Jacob terdiam, tatapan matanya kosong. Lalu, tubuhnya merosot ke lantai. Tak peduli dalam keadaan tanpa busana, suhu AC dan pagi buta harusnya membuat lelaki itu menggigil kedinginan. Akan tetapi, suasana hati yang tak menentu membuat dia merasa kepanasan.
"Aku akan kehilangan dia. Dia pergi ... dia pergi!" Jacob meracau, air matanya mulai menetes satu per satu. "Erlangga, tunggu pembalasanku, keparat!"
Tok! Tok! Tok!
"Tuan, ada Mbah Suki," panggil Bi Juni.
"Hah, ngapain pak tua itu ke sini pagi-pagi?" ucapnya, bertanya pada diri sendiri. Jacob berdiri, lalu menyambar handuk. "Suruh tunggu dulu, aku mau mandi, Bi." Bi Juni mengangguk, gegas turun ke lantai satu.
Jacob masuk ke kamar mandi, menyalakan shower, lalu membasuh tubuh. Kulitnya dipenuhi bekas gigitan, tetapi tidak seperti bekas gigitan pada umumnya. Iya, persis gigitan drakula yang ada di film-film horror. Hanya berbentuk dua titik saja.
"Selamat pagi, Mbah," sapa Jacob datar.
"Pagi anak muda, bagaimana, apakah sudah dibereskan?" tanya Mbah Suki.
"Sudah, Mbah."
Mbah Suki menyerahkan sebuah kendi, di sana ada tulisan seperti tulisan Yunani kuno. Kendi tersebut terbuat dari tembaga, yang sudah disimpan lama semenjak pria paruh baya itu semedi di bawah Gunung Ciremai.
"Apa ini, Mbah?" tanya Jacob sambil memerhatikan kendi tersebut.
"Simpanlah ini anak muda, suatu saat kau akan membutuhkan ini."
"Mbah ...." Ucapan Jacob terhenti ketika melihat Bi Juni masih berdiri di dekatnya duduk. "Bibi silakan ke belakang, siapkan sarapan," titah Jacob kemudian.
"Kau mau mengatakan apa tadi?" tanya Mbah Suki setelah Bi Juni pergi.
"Oh, iya, Mbah. Begini, sebelum Kirana menghilang, dia berubah wujud, Mbah."
"Iya, aku tahu," ucap Mbah Suki sembari mengangguk-angguk pelan.
"Jadi, apa yang akan terjadi pada kekasihku setelah ini?" Jacob beringsut mendekati pria paruh baya itu.
"Ingat anak muda, kau itu masih hidup, jadi jangan berurusan lagi dengan orang yang telah mati. Kau harus sadar, relakan wanitamu yang kini bukanlah roh baik-baik."
"Maksud, Mbah?" Kening Jacob mengernyit.
Mbah Suki pun menjelaskan panjang lebar, serta apa konsekwensinya jika Jacob tetap nekat mencari-cari iblis betina itu.
"Aku ... aku belum bisa melupakannya, Mbah."
"Fokus mencari pelaku pembunuhnya," saran Mbah Suki. Dia menepuk-nepuk bahu Jacob, kemudian berpamitan pulang.
***
Jacob mempersiapkan diri, mengumpulkan data-data tentang Erlangga. Dan pastinya dia menggunakan taktik yang bisa memancing pria jahanam itu untuk keluar dari persembunyiannya.
Jacob menyebarkan berita tentang perekrutan manager melalu stasiun televisi milik Corner Crop. Itu sudah melalui persetujuan Kim-tan. Orang-orang lama yang pernah menanam saham di perusahaan raksasa tersebut, itulah yang akan diutamakan.
"Kau yakin dengan cara ini akan bisa memancing orang yang telah menculik putriku?" tanya Kim-tan melalui ponsel.
"Tuan ... eh, Papi, saya harus jujur dulu tetang Kirana. Karena ini bakalan ketahuan juga nantinya. Lebih baik sekarang ...."
"Maksud kau, apa?" tanya Kim-tan memotong ucapan Jacob.
"Pi, semoga Papi kuat, ya. Tetap jaga keseimbangan tubuh. Takdir sudah mempermainkan kita," ucap Jacob tersendat.
"Langsung aja, kau enggak usah bertele-tele!" Kim-tan mulai geram.
"Kirana sudah tidak ada, dia ... dia dibunuh, Pi," ungkap Jacob, tak tega memberi tahu sebenarnya.
