Chereads / K I R A N A / Chapter 9 - Revenge #2

Chapter 9 - Revenge #2

"Masih banyak pria tampan, jadi kau jangan ganggu dia. Jacob adalah kekasih abadiku." Sebuah bibir melayang, mengintari Aini yang sedang duduk bersandar di belakang pintu.

Aini terkesiap, tidak menyangka akan kehadiran makhluk astral yang biasanya tak akan mungkin bisa menembus pagar gaib rumahnya.

"Siapa kamu?" Aini bangkit dari duduknya.

Bibir itu mengeluarkan suara tawa, kemudian menyeringai dan menampakkan taringnya yang semakin memanjang. Tak lama, sosok itu menjelma sempurna. Di kamar Aini, makhluk berwujud Kirana bersiap-siap akan menyerang gadis cantik itu. Aini memasang kuda-kuda, mulutnya berkomat kamit, mulai merapal mantra.

"Hahaha ... ternyata kau punya nyali juga. Oh, iya, aku lupa kalau kau adalah anak orang yang paling sakti di wilayah ini. Tapi kau harus ingat, aku adalah kekasih seorang manusia yang tak akan mudah dikalahkan."

"Bukankah kau sudah meninggalkan dia? Ehem, lagian manusia tidak akan pernah bisa bersatu dengan makhluk sepertimu yang entah dari jenis apa," ucap Aini, kemudian dia melanjutkan baca mantra.

Di tengah perseteruan dua gadis beda alam tersebut, Mbah Suki datang. Lalu menyemburkan air yang sudah dimantrai ke arah si iblis Kirana. Wujud itu pun berubah menjadi gumpalan asap, lalu menghilang.

"Aini, lupakan pria itu. Kalau tidak, nyawamu dalam bahaya," titah Mbah Suki memperingati anaknya.

Aini menghela napas, lalu berbaring di ranjang. Dia mencoba menetralisir pikirannya, tetapi peringatan dari sang ayah tak mampu membendung perasaannya. Bahkan Aini berniat untuk melamar kerja di kantor. Kalau tak dapat di kantor, menjadi pembantu Jacob pun dia rela.

"Aku mau belajar ajian pelepas sukma. Hihihi ... zaman udah modern begini, aku masih saja hidup seperti di zaman kerajaan. Tapi nggak apa-apalah, lumayan juga kalau aku bisa memakai ajian itu," gumam Aini dengan sesuatu yang melintas di benaknya. "Aku bisa mengikuti Jacob kemanapun," tambahnya sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

***

Suatu sore, pria berpakaian serba hitam mulai bergerak menuju ke kediaman Erlangga. Mereka adalah orang-orang Kim-tan yang dipimpin oleh Jacob. Pria tampan itu mulai beraksi, berhati-hati agar tidak terendus oleh kepolisian setempat. Karena sekaya apa pun seseorang, membalas dendam dengan berniat melenyapkan musuh, tetap saja melanggar hukum. Akan tetapi, Jacob telah berjanji pada cintanya yang telah terbunuh keji, bahwa 'hutang nyawa dibayar nyawa'. Dia tak peduli lagi tentang rasa kemanusiaan, Jacob mulai menggila.

Dua mobil sedan berwarna hitam dan satu berwarna putih memasuki halaman yang tidak terlalu luas. Rumah itu berlantai dua, bercat putih. Di sampingnya terdapat tiang yang di sana ada tergantung benda aneh, seperti penangkal. Erlangga memang seperti itu sejak dia bangkrut, menggunakan paranormal maupun dukun untuk membangkitkan perusahaannya dari nol lagi.

Tiga orang berdiri di depan pintu, langsung menghampiri mobil yang sudah berhenti. Mereka pun sudah siap-siap dengan kedatangan Jacob. Karena Erlangga itu bukan orang bodoh yang tak mungkin tidak mengetahui rencana calon menantu Kim-tan.

"Kalian mau apa?" tanya seorang pria berambut gondrong, setelah kaca mobil dibuka oleh Jacob.

"Aku mau bertemu dengan Pak Erlangga. Mau bahas bisnis, Bro," jawab Jacob. Tangan kanannya mulai meraba benda yang terselip di balik jas.

Mata pria berambut gondrong tadi bersiaga, lalu memberi kode pada teman-temannya.

"Pak Erlangga sedang tak ada di rumah. Dia ke luar negeri."

"Oh, penerbangan jam berapa, ya? Perasaan tadi pas pulang dari kantor, Pak Erlangga mengikuti mobilku. Oke, baiklah. Sepertinya aku salah orang," ujar Jacob sembari menutup kaca mobil.

Dor!

Sebelum kaca mobil tertutup sempurna, Jacob dengan sigap mengarahkan pistol ke dada pria berambut gondrong. Dia terlengah ketika pengawal yang ikut bersama Jacob, mengecohnya. Satu orang berhasil dilumpuhkan.

Jacob dan para pengawal pun mulai beraksi. Suara tembakan terdengar bersahutan. Rumah Erlangga yang jauh dari pemukiman, membuat manusia-manusia yang tersulut emosi itu bebas mau berbuat apa.

Pengawal terlatih berhasil melumpuhkan lawan. Sengaja Jacob menyisakan satu orang untuk mengorek informasi keberadaan Erlangga.

