Cahaya mentari mulai bersinar, suara kicauan burung pun terdengar bersautan. Jacob dengan malas membuka mata, lalu beranjak ke kamar mandi dengan langkah gontai, dan rasa ngilu di lutut begitu terasa. Sang kekasih tak tahu entah kapan ia meninggalkan kamar. Kasur berantakan, bau anyir melekat di kulit Jacob dan ada beberapa bercak darah mengering di lehernya. Walau merasa agak jijik, tetapi pria bermata cokelat itu memaksa tersenyum, sekilas memandang diri di kaca kamar mandi.
"Hmmm ... ternyata tidak apa-apa rupanya," gumam Jacob, seperti sudah tak bisa membedakan lagi mana yang baik dan mana yang buruk.
Jacob kembali berkaca setelah selesai mandi. Dia mencukur kumis tipisnya serta bulu-bulu halus di bagian pipi. Lalu, tangannya meraba leher yang terasa nyeri. Ada bekas gigitan kecil di sana.
"Kamu nakal Kirana, kamu itu bukan vampir," gumamnya lagi.
Di saat hendak berangkat ke kantor, ponsel Jacob berdering. Dia merogoh saku celana, lalu melihat nama yang tertera di layar. Ternyata Mbah Suki.
"Iya, Mbah, ada apa?" tanya Jacob setelah menggeser layar ponselnya.
"Selamat pagi anak muda, kau bisa ke sini nanti siang?"
"Maaf, Mbah, nanti siang ada meeting dengan klien," jawab Jacob, dia terus berjalan ke garasi mobil.
"Ini penting!" ucap Mbah Suki dengan nada suara yang cukup membuat Jacob tersentak kaget.
"Baik, Mbah. Nanti setelah jam makan siang aku ke sana." Jacob kembali meletakkan ponselnya di saku celana, setelah Mbah Suki memutuskan sambungan tanpa ada kata basa basi lagi.
Mobil sport berwarna silver melesat, membelah jalanan yang masih sepi. Biasanya di jam ini sudah dipadati pengendara lain. Akan tetapi, Jacob tak memikirkan itu. Jacob terus menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh, pada akhirnya dia tersadar, dia hanya berputar-putar di area yang sama.
"Sial! Apa-apaan ini?" Jacob menggerutu, lalu dia turun dari mobil.
Sebuah tempat yang tak pernah dia ketahui, begitu asing. Di sini tak ada rumah, bangunan-bangunan menjulang, dan kendaraan tak ada yang lewat satu pun. Di sisi kiri dan kanan hanya terdapat pohon bambu yang berderik karena diembus angin kencang.
Jacob mengambil ponsel hendak menghubungi pengawal Kim-tan, tetapi tiba-tiba benda berbentuk kotak dan pipih itu mendadak mati. Dia kembali masuk ke dalam mobil, mencari charger. Ponsel kembali menyala, tetapi tidak ada setitik pun sinyal di benda tersebut.
"Ck!" Jacob membanting ponselnya ke jok mobil, lalu mengusap wajahnya kasar. "Aku ada di mana ini?"
Lelaki berhidung mancung itu kembali menstater mobil, lalu mengedarkan pandangan berharap menemukan jalan keluar. Jarak dua meter matanya tertuju pada sebuah plang besar usang dan condong ke kiri. Di sana tertulis tulisan kuno yang tidak dimengerti olehnya. Kemudian dia berhenti. Tepat di belakang plang itu terdapat bangunan tua yang tak kalah usang. Seperti terhipnotis, Jacob berjalan santai mendekati bangunan tersebut.
Sesampainya di sana, Jacob membuka pintu dengan mudah karena memang tidak terkunci. Bau busuk menguar, beberapa ekor tikus berlarian, dan suara-suara aneh sesekali terdengar.
Tiba-tiba, Jacob merasa dingin, sampai dia menggigil. Matanya kadang terbuka kadang tertutup. Lalu, pertunjukan yang pernah dia lihat di dalam mimpi, kini kembali diputar. Kali ini, semua pemain tampak begitu jelas wajah mereka. Di antaranya adalah Mbah Karmo, dia duduk di sudut ruangan. Sementara, pria bertopi bundar sedang asyik memotong daun telinga Kirana.
"Anj*ng!" teriak Jacob, dia berlari menghampiri, kemudian melancarkan pukulan bertubi-tubi. Percuma, hanya angin yang tak bisa disentuh sama sekali.
