Aini tersentak dari tidurnya, melirik jam yang menempel di dinding, kemudian berkata, "Astaga, ternyata aku mimpi buruk."
Namun, di saat Aini membuka pakaiannya hendak mandi, dia melihat lutut sebelah kiri seperti ada luka bakar. Ingin berteriak memanggil sang ayah, tetapi diurungkan karena Aini ingat Mbah Suki masih melakukan ritual untuk penyempurnaan arwah Kirana.
Lalu, Aini melangkah ke meja rias untuk mencari salep pereda nyeri akibat luka bakar yang tidak tahu asal usulnya. Setelah mengolesnya, Aini kembali ke tempat tidur. Alhasil dia tidak jadi mandi.
Walau perih, tetapi Aini memaksa bersila, melipat telapak tangan dan menempelkan di dada. Bibir tipis nan merah mulai berkomat kamit, mencoba memundurkan penglihatan pada waktu yang tidak disadari. Benar saja, si iblis betina berhasil menelusup ke dalam kamarnya. Lalu, ia mencoba membakar Aini dalam keadaan tak sadar. Akan tetapi, Mbah Suki mengendus kehadiran si iblis. Terjadilah pertempuran sengit, hingga percikan api kecil yang keluar dari jari si iblis mengenai lutut Aini.
"Oh, begitu rupanya. Tapi, kenapa Ayah membatalkan ritualnya? Kalau gitu, ngulang lagi, dong." Aini bermonolog.
***
Suasana kantor sudah ramai, Aini terbebas dari yang namanya Edwar. Karena lelaki yang tak kalah tampan dari Jacob, sedang berada di luar kota untuk bertemu dengan klien. Langkah anggunnya menuju ruangan di mana sang pujaan hati sedang menunggu kopi buatannya.
Tok! Tok! Tok!
"Selamat pagi, Pak. Ini kopinya," ucap Aini setelah tiba di dekat meja.
"Em, letakkan saja disitu." Jacob masih sibuk memutar-muta pena dan menatap layar laptop.
"Pak, aku mau ngomong," panggil Aini.
"Ya, ngomong aja," sahut Jacob tanpa melirik Aini.
"Ini penting, Pak!" Aini sedikit meninggikan suaranya.
"Nggak liat aku lagi kerja?" Jacob melotot sebentar, lalu kembali menatap layar laptop.
"Pak, ini tentang Kirana," ucap Aini dan memberanikan diri menyentuh pundak Jacob.
Jacob menghela napas, kemudian berkata, "Ada apa lagi ini?"
"Sini dulu, Pak," ajak Aini sembari menyeret tangan kekar Jacob menuju ke sofa panjang.
Aini menghela napas panjang, kemudian dilepaskan perlahan. Sementara Jacob menyipitkan matanya menunggu apa yang akan dikatakan karyawan cantik tersebut.
"Apa, sih?" tanya Jacob lagi.
"Aku harap Anda tidak menuduhku mengada-ngada, ya, Pak."
"Ck! Langsung aja, deh. Kebanyakan opening, nggak liat ini masih jam kerja?"
"Oke, oke. Masih ingat barang antik yang dulu diberikan oleh Ayah padamu, Pak?" Jacob mengangguk. "Nah, kita bahas yang itu dulu," lanjut Aini.
"Iya," jawab Jackob datar.
Aini menerangkan kalau barang yang disuruh simpan ayahnya adalah tempat mengurung arwah Kirana agar ia tidak sesat dan menjadi arwah jahat. Mata Jacob terbelalak mendengarkan penuturan Aini, tetapi dia masih kurang percaya. Lalu, Jacob berjalan ke arah meja yang di mana ponselnya tergeletak. Niat hatinya ingin bertanya langsung pada Mbah Suki.
"Eith! Mau ngapain, Pak?" tanya Aini menyambar ponsel Jacob.
"Aku mesti tanya ayahmu saja, entar kamu bohong lagi," ujarnya.
"Ponsel Ayah nggak aktiv."
"Jangan bohong!"
"Coba aja kalau nggak percaya," ucap Aini sambil mengedikan bahu. "Pak, jika yang Bapak kencani itu adalah Kirana beneran, mungkin aku tak akan terlalu ikut campur. Walau ...."
"Walau apa?" tanya Jacob menyela ucapan Aini.
"Walau aku mencintaimu." Tiba-tiba Edwar datang.
"Apaan." Aini melotot ke arah Edwar, lalu menggeleng-geleng.
"Yah, lagi-lagi aku harus mengalah buatmu, Bro. Aku yakin kalau Nona Aini menyukaimu," ujar Edwar blak-blakan.
Namun, Jacob hanya diam. Matanya malah menatap ke sudut ruangan. Di sana iblis yang dianggapnya kekasih juga sedang melotot ke arah Aini. Seperti hendak menerkam. Aini yang juga menyadari, dia menyeret Edwar keluar dari ruangan Jacob. Akan tetapi, si iblis betina melayang, mencegat langkah Aini.
"Kirana!" seru Jacob.
Edwar tercengang, dia membalikkan tubuh atletisnya ke arah Jacob, lalu menatap Aini seperti menunggu sebuah penjelasan.