"Katakan, dimana Erlangga? Kalau tidak, peluru ini akan bersarang di mulutmu!" ancam Jacob, pada pria yang sedang terikat di atas kursi.

"A-aku tidak tau," jawabnya terbata-bata.

"Kau mau mati?!" teriak Jacob tepat di telinga pria tersebut.

"Ampun, Pak. Aku benar-benar tidak tau. Tolong lepaskan aku, Pak. Istriku sedang hamil, sebentar lagi melahirkan."

"Alasan!" Pukulan mendarat tepat di mulut si pria.

Jacob mengusap kepalanya dengan kasar, menghela napas berat, lalu melangkah keluar.

"Kamu belum makan dari kemaren, kan? Selesaikan dia, nggak ada gunanya," ucap Jacob pada pengawal bertubuh gempal. Pengawal itu adalah penyuka pisang, sesama jenis.

Erangan karena kesakitan terdengar saat Jacob sudah duduk santai di kursi sofa. Pria penyuka pisang itu menggauli tawanan dengan kasar. Kemudian ....

Dor!

Satu peluru dilepaskan tepat di jalan keluarnya kotoran manusia. Seketika suasa menjadi sunyi. Darah berserakan di mana-mana. Para pengawal gegas memeriksa seluruh ruangan, mencari bukti-bukti yang bisa dipakai suatu saat.

Sementara, Jacob berjalan-jalan ke sekeliling rumah itu, lalu matanya tertuju pada sebuah pagar kawat. Dia mendekat, ternyata di balik kawat itu adalah kandang buaya. Di dalamnya juga terdapat kandang ayam dan kolam berukuran sangat luas, melebihi luasnya rumah dan pekarangan samping juga di depan.

"Ternyata orang gila ini punya mainan ekstrim," gumam Jacob.

Jacob kembali ke dalam rumah, lalu memerintah para pengawal membuang semua mayat ke kolam buaya.

"Kalian tidak perlu capek-capek lagi." Jacob menyeringai, kemudian dia pergi meninggalkan rumah Erlangga setelah melepaskan satu tembakan pada perempuan paruh baya, asisten rumah tangga itu.

Di atas pohon, makhluk bermata biru tertawa menyaksikan pertunjukan yang sudah berakhir.

"Bagus, Sayang. Habisi semuanya." Lalu, makhluk itu kemudian menghilang.

***

Jacob kembali beraktivitas seperti biasa, memimpin Corner Crop dengan bijaksana. Selalu memberikan peluang untuk orang-orang yang membutuhkan pekerjaan, tentu sesuai kemampuan masing-masing. Berbeda dengan Kim-tan, dia hanya mempekerjakan karyawan yang berkualitas. Menjadi OB saja, Kim-tan melakukan seleksi berulang-ulang.

"Bagaimana? Kau sudah menemukan para bedebah itu?" tanya Kim-tan melalui telepon.

"Belum semua," jawab Jacob sembari mengelus-elus dada bidangnya.

"Kau lamban!" bentak Kim-tan.

"Saya sedang berusaha, Pi. Jadi, tolong tenanglah," ucap Jacob. "Itu ada video saya kirim, Pi," sambungnya sebelum menutup telepon.

Kim-tan menyuruh orang kepercayaannya membuka laptop. Di video itu, terekam kejadian saat Jacob dan para pengawal menghabisi orang-orang Erlangga. Pekerjaan gampang untuk Jacob, menyalin semua rekaman yang dihasilkan oleh CCTV rumah Erlangga.

Kim-tan tersenyum, dia teringat saat beberapa aksi yang dilakukannya sewaktu muda. Jacob memang pantas untuk meneruskan Corner Crop, dia lalim.

"Aku merasa terlahir kembali," gumam Kim-tan. "Sudah, kau keluarlah, aku mau istirahat." Pria paruh baya itu beranjak ke tempat tidur, di saat orang kepercayaannya mulai menghilang di balik pintu.

***

"Hai, halo, Pak. Pak, halooo."

Jacob tersentak dari lamunan ketika ada seorang gadis berdiri di depan meja kerjanya. Dan gadis itu sangat berisik.

"Heh, siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke ruanganku tanpa permisi." Jacob melotot. "Kamu, kamu anaknya Mbah Suki, kan?"

Aini mengangguk sembari menyunggingkan senyuman. Sementara Jacob masih menatap tak percaya, gadis di depannya sangat terlihat berbeda. Dia tampak lebih cantik dan rapi, juga wangi.

"Pak, aku mau melamar kerja, bukan untuk dipelototin," ujar Aini santai.

"Hem, iya. Kenapa kamu langsung ke ruanganku, tidak bisakah bertanya pada Angga dulu?" Jacob terus melotot ke arah gadis itu.

"Siapa Angga? Oh, cowok yang melarangku untuk masuk tadi," jawab Aini dengan berani.

Di depan pintu terlihat Angga sedang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Jacob mendelik, sehingga Angga semakin gugup.

"Jadi gimana, Pak? Apa aku diterima," tanya Aini, penuh harap.

"Kesinikan map itu," pinta Jacob menunjuk dengan bibirnya. "Silakan tunggu di luar, aku cek dulu," sambungnya.

Bersambung ....