Di balik tirai ruang khusus tempat semedi, Mbah Suki memulai ritual. Menyempurnakan arwah Kirana, agar ia bisa mengungkap siapa yang selalu hadir menemui Jacob. Semua itu dilakukan juga demi putri satu-satunya. Dukun sakti itu tak ingin Aini mendapat teror terus menerus. Karena bisa membahayakan jika Aini sedang terlengah.
"Aku berangkat dulu, Yah!" seru Aini.
Mbah Suki tak menjawab karena dia sudah mulai merapal mantra.
Sebelum kaki Aini melangkah naik angkot, dia terjerembab. Ada sesuatu menarik keras rambutnya yang panjang tergerai dan masih setengah basah.
"Sial," gerutunya. Sementara orang-orang yang berada dalam angkot hanya melongo.
Namun, di saat Aini sibuk membersihkan celananya, seseorang datang sambil mengulurkan tangan.
"Boleh aku bantu?" tawarnya.
"Iyah, boleh ...." Ucapan Aini terputus ketika dia mendongak. Sesaat Aini terpana.
"Hei, malah bengong," tegur lelaki itu sembari menjentikkan jari.
Aini gegas berdiri tanpa meraih tangan si lelaki yang masih terulur. Dia menyibak rabut yang menutupi sebagian wajahnya. Lalu berkata, "Terima kasih, Mas."
"Kamu aja nggak menerima batuanku, masa ngucapin terima kasih," ujar lelaki jangkung yang memiliki lesung pipi itu.
"Buruan, Neng!" teriak supir angkot.
"Jalan aja, Pak. Biar saya yang nganter si nona ini ... ."
"Eh, eh, nggak mau. Aku belum tau siapa Anda. Udah, aku berangkat dulu. Bye." Aini naik ke angkot dan melambaikan tangan pada lelaki yang belum dia kenal.
Sesampai di kantor, Aini langsung ke dapur. Berganti pakaian, lalu membuat kopi untuk si bos tampan. Akan tetapi, di saat dia masuk ke ruangan Jacob, tak terlihat sesiapapun. Aini hanya mencium bau si iblis betina yang entah bersembunyi di mana.
"Konsentrasi," ucap Aini dalam hati sambil meletakkan jari telunjuk di pelipis.
Namun, gadis cantik itu heran, seperti ada sesuatu yang menutup penglihatan. Tak lama, dia mendengar suara rintihan. Aini mendekati pintu kamar mandi yang tersedia di ruangan ini. Dan, suara itu benar berasal dari sini.
"Hentikan, Pak!" seru Aini ketika melihat Jacob sedang asyik bergumul dengan iblis betina.
Jacob terperanjat, dia langsung memungut pakaian yang dibiarkan berserak di lantai. Sementara Aini langsung menutup matanya di saat Jacob membalikkan badan. Lalu, gegas menjauhi tempat itu.
"Heh! Kamu jangan keluar dulu," titah Jacob.
"Mampus aku," keluh Aini sembari menepuk jidat.
Sang gadis duduk di kursi, memelintir ujung rambut sambil menunggu si bos selesai berpakaian. Dia tidak cemas jika dimarahi, tetapi hanya malu ketika mengingat pemandangan yang baru saja disaksikan. Wajahnya memerah dan helaan napas terdengar tak beraturan.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah semakin mendekat. Aini gegas menundukkan wajah, tak ingin menatap langsung lelaki yang sangat dicintainya itu karena rasa jijik tiba-tiba mendera.
"Aku harus bagaimana?" batin Aini.
"Heh! Angkat kepalamu, Nona!" Aini menengadah sebentar, lalu menunduk lagi. "Jangan mentang-mentang kamu itu anak Mbah Suki, bisa seenaknya aja bertingkah di kantor ini," sambungnya dengan nada sinis.
"Maaf, Pak, aku hanya ingin menjagamu."
"Jangan banyak alasan, buktikan saja dengan perilaku kamu setelah ini. Dan tolong hargai aku sebagai atasanmu. Tidak dibenarkan sok akrab denganku, atau kalau tidak ...."
"Kalau tidak, apa Tuan Jacob?" Seseorang masuk ke ruangan itu dan menyela ucapan Jacob.
"Eh, Bro! Kapan kamu datang?"
"Ini, aku baru datang. Nggak liat apa?" Lelaki yang sebaya dengan Jacob itu, dia menyengir seperti kuda.
"Ck! Kamu bisa aja," ujar Jacob. Lalu, menghampiri Edwar—sahabatnya sedari duduk di bangku SMA.
