Chereads / K I R A N A / Chapter 4 - Hari ke-12

Chapter 4 - Hari ke-12

Setelah pesawat berangkat, Jacob membalikkan badan hendak meninggalkan bandara. Akan tetapi, tengkuknya terasa ada yang menyentuh. Sontak dia memutar badan, tidak ada siapa-siapa yang berdiri di dekatnya karena pengawal Kim-tan sudah duluan berjalan ke parkiran. Wangi bunga tercium lagi, Jacob memejamkan mata mencoba menikmati apa yang dirasa. Entah mengapa, tiba-tiba dia merasakan kesedihan mendalam.

"Kirana," bisiknya lirih.

Kemudian, Jacob duduk terhenyak di tempat berdiri tadi. Dia mengusap wajah dengan kasar, pikirannya kembali kacau. Memutuskan untuk beristirahat, walau bukan di tempat yang tepat. Lama termenung, lalu ia bangkit karena seorang pengawal memanggilnya lewat ponsel. Di saat melangkah satu kali ayunan kaki, seperti ada sesuatu yang menabraknya, Jacob sempat terhuyung. Dia kembali menoleh ke belakang, lalu meraba-raba bagian depan tubuhnya.

"Ada apa tadi?" Jacob membatin. "Aneh," sambungnya sembari menggeleng-geleng.

Wangi bunga melati kembali menguar, mengikutinya sampai ke dalam mobil. Jacob mencoba mengabaikan, tetapi sampai di rumah pun, bau harum itu masih tercium.

"Aku butuh istirahat," ucapnya. Walau ia tak melihat apa-apa di sekitarnya.

Karena kelelahan, akhirnya mata lelaki tampan itu terpejam. Dia tidur dengan nyenyak. Kemudian, sang kekasih datang dan menemani.

"Tidurlah, Sayang. Kamu jangan sedih, ya. Setelah melewati tujuh belas hari, aku akan membunuh orang-orang yang telah meninggalkan luka untukmu dan papiku." Kirana menangis. Arwah itu mengeluarkan nanah dari kedua belah matanya. "Jiwaku masih di bawah pengaruh dukun sialan itu," lanjutnya dengan tatapan yang mengerikan.

Kirana terus membelai rambut Jacob, lalu mengecup kening sang kekasih sebelum ia kembali ke alamnya.

Dalam tidur, Jacob bermimpi. Dia seperti menyaksikan sebuah pertunjukan, yang di mana ada sebuah adegan tragis diperankan oleh kekasihnya, Kirana. Tangan Jacob mengepal, rahangnya mengeras. Dia berusaha mendekati, tetapi bayangan itu terus menjauh.

"Tidak ... tidak ... Kiranaaa!"

Jacob tersentak, keringat dingin mengucur di wajahnya. Deru napas kian memburu. Lalu, Jacob bangkit dari ranjang, berjalan ke arah jendela.

***

Hari ke-12 setelah kematian Kirana.

Jacob mengumpulkan semua nama-nama dukun dan paranormal ahli terawang, ternama di Indonesia. Dengan uang yang dia punya, dia menyewa beberapa orang, guna mengusut atas hilangnya Kirana. Karena polisi sudah angkat tangan tanda menyerah melanjutkan penyelidikan.

Enam di antara sepuluh orang yang sakti itu akhirnya tumbang, tetapi tidak mati. Mereka hanya mengalami luka dalam yang menyebabkan muntah darah.

"Maaf, Mbah. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Jacob pada Mbah Suki.

"Perlu kau ketahui anak muda, agar kau tak berharap lagi Nona Kirana kembali ...."

"Apa yang harus aku ketahui?" tanya Jacob memotong ucapan Mbah Suki.

"Nona Kirana sudah mati!" jawab Mbah Suki menegaskan.

"Tidak! Mbah pasti berbohong." Mata Jacob memerah, tatapannya tajam, seperti ingin menelan Mbah Suki hidup-hidup.

"Untuk apa aku berbohong? Sementara honorku belum sepenuhnya diterima," ujar Mbah Suki.

"Heh! Apa kalian tidak membayar penuh?!" Jacob membentak pengawal yang sedang duduk menikmati rokoknya.

"Bi-biasanya, Tuan Kim-tan begitu, Pak. Jika pekerjaan seseorang telah berhasil, maka baru dibayar lunas," terang si pengawal, setelah dia mendekat ke tempat di mana Jacob sedang duduk.

"Ya, sudah. Jadi bagaimana ceritanya, Mbah? Kok, Mbah tahu kekasihku meninggal?" tanya Jacob memastikan.

Pertanyaan konyol sebenarnya, tetapi Jacob memang sudah tak tahu lagi mau berbicara apa. Pikirannya seperti kosong melompong, seperti orang linglung. Dia berjalan mondar mandir, lalu berhenti, kemudian melangkah lagi.

Mbah Suki memberi kode pada salah seorang pengawal.

Bugh!

Pengawal itu menghantam tengkuk Jacob. Bukan maksud mencelakai, tetapi hanya untuk melakukan ritual selanjutnya.

Mbah Suki mulai berkomat kamit, dibantu oleh Ki Aron teman seperguruannya ketika mereka semedi di Gunung Ciremai semasa berguru pada Ki Joko Gedang. Telapak tangan mereka beradu, membentuk sebuah lingkaran. Cahaya biru ke luar dari sela-sela jari, lalu mengitari tubuh Jacob.