Jacob semakin murka ketika beberapa orang pria menggilir kekasihnya, dia menggila. Menghantamkan tubuh sendiri ke dinding-dinding yang sudah keropos. Terakhir, sebuah kampak mendarat di leher Kirana, lalu kepalanya menggelinding dan berhenti di kaki Jacob. Akhirnya lelaki tampan gagah perkasa itu jatuh ke lantai kumuh. Dia pinsan.
Sesosok makhluk tanpa kepala yang duduk di samping Jacob, ia pergi setelah Bi Juni mengetuk kaca mobil sang majikan.
"Tuan, apakah tidak jadi berangkat ke kantor?"
Jacob membuka mata perlahan, di pipinya masih membekas air mata yang hampir mengering.
"Iya, Bi. Aku ketiduran," jawabnya, kemudian pergi dengan pikiran yang masih kacau.
Di perjalanan, Jacob masih mengingat apa yang dilihatnya baru saja. Itu seperti nyata, bukanlah mimpi yang pernah dia alami waktu itu.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi apa? Aku hanya bisa mengingat ketika Mbah Suki menelepon," gumam Jacob. "Ah, persetan dengan itu semua, yang penting aku sudah mengenal wajah jahanam itu!"
Rahangnya mengeras, terdengar gemertak di geraham Jacob. Dia memukul setir mobil sehingga bunyi klaksok pun terdengar berkali-kali. Pengguna jalan yang lain terperangah melihat pengendara gila di samping mereka. Sudah di beri jalan, tetap saja klakson mobilnya dibunyikan.
"Angga, tunda dulu meeting hari ini!" perintah Jacob pada sekretarisnya melalui ponsel.
"Tapi, Pak ...."
Tut! Tut! Tut!
Belum sempat Angga melanjutkan ucapannya, Jacob sudah memutuskan sambungan, lalu kembali memutar arah. Dia berangkat ke rumah Mbah Suki.
Sesampai di halaman sebuah rumah sederhana, Jacob menepikan mobilnya di bawah pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Di saat turun, ada sesuatu yang jatuh di kepalanya. Jacob memungut mangga muda, lalu melihat ke atas. Ternyata ada seorang gadis yang sedang asyik duduk berjuntai di sana.
"Woi! Kamu melemparku dengan mangga ini?" Jacob menunjuk-nunjuk gadis itu yang belum terlalu tampak wajahnya karena sedikit ditutupi oleh dedaunan.
Namun, sang gadis malah tertawa cekikikan. Itu membuat Jacob semakin jengkel, tetapi lumayan kagum dengan style sang gadis yang sangat sederhana dan wajah cantik menjadi penunjangnya.
"Turun nggak!" bentak Jacob.
"Iya, maaf. Aku turun, nih. Tapi kamu tidak boleh marah samaku, Tuan tampan," ucap sang gadis.
Setelah sang gadis turun, kemudian membalikkan badan ke arah Jacob, lelaki tampan itu malah bengong. Matanya tak berkedip dalam hitungang beberapa detik dan pastinya Jacob menelan ludah berkali-kali. Dia sampai lupa apa tujuannya ke rumah ini, lupa jika rasa sakit atas kehilangan sang kekasih yang sangat dicintainya.
"Eheeem. Dia putriku," ucap Mbah Suki, menepuk pundak Jacob.
Jacob menjadi salah tingkah sembari menggaruk-garung hidung mancungnya yang tidak gatal sama sekali.
"Ayo, Mbah. Kita kedalam." Jacob menyeret tangan pria paruh baya itu.
"Harusnya aku yang menawarkan, malah kau pula yang mengajakku," ujar Mbah Suki, sembari melepaskan tangan Jacob.
"Maaf, Mbah." Jacob tertawa kecil saat melihat ekspresi wajah Mbah Suki.
Sebelum benar-benar masuk ke rumah, Jacob kembali melihat ke belakang. Putri Mbah Suki tersenyum, lalu dia melambaikan tangan.
"Jangan kau ganggu kekasihku, hai, betina nakal!" Sang gadis terperanjat, bisikan amarah terdengar di telinganya, serta bau busuk menyapu rongga hidungnya.
Sang gadis yang ternyata bernama Aini itu, membalikkan badan. Di belakangnya sesosok makhluk menjijikkan menatapnya tajam. Sesekali makhluk itu memperbaiki posisi kepala yang sebentar-bentar jatuh.
"Kamu Kirana, kan? Kekasih pria tampat itu," ucap Aini dengan nada santai.
Kirana murka, tetapi ia tak bisa menyentuh Aini karena gadis ini mempunyai pagar badan yang diberi oleh sang ayah. Dari sini pertikaian makin berlanjut.
Bersambung ....