirana.

Jiwa katanya? Dasar iblis, kerjanya cuma menyesatkan manusia.

Arwah bergentayangan, mati dalam ketidakwajaran, memberi peluang untuk para iblis. Nyatanya, arwah Kirana tak akan pernah tersesat jika tidak diperalat kegelapan. Jacob pun sampai terlena karena tak merelakan cintanya sirna. Pada akhirnya, iblis betina itu tercipta dengan sempurna.

***

Pukul sebelas malam, Jacob pun pergi menuju rumah Erlangga. Tak lupa dia menyelipkan senjata api di balik jaket kulitnya dan sebuah kamera kecil. Kali ini dia yakin kalau pria yang membunuh Kirana itu akan menerima pembalasan.

Sesampai di arean tujuan, Jacob menepikan mobilnya. Sengaja parkir agak jauh dari rumah Erlangga, agar dia tidak ketahuan. Benar saja, di rumah itu terlihat semua lampu menyala. Suara televisi pun terdengar. Jacob menyelinap masuk melalui pintu belakang. Karena saat pertama kali datang ke rumah itu, pria yang kini tengah hati-hati berjalan, sudah mengecek semua lokasi.

Cetak!

Pintu belakang berhasil dicongkel.

"Mati kau Erlangga," ucap Jacob setengah berbisik.

Jacob terus melangkah ke arah suara TV yang menyala. Sambil memegang senjata api, dia mengarahkan pada kursi sofa. Ternyata kosong, Erlangga tak ada di sana.

"Sial!" Jacob mengutuk, lalu dia melangkah ke ruangan lain.

Lelaki tampan itu juga tak menemukan apa-apa. Dia semakin murka, hingga kaca lemari yang di dalamnya terdapat jejeran barang antik, menjadi sasaran.

Dor!

Suara tembakan memecah kesunyian. Tak lama terdengar suara seseorang berteriak minta pertolongan. Jacob gegas berlari ke lantai atas. Di sana, Erlangga telihat mengeleng-geleng, matanya melotot ke suatu arah.

"Pasti Kirana?" tebak Jacob. Lalu dia menghampiri Erlangga sembari bertepuk tangan. "Mau lari kemana kau, bedebah!"

"Tolong aku. Ampun," ucap Erlangga, matanya masih tak lepas dari sesuatu.

Jacob semakin mendekat, dia melihat ada darah berceceran di lantai. Lalu, pandangannya berhenti di dekat kaki Erlangga.

"Bunuh dia, Sayang!" Jacob langsung menoleh ke jendela. Di sana Kirana sedang duduk santai sembari memainkan sesuatu.

"Tamat riwayat kau malam ini, Erlangga."

Dor!

Satu tembakan dilepaskan ke kaki Erlangga. Pria itu pun tersunggkur, lalu berkata, "Dia itu iblis, kau jangan percaya, Jacob." Erlangga menunjuk ke arah jendela.

"Dia itu kekasihku, bajingan. Bukan iblis!" bentak Jacob.

Lalu, Jacob menghanpiri Erlangga. Kemudian mengikat tangan dan kakinya dari kain seprai yang dirobek.

"Apa kau bilang tadi? Coba ulangi lagi!" Telapak tangan Jacob membulat, lalu menghajar Erlangga habis-habisan.

Belum puas, Jacob membuka laci meja mencari sesuatu. Dia mendapat pisau kecil berukir ular naga.

Plok!

"Tugasku selesai, aku harus pergi, Sayang," ucap Kirana, ia melempar sebongkah daging yang sempat dimainkan tadi.

Jacob tertegun, lalu menyibak handuk yang melilit di pinggang Erlangga. Ternyata senjata rahasianya sudah tidak ada di sana. Kirana telah mencabut kepunyaan Erlangga. Jacob menyeringai melihat penderitaan si pembunuh Kirana.

"Kau katakan sejujurnya, kenapa kau bunuh Kirana?!" teriak Jacob. Dia tak menghiraukan lagi masalah si Joni milik Erlangga.

Kamera kecil yang ditempel dekat kerah jaket, diaktivkan. Jacob ingin mengumpulkan semua bukti untuk diserahkan pada Kim-tan, agar pria pemilik Corner Crop itu percaya kalau anaknya sudah tiada.

"Cepat katakan!" bentak Jacob dengan suara baritonnya.

Erlangga tak punya pilihan lain lagi. Dia menceritakan semuanya dengan kata-kata yang membuat Jacob menjadi jenuh. Intinya, semua itu dilakukan karena dendam.

"Mati kau!" Tembakan terakhir membuat Erlangga berhenti bicara. Karena peluru tepat mengenai kepalanya.

Jacob terhenyak ke lantai, seketika pikirannya berubah. Di benaknya mulai datang banyak pertanyaan. Mengapa dia sampai sekejam itu.

"Semuanya terjadi begitu saja. Sekarang aku harus ngapain?" Jacob bangkit, kemudian berjalan ke bawah. Dia menemukan kampak tergeletak di sudut meja TV.

Tiap ruas tubuh Erlangga, kini sudah disusun rapi di dalam kantong plastik berwarna hitam. Jacob panik, sehingga dia lupa menghubungi para pengawal untuk membantu. Dan Jacob pun lupa kalau ada kolam buaya yang bisa digunakan untuk menghilangkan jejak.

Malam kian larut, udara semakin dingin. Jacob terus menggali tanah—setelah dia kembali memasukkan potongan tangan Erlangga yang sempat keluar dari kantong plastik—saat dia terjatuh karena kakinya tersandung akar pohon yang menyembul.

Kemudian setelah dirasa cukup, Jacob berhenti menggali tanah. Lalu memasukkan satu per satu potongan tubuh orang yang telah melenyapkan kekasihnya itu.

Berambung ....