"Merlin, lari!"
Nico dan Merlin pun berlari untuk menyelamatkan nyawa mereka. Werewolf di belakang terlihat ragu-ragu untuk mengejar. Namun setelah air liur makhluk itu banyak yang menetes, werewolf tersebut langsung berlari begitu cepat.
"Earth Spikes!"
Nico menyatukan kedua tangannya lalu memunculkan duri-duri raksasa yang terbuat dari tanah sekeras batu.
Meskipun benda-benda itu sudah dikeluarkan, si manusia serigala dapat menghancurkannya dengan mudah dan kembali mengejar mangsanya.
Bugh!
Nico menerima pukulan dari werewolf hingga punggungnya menabrak tembok. Dia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Pukulan itu terasa seperti hantaman pipa besi bagi Nico.
"N-Nico!" Merlin menjerit. Dia berhenti berlari karena mengkhawatirkan temannya.
"Sudah! Kau pergi sa– Arghh!!!" Nico ditendang hingga darah keluar dari mulutnya.
Setelah membuat Nico terluka hingga sulit bergerak, werewolf itu mencekik dan mengangkatnya hingga kepalanya sejajar dengan lelaki itu.
Merlin menyaksikan werewolf yang kini sedang membuka mulutnya lebar-lebar. Lelaki berambut ungu itu tidak bisa diam saja. Dia mengumpulkan keberanian dan melempar batu ke arah werewolf.
"Grargh!" Werewolf itu terlihat kesakitan lalu menoleh ke arah Merlin dengan tatapan tajam.
"H-Hiiii!!" Tatapan mengerikan itu membuat Merlin ketakutan sampai dia terjatuh.
Dalam situasi ini, Merlin sangat panik dan bingung harus melakukan apa. Menyelamatkan Nico? Atau melarikan diri?
Jika dia memilih menyelamatkan Nico, maka kemungkinannya selamat semakin kecil. Jika ia melarikan diri, maka peluangnya selamat semakin besar.
Mengorbankan teman demi nyawa sendiri? Atau justru mengorbankan nyawa sendiri demi teman? Merlin saat ini dihadapkan oleh dua pilihan itu.
Dari kejauhan Nico tahu apa yang dipikirkan sahabatnya yang suka berkhayal. Bagaimanapun juga, mereka sudah berteman lama. Meskipun Merlin termasuk anak yang penakut dan non-penyihir, dia tidak mungkin melarikan diri begitu saja.
Dalam hatinya, Nico merasa senang, meskipun saat ini nyawanya terancam. Teman yang sering membuatnya kesal dan sulit sekali diam kini sedang berjuang melawan ketakutannya sendiri demi seorang sahabat.
Saat ini sang werewolf belum memakan Nico karena dilempari batu terus-terusan. Meskipun tidak sakit, hal yang Merlin lakukan ini membuatnya terganggu.
"Hei," panggil Nico. Meskipun dirinya sedang dicekik, ia masih bisa mengeluarkan suara.
Merlin pun menoleh ke arah Nico secara spontan. Lelaki berambut ungu itu kini melihat senyuman lebar yang hangat dari sahabatnya.
"Lari saja. Tidak usah mengkhawatirkan aku."
Kata-kata itu diucapkan dengan senyuman lebar. Merlin melebarkan mata ketika mendengarnya. Bahkan air matanya sampai menetes.
Bagaimana bisa kau mengatakan itu dengan ekspresi bahagia?
Itulah yang Merlin pikirkan.
'Nyawamu dalam bahaya ... jangan mengatakan sesuatu yang membuatku ingin melarikan diri ....'
Merlin melempar batu.
'Bagaimana bisa kau menyuruhku pergi, di saat aku sedang berusaha menyelamatkanmu.'
Merlin menggertakkan gigi. Air matanya menetes semakin deras.
'Aku ini kesatria kegelapan!'
Merlin melempar batunya lagi. Lagi, lagi, dan lagi.
'Aku ini memang penakut! Tapi aku bukan pecundang!'
Lengannya diayunkan sekuat tenaga.
'Jangan takut sialan ...!'
Merlin terselimuti rasa takut, kesedihan, dan kemarahan. Kemarahannya bukan untuk werewolf, tapi untuk dirinya sendiri.
Penakut, lemah, sok kuat, sok keren.
Fakta-fakta itu memang bisa dibantah dengan lisannya, namun tidak dengan hatinya. Jika dia melarikan diri dari tempat ini dan mengabaikan Nico, maka Merlin tidak akan memaafkan dirinya sendiri seumur hidup.
"Grrr ...."
