Edwar memutuskan untuk menetap di Indonesia, menjalankan perusahaan orang tuanya yang juga terikat dengan Corner Corp. Tak sulit bagi diri seorang Edwar, dia pintar dalam segala hal. Apalagi Jacob adalah teman karib. Jadi, pewaris perusahaan raksasa itu tidak akan mempersulit jalan berkembangnya saham milik keluarga Edwar.
Pagi-pagi Edwar sudah berada di ruangan Jacob. Sebelum anak angkat Kim-tan datang ke kantor. Ah, sungguh pemburuan yang dimulai secara buru-buru. Dalam hal apa, demi sahamkah? Tentu tidak, alasan yang sangat konyol hanya demi seorang gadis yang jelas-jelas jatuh hati pada teman karibnya. Akan tetapi, apa salahnya untuk mencoba. Dengan sikap Jacob yang dingin serta telah dibutakan oleh cinta sang iblis, tidak menutup kemungkinan Aini akan berpaling. Walau Edwar tidak tahu apa pun yang terjadi di antara Aini dan Jacob.
"Ck! Aku kira siapa tadi. Ngapain pagi-pagi udah di sini?" tanya Jacob setelah melihat Edwar duduk di kursi kebesarannya.
"Aku mau ngajak kamu sarapan di restoran seberang jalan," jawabnya.
"Aku udah sarapan, kamu aja yang pergi," tolak Jacob dengan nada datar.
"Oke. Kalau gitu, aku pinjam karyawan kamu, ya," ucapa Edwar sambil cengengesan.
"Angga belum datang."
"Yaelah, ngapain juga aku ngajakin si Angga. Itu tuh, anaknya Mbah Suki." Edwar berdiri, kemudian berjalan ke pintu. Celingak celinguk, tetapi gadis yang dia maksud belum tampak. "Dia kemana, sih? Udah jam segini belum datang juga."
"Dia memang gitu, sering terlambat. Seperti perusahaan ini milik moyangnya aja," gerutu Jacob.
"Kamu jangan gitu, dong. Namanya juga seorang gadis, mungkin dia dandan dulu, atau mengurus ayahnya. Hati-hati, kamu jangan terlalu keras sama dia, entar jatuh hati, rasain," ungkap Edwar serius.
"Apa? Jatuh hati? No ... no." Jacob mengacungkan jari telunjuk, lalu menggerakkan ke samping kiri dan kanan.
"Iya, awas aja kalau kamu suka sama dia. Aini jatahku," ucap Edwar sambil tertawa, tetapi serius dengan perkataannya.
Selang beberapa menit, terdengar ketukan pintu. Edwar gegas menghampiri, dia sudah menebak kalau yang datang adalah sang gadis yang ditaksirnya. Ternyata benar, Aini berdiri di depan pintu hendak mendorong pintu. Namun, tiba-tiba Edwar lebih duluan membuka. Nyaris saja Aini terjerembab karena tak menyadari kalau ada orang yang berdiri di balik pintu kaca tetapi tak tembus pandang.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Edwar ramah.
Aini menggeleng, lalu segera mengantarkan secangkir kopi ke meja Jacob.
"Aku buatin juga, dong," pinta Edwar, memasang wajah yang ditekuk seperti seorang anak meminta sesuatu pada ibunya.
"Baik," ucap Aini datar.
Sementara Jacob menggeleng-geleng melihat tingkah Edwar yang sedang dimabuk kepayang oleh seorang gadis yang baru dia kenal.
Edwar mondar-mandir di ruangan itu. Sesekali melongok keluar.
"Duduk, woi! Kamu seperti nggak pernah bertemu wanita saja. Padahal aku tahu gimana kelakuan kamu di LA. Pura-pura lugu pula, pura-pura kalau nggak pernah didekatin cewek-cewek cantik. Kamu tajir, War, jangan sampai mengemis cinta pada orang yang tidak kamu kenal seluk beluknya," ujar Jacob menasehati.
"Diem kamu. Kamu tu nggak tau kalau dia adalah berlian yang suci," bela Edwar.
"Sejak kapan kamu tobat?" tanya Jacob dengan nada sindiran.
"Jangan ngehina, deh. Ssst ... Aini datang." Edwar gegas duduk di sofa, pura-pura membaca koran.
"Ini kopinya, Pak. Oh, iya, Bapak hebat banget," ujar Aini sambil menahan tawa ketika koran yang dipegang Edwar, terbalik.
Jacob tetap tenang menatap laptopnya. Akan tetapi, dia mulai berpikir, apakah seistimewa itu seorang Aini? Dia mengusap-usap dadanya, ada perasaan lain yang hadir tiba-tiba. Namun, di saat dia hendak menoleh ke arah Aini, tatapannya langsung terlempar ke arah jendela. Di sana, si iblis betina sedang duduk sambil melambaikan tangan. Aini pun seketika juga menyadari kehadiran makhluk itu.