"Telat! Tutup pintunya, Pak. Jangan sampai yang lain tahu." Aini mendorong Edwar agar tidak terkena percikan air liur si iblis.
Bibir tipisnya mulai borkomat kamit, cahaya biru pun keluar dari telapak tangan Aini. Sementara Edwar makin kebingungan, sedangkan Jacob terus meracau agar sesuatu yang tak bisa dilihat oleh Edwar, segera dihentikan.
Aini tersungkur, darah segar meleh dari sudut bibirnya. Karena si iblis betina bukanlah tandingannya. Sambil memegang dada, Aini mencoba untuk bangkit lagi. Akan tetapi, serangan kembali dilepaskan oleh si iblis. Belum sempat mengenai tubuh sang gadis, Jacob dengan sigap melompat melindungi Aini.
"Agh!" Jacob mengerang. Karena serangan itu membuat tubuhnya terasa dihantam balok sebesar paha manusia dewasa.
Edwar yang tadi hanya diam menyaksikan, dia mulai berkomat kamit juga. Walau tak bisa melihat, tetapi Edwar adalah seorang hafiz. Ayat-ayat suci pilihan pun, membuat makhluk tak kasat mata itu merasa kepanasan. Lalu, suasana ruangan itu kembali terasa adem. Edwar mengusap telapak tangan ke wajahnya. Lalu, menghampiri Aini dan Jacob yang tergeletak di lantai.
Jacob terbatuk-batuk sembari berusaha bangkit. Dari mulutnya juga keluar darah, sedangkan Aini pinsan. Tubuh kecilnya tak kuasa menahan, apalagi mengeluarkan tenaga dalam yang dipaksakan.
"Aini." Jacob menepuk-nepuk pipi gadis itu.
"Bro, kamu istirahat dulu. Ini minum air putih," tawar Edwar.
Kemudian, Edwar menggendong Aini lalu diletakkan di atas sofa.
"Bawa ke rumah sakit," pinta Jacob.
"Yang beginian gimana ngobatnya coba? Udah, entar aku buatkan kalian obat biar kembali pulih."
"Kenapa nggak dari tadi kamu baca-bacain, sengaja membiarkan kami terluka?" tanya Jacob sambil meringis, memegang pundaknya.
"Ya, mana kutahu. Kamu kira aku ini indigo. Kalian juga salah, udah tahu ada jin yang masuk ke ruangan ini, malah main kode-kodean aja," celetuk Edwar.
"Aku kira masih bisa ditangani tadi. Tapi, ya, begini jadinya."
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Edwar menatap Jacob penuh selidik.
Jacob pun menjelaskan panjang lebar, sampai menceritakan tentang hubungannya dengan iblis yang masih dia anggap Kirana. Rencananya, dia akan menemui Mbah Suki agar bisa mengetahui kebenaran.
"Aku baru ingat kalau kamu bisa ngaji," ujar Jacob mencoba mencairkan suasana setelah penjelasanya membuat Edwar bergidik. "Tapi, kenapa kamu menyarankan aku untuk mencari dukun?"
"Ya, gimana lagi. Aku bisa ngaji bukan berarti bisa menerawang orang-orang yang kamu cari. Tapi sumpah, aku menyesal. Gara-gara kejadian itu, temanku satu ini menjadi lebih kejam," ucap Edwar sembari menepuk-nepuk kening.
"Aku kalap, War. Maaf."
"Kamu tinggal tobat aja selagi masih diberikan nyawa oleh Tuhan. Tapi, gara-gara kejadian ini, kamu dapat pengganti wanita yang lebih baik." Edwar menunjuk Aini yang masih belum siuman.
"Ck! Jangan membanding-bandingkan Kirana dengan Nona Aini, War. Aku nggak suka." Jacob mencelos.
"Movi on, Cob. Aku tahu kalau Aini menyukaimu."
Suasana kembali sunyi, hanya detak jarum jam yang terdengar. Ruangan kedap suara itu menjadi saksi bisu selain mereka bertiga, tak ada yang tahu kecuali pintu terbuka. Di luar masih terlihat biasa-biasa saja. Para karyawan bekerja dengan tenang.
***
Seminggu telah berlalu. Semenjak kejadian itu, Aini masih belum sadarkan diri. Jacob kembali bekerja seperti biasanya, tetapi sepulang dari kantor, dia selalu mengunjungi Aini yang pastinya ditemani oleh Edwar agar tidak diganggu si iblis betina. Seperti menjadi tameng, Jacob ketergantungan pada teman karibnya.
Mbah Suki pun sudah menyelesaikan semedinya, walau begitu, dia tahu kalau Aini sedang tak baik-baik saja. Mbah Suki menyerahkan pengobatan pada Edwar dan dia juga berjanji akan membuang semua ilmunya jika arwah Kirana pergi dengan tenang.
"Anak muda, besok bawa benda yang pernah aku serahkan padamu. Dan satu lagi, jangan lupa bawa ayam cemani jantan."
"Baik, Mbah," ucap Jacob.