Werewolf membuka mulutnya. Merlin kehabisan batu untuk dilempar. Dalam situasi ini, Nico sudah pasrah terhadap nasibnya.
"Argh!"
"NICOOOOOO!!!!!"
Pundak Nico digigit oleh werewolf itu hingga banyak sekali darah yang muncrat. Pemuda itupun sekarat meskipun hanya digigit satu kali. Wajar saja, rahang makhluk itu besar. Satu gigitan saja sudah cukup untuk membuat manusia terluka parah.
Merlin merasa putus asa melihat pemandangan itu. Kedua kakinya lemas. Melangkahkan kaki satu kali saja rasanya sangat berat.
"Jangan ...."
"ARGH!"
Werewolf itu menggigit lagi. Kali ini lengan kiri Nico yang ia buat mengucurkan darah. Merlin spontan menutup mata saat peristiwa itu terjadi.
"Grrr ...." Werewolf itu berniat menggigit Nico lagi.
"AAAAAAAAAHHHHH!!!!" Merlin kali ini berlari dan memukul werewolf itu dengan tongkat payung. Setakut-takutnya dia terhadap kematian, dia lebih takut kehilangan sahabatnya.
Merlin memukul-mukul manusia serigala itu secara membabi-buta. Dia tahu pukulannya percuma, namun dia terus melakukannya.
"Jangan bunuh temanku! Dasar serigala sialan!"
Setelah berteriak, Merlin ditendang oleh werewolf hingga menghantam jalanan sangat keras. Lelaki dengan ikat kepala hitam itu sulit bernapas karena ulu hatinya diserang.
Werewolf itu kembali menatap Nico yang kini hampir kehilangan kesadaran. Sebuah keberuntungan baginya karena masih hidup sampai sekarang.
"Merlin ...." Nico bergumam. Sorot matanya memperlihatkan kepasrahan.
Nico dan Merlin kini sama-sama hampir tidak bisa bergerak. Mereka berdua tidak tahu lagi harus berbuat apa karena tidak berdaya melawan werewolf. Tidak ada harapan lagi, itulah yang mereka pikirkan.
"Hei." Suara seorang lelaki tiba-tiba terdengar, membuat sang werewolf menoleh ke arahnya. Suara itu bukan berasal dari Nico maupun Merlin, tapi dari Riro.
"Jangan lukai teman-temanku," ucapnya lagi dengan sorot mata tajam.
*Grap!
*Buk!
Riro mencengkram tangan werewolf agar Nico tidak lagi tercekik. Setelah itu ia melayangkan pukulan hingga membuat werewolf itu terhempas beberapa meter.
"Grrrr ...!!" Werewolf itu merasa murka. Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja dia kehilangan amarahnya.
"Grrrrrr ...!"
Werewolf itu melarikan diri dari tempat ini. Melihat itu Riro sangat marah. Dia berniat mengejar makhluk itu dan menghajarnya demi balas dendam. Namun saat ia ingin melakukan itu, kakinya ditahan oleh Merlin.
"Jangan Riro ... selamatkan Nico dulu ... kumohon ...."
Mendengar permohonan Merlin, Riro pun menoleh ke arah Nico. Lelaki berambut hitam itu berlumuran darah dan berada dalam kondisi kritis.
"Nico ...."
Riro menggendong Nico di punggungnya. Raut wajah Yanghir itu memperlihat kesedihan yang mendalam. Dia belum pernah melihat temannya terluka separah ini, jadi dia merasa sangat sedih.
"Andai saja aku datang lebih cepat ...."
"Tidak apa-apa Riro! Itu tidak masalah! Sekarang ayo bawa Nico ke rumah sakit!" Merlin berteriak dengan penuh rasa khawatir. Air matanya masih menetes hingga saat ini.
"Baiklah."
....
"Lona ...! Lona ...!"
Saat ini, di kamar Sri Wilona, Darwo menangis begitu keras. Anggota keluarga yang lain juga meneteskan air mata mereka karena kematian Sri Wilona.
Hari ini, Sri Wilona telah mati. Agus menduga ini terjadi karena kondisi tubuh ibunya yang buruk dan usianya yang sudah tua. Anggota keluarga yang lain juga merasa demikian.
Darwo terus saja menangis. Anggota keluarga yang paling sering tersenyum dan tertawa kini menunjukkan sisi lemahnya. Karena mengerti perasaan kakek tua itu, tidak ada satupun orang yang menghentikan tangisannya.
Di sisi lain, Riro dan Merlin merasa cemas dengan Nico yang sedang diobati. Keduanya hanya bisa berharap agar teman mereka itu tidak kehilangan nyawanya.
Waktu terus berlalu. Hingga hari esok pun tiba.