"Tidak! Kau jangan berbohong, jangan mengarang-ngarang cerita sampah begitu!" bentak Kim-tan, napasnya terdengar ngos-ngosan.
"Saya enggak mungkin mengarang, Pi. Buat apa?" Jacob menegaskan agar Kim-tan tak menuduhnya mengada-ngada
"Tunggu aku di Indonesia, aku akan pancung kepala kau!"
"Papi lanjutkan saja pengobatan dulu. Kalau ternyata saya nanti berbohong, saya siap mati!" ucap Jacob menegaskan. "Papi tenang saja, nanti saya akan mengirimkan sebuah video jika sudah menemukan pembunuhnya."
Kim-tan terdiam, ponsel jatuh dari genggaman. Lalu dia memegang dada sambil meringis. Beberapa orang dokter segera berlari ke ruangan di mana seorang pengawal Kim-tan memencet tombol darurat. Pria malang itu terkena serangan jantung.
***
Di tempat lain, di rumah sederhana, seorang gadis bersenandung ria. Sesekali senyuman menghiasi bibirnya yang merah tanpa polesan lipstick. Mata indah dihiasi bulu lentik, serta alis hitam tersusun rapi, sebentar-sebentar dipejamkan. Dia membayangkan seseorang yang berhasil membuat hatinya cenat cenut. Ya, Aini jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Aini, anakku, kamu jangan pernah berharap yang tidak mungkin bisa diraih." Suara sang ayah membuat Aini langsung beranjak dari dunia hayalannya.
"Ayah, bisa nggak, tidak mendeteksi isi hatiku," ujar Aini dengan mimik wajah kesal.
"Ayah tidak menggunakan ilmu untuk mengetahui isi hati anak ayah. Tatapan matamu membuat ayah paham, kamu jatuh hati pada lelaki kaya yang aneh itu."
"Dia tidak aneh, Ayah. Dia hanya terpengaruh aura negativ iblis betina itu." Aini mendengkus.
"Entahlah, yang pastinya dia lelaki rakus. Kamu tidak tahu, kan, di luar sana banyak wanita yang digaulinya selain hantu itu? Dia banyak uang, apa-apa saja bisa dibeli, termasuk wanita."
"Ayah ...."
"Ayah tak mau melihatmu menderita." Mbah Suki menyela ucapan Aini.
Perbincangan anak dan ayah itu akhirnya disudahi dengan rasa cemas bercampur sedih di hati Aini. Mungkin saja apa yang dikatakan ayahnya adalah benar, tetapi hati gadis itu seperti sudah mengeras, dia enggan mengeluarkan bayangan Jacob dari benaknya.
***
Jaring sudah tersebar, yang diumpan pun masuk ke dalam perangkap. Jacob mengadakan pertemuan tertutup untuk para calon yang akan dipekerjakan di kantor pusat dan kantor cabang. Yes, salah satu dari yang hadir adalah Erlangga Wirawan.
"Selamat datang dan selamat bergabung di Corner Crop, Pak Erlangga," ucap Jacob saat menjabat tangan pria yang telah menghabisi nyawa kekasihnya.
"Terima kasih, Pak Jacob, menantu Tuan Kim-tan." Sambutan dari Erlangga membuat Jacob membulatkan telapak tangannya.
"Silakan duduk, Pak," pinta Jacob sambil berusa menahan amarah.
Dua puluh lima menit berlalu, Jacob menutup acara dengan ucapan terima kasih serta menyerahkan beberapa map berwarna biru, ke tangan Erlangga.
"Tunggu pembalasanku. Kau akan kubuat mati dengan cara menyenangkan, Erlangga," ucap Jacob dalam hati dengan tatapan mata beringas.
Jacob meninggalkan ruangan biasa dipakai untuk meeting, diikuti Erlangga serta beberapa karyawan yang ikut mendampingi Jacob.
Ponsel Jacob bergetar, dia merogoh saku celana dan memeriksa panggilan tersebut. Akan tetapi, di layar ponselnya tidak tertera nama. Nomor baru.
Di balik pintu, ada seseorang yang sengaja memainkan ponselnya. Dia mencoba menekan panggil, kemudian dirijek setelah terdengar sahutan dari Jacob. Senyum penuh pengharapan terbingkai dari sudut bibir orang itu.
"Jacob," desahnya.
Bersambung ....