"Jangan buat kekacauan lagi," gumam Aini sembari melotot ke arah iblis betina itu.
"Apa, Nona?" tanya Edwar kebingungan. Dia menatap wajah Aini, kemudian mengikuti arah penglihatan sang gadis.
Tak ingin diketahui serta terjadi pertengkaran antara Aini dan kekasihnya, Jacob pura-pura menghalau burung yang kebetulan juga bertengger di sana.
"Please, Sayang. Jangan hari ini, ya. Ada sahabatku," bisik Jacob.
"Kalian kenapa, sih?" tanya Edwar lagi, lalu menghampiri Jacob dan bergantian menatap Aini yang masih fokus melihat jendela.
"Kamu nggak lihat ada burung, tuh, entar ia buang kotoran lagi." Jacob berusaha tenang. "Nona, antar Edwar sarapan di restoran seberang jalan," perintahnya sembari mengedipkan mata, memberi kode.
Aini paham, kemudian dia langsung menarik tangan Edwar untuk menjauhi ruangan tersebut. Karena si iblis betina tak juga beranjak dari tempatnya. Namun, lagi-lagi pikiran Aini terganggu. Dia menyangka kalau lelaki yang dicintai itu akan melakukan perbuatan menjijikan seperti kemarin pagi. Nyatanya, di saat dia keluar dengan Edwar, makhluk itu pergi setelah mengecup Jacob mesra.
Ah, mungkin saja si iblis betina sedang datang bulan, sehingga ia tidak menggagahi Jacob untuk saat ini.
Tanpa sadar, tangan Aini masih memegang lengan Edwar. Sampai di restoran tersebut, Edwar tidak berhenti tersenyum dan sesekali melirik ke wajah cantik nan imut itu.
"Duduk! Kamu mau makan apa, Pak?" tanya Aini ketus.
"Aku kecewa, tadi kamu begitu mesra menggiringku ke sini, sekarang kamu malah berubah jadi galak." Edwar menggaruk-garuk kepala, padahal tidak gatal sama sekali.
"Huuuft!" Aini hanya menghempas napas dengan kasar. Tak lama, pelayan pun datang.
"Mau pesan apa, Nona?" tanya pelayan sembari mengulurkan kertas tebal berisi menu-menu makanan dan minuman.
"Aku udah sarapan, tanya orang itu saja," ucap Aini. Dia menunjuk Edwar dengan memonyongkan bibir tipisnya.
"Kamu memang benar-benar membuatku gemes." Tanpa permisi, Edwar menarik hidung mancung Aini.
"Aw! Sakit tauk!" seru Aini.
Pertunjukan yang terjadi saat itu membuat si pelayan restoran senyum-senyum.
"Belum juga?" Tiba-tiba Jacob sudah berdiri di belakang tempat Aini duduk.
Sontak, Aini menoleh. Suara yang begitu dikenal, kini mengobati hatinya yang kesal terhadap sikap Edwar.
Sementara, Edwar mulai menebak bagaimana perasaan Aini terhadap Jacob. Dia tidak bodoh. Sudah banyak wanita dikencani, tak mungkin Edwar tidak bisa mengenali setiap karakter orang yang ditaksirnya.
"Silakan duduk, Pak. Mau makan apa?" tanya Aini begitu ramah.
"Hadeh. Sepertinya kali ini, kamu menang lagi, Jacob," ungkap Edwar memasang wajah putus asa.
Jacob tak paham apa maksud Edwar. Dia hanya mengernyitkan kening, lalu meraih menu di tangan pelayan. Edwar ingat betul ketika mereka saling berebut mendapatkan cinta Kirana. Kali ini mungkin dia akan mengalah lagi atau justru sebaliknya.
***
"Aku pulang, Yah!" seru Aini di depan pintu. Kemudian dia melongok sebentar ke ruangan khusus tempat semedi Mbah Suki.
Mbah Suki masih fokus merapal mantra, matanya terpejam, melanjutkan ritual sampai minggu depan.
"Hmmm ...." Aini bergumam, lalu melangkah ke kamarnya.
Rasa kantuk menyerang, dia tidur tanpa mandi terlebih dahulu. Tak lama, keringatnya bercucuran. Rasa panas seperti berada dalam kobaran api. Aini mencoba bangkit dari ranjang, tetapi kakinya tersandung, lalu jatuh. Seiring dengan tiang-tiang penyangga rumah menimpa tubuh mungilnya.
Aini berteriak minta tolong, tetapi tak ada seorang pun yang datang maupun mendengarnya. Dia cuma bisa menangis ketika api menjilati kulitnya sedikit demi sedikit.
"Apakah aku akan mati sebelum bersatu dengan cinta pertamaku?" guma Aini lirih dalam hati.
Bersambung ....