Mereka saling berpelukan, menepuk-nepuk pundak dengan kekuatan. Walau terasa sedikit menyakitkan, tetapi begitulah cara mereka.
"Siapa dia?" tanya Edwar menunjuk gadis yang sedang duduk menunduk.
"Dia anak Mbah Suki, dukun yang kamu sarankan dua bulan lalu," jawabnya, kemudian melepas pelukan. "Kamu keluar dulu, lain kali dilanjut," perintah Jacob pada Aini.
Aini pun mengangguk, lalu bangkit dari tempat duduk.
"Kamu?" Serentak Aini dan Edwar melontarkan pertanyaan dengan menunjuk wajah.
"Ada apa ini?" Jacob mengerutkan dahi.
"Permisi, aku keluar dulu," ucap Aini buru-buru melangkah.
Namun dengan sigap Edwar meraih lengan Aini, sehingga gadis cantik itu terkesiap dan langsung menoleh menatap pria itu yang telah lancang menyentuh kulitnya.
"Tunggu dulu, Nona. Kita belum kenalan, kan? Kenalkan, aku Edwar. Aku adalah teman bosmu yang galak ini," selorohnya.
"I-iya, salam kenal," ucap Aini, kemudian menyentak lengannya yang masih digenggam oleh Edwar.
"Aw ... aw ... kamu galak juga, ya." Edwar tersenyum, lalu mengedipkan sebelah mata ke gadis yang membuatnya terpesona.
Aini tak memedulikan, gegas dia meninggalkan ruangan Jacob. Di pintu, Aini memergoki si perawan tua sedang mengintip. Susanti tampak tenang, tak kaget sedikit pun saat ketahuan. Karena sudah seperti menjadi hobi, pengin tahu masalah orang lain.
"Asyik, ya, bisa diperebutkan dua pria tampan. Tajir melintir lagi," sindir Susanti.
"Maaf, bisa kasih jalan!?" bentak Aini kesal.
"Ops! OB yang songong." Susanti mencibir, lalu beranjak dari sana dengan memasang muka sinis.
Di ruang kantor bernuansa klasik, Edwar tak henti-hentinya memuji Aini. Bahkan dengan blak-blakan dia mengatakan telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Pertemuan tak terduga ketika sang gadis terjatuh di saat hendak naik ke angkutan umum. Jacob mengakui kalau Aini memang cantik, tetapi dia tidak tertarik. Dia kesal karena Edwar terus saja membahas anak si dukun sakti, yang bersikap seolah sudah dekat dengannya.
***
Perlahan, tetes-tetes air turun dari langit. Saling memburu seperti berlomba menghampiri tanah, bebatuan, dan segala isi bumi. Si cantik mulai resah, pikiran melayang pada kejadian tadi siang. Degup jantung mulai tak beraturan, kemudian wajahnya memerah.
"Panas," desisnya.
Ada sesuatu terjadi pada diri Aini. Perasaan lain dari biasanya, dia tak mampu membendung. Lalu, Aini merapal mantra. Dalam hitungan detik, sukmanya berpisah dari raga. Dan melesat dengan cepat, kemudian berhenti di sebuah kamar.
"Jacob," bisiknya. Aini semakin merapatkan diri pada lelaki yang sedang terlelap. Akan tetapi, dia tidak bisa menyentuh.
Jacob membalikkan badannya, kini wajah mereka saling berhadapan. Itu membuat Aini semakin kelimpungan, semakin mengutuk diri karena hanya bisa menahan perasaan yang aneh.
"Kalau aku ungkap perilaku kotor kau, mungkin kekasihku tidak akan memaafkan." Si iblis berwujud Kirana datang tiba-tiba. Membuat Aini reflek menjauhi tempat tidur Jacob.
"Gangguin orang aja ne setan," gerutu Aini.
"Hahaha ... kenapa? Kau berselera juga setelah menyaksikan permainan kami?" tanya si iblis memanas-manasi Aini.
"Kau licik, iblis gatel!" bentak Aini.
"Uh, hebat, kau sungguh hebat." Iblis betina meledek Aini sambil bertepuk tangan. "Kau lebih gatal, bela-belain memisahkan sukma dari raga hanya untuk bisa tidur di samping kekasihku," sambungnya.
Tak ingin mendengar dan mendebat, Aini segera pergi dari kamar itu. Perasaan dongkol menumpuk, apalagi kembali membayangkan kalau si iblis betina itu akan menggagahi lagi pujaan hatinya. Dia merasa tidak iklas sama sekali.
Bersambung ....