Edwar mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tas, kemudian menyerahkan pada Jacob.
"Beri Aini minum."
Jacob melihat ke arah Mbah Suki, lalu pria paruh baya itu mengangguk tanda menyetujui. Dia meraih botol dari Edwar, lalu melangkah ke kamar Aini. Gadis cantik berbibir tipis tampak pucat, membuat hati Jacob terenyuh. Lalu, Jacob mendekat, duduk di samping Aini.
Namun, sangat sulit bagi Jacob memberi Aini minum menggunakan sendok. Tidak ada reaksi sedikit pun dari gadis itu. Air yang dimasukkan ke mulutnya malah keluar lagi. Sampai dia bingung menggunakan cara apalagi.
Jacob berjalan ke arah pintu, lalu melongok.
"Nggak bisa," ucap Jacob sembari menggeleng-geleng.
Edwar berpikir sejenak, walau idenya agak gila dan tidak diperbolehkan, tetapi dia tetap menyarankan itu dengan memberi kode meletakkan jari di bibirnya.
"Nggak ... nggak boleh," larang Mbah Suki.
"Mbah tenang aja, ntar mereka akan bersatu juga, kok," ujar Edwar asal-asalan.
Mbah Suki hendak menghampiri kamar Aini, dicegat oleh Edwar.
"Cepat, Cob. Buruan!" seru Edwar cekikikan.
Jacob gegas memasukan air itu kedalam mulutnya, lalu ....
Aini siuman, dia merasakan ada sentuhan hangat. Dan, Aini pun membalas. Melahap bibir Jacob dengan rakus. Aliran darah semakin kencang, detak jantung mereka pun mulai tak beraturan.
Tap! Tap! Tap!
Terdengar langkah mendekati kamar, permainan segera mereka hentikan. Mbah Suki tercengang sekaligus bersyukur karen melihat Aini sudah siuman. Sementara Edwar jingkrak-jingkrak sambil mengulurkan lidah di belakang Mbah Suki.
***
Keesokan harinya, Jacob datang lagi bersama Edwar, membawa pesanan yang dikatakan Mbah Suki.
"Ini, Mbah. Dan ayam cemnainya ada di luar," ucap Jacob.
"Bawa ke sini."
"Oh, baik, Mbah."
Setelah ayam cemani diserahkan pada Mbah Suki, ayah Aini mulai melakukan ritual terakhir. Memberi isyarat pada Jacob, agar di saat dia menyembelih ayam tersebut, langsung tampung darah tetesan yang pertama. Jacob pun mengangguk paham.
"Aku izinkan kau untuk terakhir kali, mengucapkan kata-kata perpisahan pada Nona Kirana yang sesungguhnya," ucap Mbah Suki. "Tutup matamu anak muda."
Jacob mengikuti perintah Mbah Suki, lalu pria paruh baya itu membuka tutup guci yang terbuat dari tembaga.
"Buka." Jacob membuka matanya perlahan.
Di samping Mbah Suki, Kirana duduk sambil tersenyum manis.
Jacob terkesiap, mendapati kenyataan yang selama ini dijalaninya. Tiba-tiba dia merasa jijik sendiri membayangkan percintaannya dengan iblis betina berwujud Kirana.
"Lupakan mimpi burukmu anak muda," tegur Mbah Suki ketika menatap wajah Jacob berubah.
Lalu, Jacob kembali menatap Kirana yang masih mengukir senyuman di bibirnya.
"Ma-maafkan aku, Kirana."
"Kamu tidak salah, Sayang. Benar kata Mbah Suki, lupakan tentang kejadian belakangan ini, hidup berbahagialah. Tolong jaga Papi," pinta Kirana. Di kedua bola mata yang sebenarnya tidak utuh, ada genangan air yang siap meluncur deras.
"Kirana–"
"Aini akan menjagamu, berbahagialah," ucap Kirana segera berdiri. "Mbah, izinkan aku bisa menyentuh kalian," sambungnya.
Mbah Suki mengangguk.
Aini pun keluar dari kamar karena tahu sebentar lagi Kirana akan benar-benar pergi. Sementara, badan Jacob mulai berguncang menahan tangis.
"Aini, aku tahu kamu menyukai Jacob. Jadi, cintailah dia sepenuh hati. Aku iklas," ujar Kirana. Ia meraih tangan Aini, lalu membawanya ke tempat Jacob duduk. "Aku pergi ...."
Seiring air mata pria tampan itu jatuh, Kirana pun menghilang. Hanya tersisa bau wangi yang menenangkan. Di waktu bersamaan, si iblis betina muncul hendak membunuh Aini. Mbah Suki langsung menyadari itu, dia kembali membuka tutup guci dan membaca mantra pemusnah. Akhirnya, si iblis tersedot ke dalam, gegas pria paruh baya itu menutup wadah yang awalnya untuk mengurung arwah Kirana.
-Tamat-
Terima kasih sudah mengikuti kisah tentang Kirana. Cerita ini gratis, untuk pemanasan sebelum memposting cerita yang lebih panjang dan tentunya dengan judul dan genre berbeda. Semoga terhibur, tetap ikuti saya, ya ....