"Cukup! Sekarang bangunlah, aku akan membuka cakramu. Setelah itu, tubuhmu akan menjadi media untuk melawan Mbah Karmo. Kami akan memantau dan membatumu dari sini," ucap Ki Aron.

Jacob mengangguk, "Bagaimana kalau aku mati? Siapa yang akan menemukan pembunuh kekasihku?!" teriaknya lantang.

"Kekasihmu," jawab Ki Aron cepat.

"Tapi kata Mbah Suki, Kirana sudah meninggal?" tanya Jacob. "Tunggu sebentar, apa motif mereka?"

"Nanti kau akan tahu apa motif mereka," jawab Mbah Suki.

Jacob menghempas napas kasar, dia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Berpikir kalau usahanya ini akan sia-sia. Selang beberapa menit kemudian, wangi bunga melati menguar di sekitar ruangan. Mbah Suki tersenyum karena dia tahu kedatangan tamu spesial.

"Mumpung si Karmo sialan itu sedang bersemedi, kamu bisa membantu kekasihmu," ujar Ki Aron sembari mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

Jacob mengedarkan pandangan ke segala sisi. Dia tak dapat menemukan apa-apa.

"Tutup mata kau!" perintah Mbah Suki.

Kirana pun mendekat, lalu dia mengembus wajah pria yang dicintainya. Kemudian merubah wujud, agar Jacob tak merasa jijik ketika melihat dirinya yang sekarang.

"Sayang," sapa Kirana lembut.

Pria malang itu pun langsung membuka matanya.

"Ki-Kirana," ucap Jacob tak percaya.

Setelah hampir dua minggu, dia kembali melihat kekasihnya. Kirana tetap cantik, tetapi wajahnya putih pucat. Jacob menangis kemudian merangkul tubuh Kirana, memeluk erat, melepaskan rasa rindu yang membuncah.

Mbah Suki terus membaca mantra agar sepasang kekasih itu bisa bersentuhan.

"Cukup, Mbah. Kita jangan terlalu jauh melanggar aturan," bisik Ki Aron. "Anak muda, mari kembali fokus pada tujuan semula," ucap Ki Aron menambahkan sembari melirik ke arah Jacob.

Jacob enggan melepaskan Kirana, pada akhirnya dia hanya memeluk angin. Karena Mbah Suki berhenti membaca mantra.

"Jangan membuang-buang kesempatan, karena waktu yang kita punya tidak banyak." Ki Aron menepuk-nepuk pundak Jacob karena pria malang itu kembali goyah di saat sadar dengan kenyataan yang ada.

***

Di tengah hutan entah berantah, terdapat sebuah pondok yang lumayan besar. Dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu, sedangkan atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia. Di sisi kiri pondok itu terdapat kolam yang berisi ikan lele dan di sisi kanan kosong, tetapi air di dalam kolam tersebut sesekali bergelombang seperti ombak kecil di tepi pantai.

Jacob sudah mendekati pondok tersebut, dibantu oleh Mbah Suki dan Ki Aron, sedangkan Kirana dia bisa berada di manapun, termasuk berada di samping kekasihnya saat ini. Jacob mengintip lewat celah-celah dinding, di dalamnya seseorang sedang duduk bersila. Matanya terpejam, telapak tangan dilipat, dan sesekali tubuh pria berbibir gelap itu melayang di udara.

Tak semudah yang dibayangkan, walau Mbah Karmo bisa langsung ditusuk memakai belati pemberian Ki Aron, tetapi mesti terhalang oleh sesuatu yang tiba-tiba keluar dari kolam. Buaya putih.

Wuuust!

Buaya itu mengibaskan ekornya, lalu ia melompat, kemudian berubah wujud menjadi seorang wanita cantik. Berpakaian serba hijau, memakai mahkota bersisik, berlambang kepala naga. Lucu sekali, mungkin siluman itu adalah hasil dari kawin silang antara buaya dan naga.

"Hahaha." Suara tawa siluman buaya itu melengking. Lidahnya yang bercabang terjulur ke luar, kemudian memanjang.

Jacob nyaris saja terkena jilatan siluman itu, dengan sigap Kirana menepis.

"Menjauhlah, Sayang! Ingat, apa pun yang kamu lihat, jangan terkejut," pinta Kirana sembari melompat.

Jacob mengangguk, kemudian hendak menghampiri posisi Mbah Karmo. Akan tetapi, dihalangi oleh sabetan lidah siluman itu. Kirana mengeluarkan suara yang tak kalah melengking dibanding lawannya. Kemudian, ia memegang kepalanya lalu melemparkan ke arah siluman buaya. Jacob terperanjat, seketika tulang belulangnya seperti rontok. Dan dia merosot ke tanah.

Seperti yang disaksikannya di dalam mimpi, wujud Kirana tidak utuh. Mengerikan. Mata Jacob memerah, air di kelopak matanya mulai menggenang. Tak disadari, lelaki tampan itu menangis, dia meraung sejadi-jadinya. Kirana terlengah, sehingga selendang yang dimiliki siluman buaya tersebut, melilitnya.

"Ke tepikan dulu perasaanmu ketika bertarung!" terdengar bisikan, tetapi melengking di telinga Kirana. "Kau mau membunuhku?" Bisikan itu terdengar lagi. Di rumah Jacob, Mbah Suki memegang dadanya karena merasa kesakitan.

Bersambung ....