Riro, Merlin, dan Naufal pergi ke lantai 0. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan luas yang menjadi tempat latihan khusus Keluarga Mawar Merah. Ruangan ini jugalah yang dipakai Nalia untuk mengendalikan kekuatan sihirnya bersama Riro.
Karena ruangan ini akan dipakai, Naufal menyalakan lampu. Cat abu-abu dan talisman yang ada di sini pun terlihat jelas.
'Ruang latihan bawah tanah! Keren sekali!' batin Merlin sambil merasa antusias.
"Merlin. Kau ingin mempelajari sihir apa?" tanya Naufal.
"Hah? Kak Naufal bisa semua sihir?"
"Ya nggak lah." Naufal tertawa kecil. "Tapi jika ada sihir tertentu yang ingin kau pelajari, bilang saja. Mungkin aku mengetahui sihir tersebut dan bisa mengajarimu langkah-langkahnya."
Lagi-lagi Merlin mendapatkan tawaran yang menggiurkan. Mendapatkan guru yang berasal dari Keluarga Mawar Merah saja sudah luar biasa. Sekarang dia memperoleh keuntungan lagi berupa tawaran mempelajari sihir yang diinginkan.
"Kalau begitu, aku ingin sihir yang berhubungan dengan pedang!" Karena memandang dirinya sebagai seorang kesatria, tentunya Merlin akan memilih sihir semacam ini.
"Pedang? Hm ... bagaimana dengan sihir pedang api?"
"Tidak, jangan sihir itu. Sihir yang berhubungan dengan api dan cahaya adalah kelemahanku." Merlin buru-buru menjelaskan.
Sebagai orang yang tidak terpengaruhi delusi dan khayalan yang kuat, tentunya Naufal merasa bingung. Namun dengan segera ia mengabaikan ucapan Merlin dan memikirkan sihir yang cocok untuk muridnya itu.
"Hm ... bagaimana dengan sihir yang mengeraskan sebuah benda? Dengan sihir ini, kau dapat membuat ranting pohon menjadi sekeras besi."
"Baiklah! Sihir itu saja! Itu cocok untukku!" Merlin tersenyum lebar mendengar usulan itu. Karena tidak memiliki pedang asli, maka sihir ini sangat berguna untuknya.
Karena sihir ini membutuhkan objek, Naufal pun memikirkan benda apa yang akan ia gunakan untuk praktik. Setelah berpikir selama beberapa waktu, akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan penggaris saja.
"Kita memerlukan objek untuk mempraktikkan sihir ini. Objek yang kupilih adalah penggaris. Kau tidak keberatan 'kan?" tanya Naufal.
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Baiklah, aku akan pergi ke kamarku dulu untuk mengambil penggarisnya." Setelah mengatakan itu, Naufal pun pergi ke kamarnya dengan berlari. Riro sedikit tidak enak padanya, tapi tampaknya pria itu merasa tidak masalah dengan semua ini.
Sambil menunggu, Merlin melakukan pemanasan. Dia juga meniru beberapa gerakan yang ada di anime dengan penuh semangat.
Riro penasaran, akan jadi penyihir seperti apa Merlin nanti. Bagaimanapun juga, dia sangat unik dan berbeda dengan remaja kebanyakan. Jika orang seperti dia menjadi penyihir, Riro benar-benar ingin melihatnya.
"Maaf menunggu lama!"
Naufal berlari menghampiri Merlin dengan dua penggaris di tangannya. Penggaris itu berbahan plastik, dan panjangnya mencapai 30cm. Merlin diberi satu penggaris oleh Naufal. Dia melihat-lihat benda itu sejenak sebelum kembali menatap gurunya.
Mengetahui lelaki itu siap menyimak, Naufal pun memberikan penjelasan.
"Sihir yang kuajarkan padamu adalah Hardening Object. Sesuai dengan namanya, sihir ini berfungsi untuk mengeraskan benda mati. Selain sihir ini, aku juga akan mengajarimu Hardening Skin. Hardening Skin adalah sihir yang memperkeras kulitmu sendiri. Ini sangat berguna dalam pertahanan."
Naufal melanjutkan penjelasannya.
"Karena kau masih non-penyihir, kau harus belajar mengendalikan energi sihir terlebih dahulu. Setelah dapat mengendalikan energi sihir dengan baik, barulah kau bisa menggunakan sihir."
"Lalu, bagaimana cara mengendalikan energi sihir?"
"Duduklah. Aku akan menjelaskannya padamu dan membantumu mempraktikkannya."
Merlin dan Naufal pun duduk sila. Mereka saling berhadapan dan mengobrol. Melihat interaksi mereka, Riro tersenyum kecil sambil melipat kedua tangan.
"Mau minum?"
"Uwah!"
Riro terperanjat kaget mendengar suara gadis di sampingnya. Dengan spontan dia menoleh ke kanan. Wajah gadis cantik berambut merah pun terlihat.
Gadis itu ternyata adalah Nalia. Saat ini dia sedang menggenggam dua gelas berisi es teh. Hawa kehadirannya yang tipis ditambah sifatnya yang pendiam membuat Riro tidak menyadari kehadirannya sama sekali.
"Ya ampun. Kau benar-benar membuatku kaget. Sejak kapan kau ada di sini?"
"Baru beberapa detik yang lalu." Setelah mengatakan itu, Nalia mengulurkan sebelah tangannya, menandakan bahwa dia menawari minuman.
"Hawa kehadiranmu tipis sekali. Aku sampai tidak menyadari keberadaanmu." Riro mengambil gelas dari tangan Nalia. "Kau juga lebih pendiam dari biasanya."
"Kematian Nenek sungguh berat bagiku. Karena itulah aku seperti ini."
"Begitu ya ... aku mengerti."
Mereka berdua meneguk es teh dan memperhatikan dua laki-laki yang ada di tengah ruangan. Posisi mereka saat ini berada di depan tembok dan berdekatan dengan pintu masuk. Keduanya sama-sama bersandar pada dinding.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau datang ke sini? Minuman yang kau bawa juga dua gelas saja."
"Aku bosan, karena itulah aku datang ke sini. Aku juga penasaran dengan latihan yang dilakukan oleh temanmu itu. Soal minuman ... aku hanya membawa dua gelas karena kakakku dan temanmu belum membutuhkannya saat ini."
Riro meneguk gelasnya lagi. Dia sedikit senang pada Nalia. Meskipun gadis itu lebih pendiam hari ini, dia masih bisa diajak ngobrol. Yang lebih mengejutkannya lagi, Nalia lah yang berinisiatif membuka obrolan.
"Oh iya, apa kau masih ketakutan saat mengeluarkan sihir?"
Nalia tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia mengangkat sebelah tangan, memposisikannya di depan dada, lalu menatap bagian telapaknya.
Ingatan-ingatan saat latihan bersama Riro seketika terputar di kepala Nalia. Dia mengingat jelas sensasi ketika menggunakan sihirnya yang berbahaya.
Nalia tahu pasti dirinya masih takut saat mengeluarkan sihir. Namun ketakutan itu berkurang berkat Riro yang dapat memberikan rasa aman pada Nalia dengan sihir segelnya.
"Sejujurnya ... aku masih merasa takut hingga saat ini. Tanganku selalu gemetar saat latihan dan aku tidak bisa mengendalikannya."
Nalia menurunkan sebelah tangannya lalu menoleh ke arah Riro. Dia menatap pemuda itu dengan serius. "Hei ...." Nalia menggenggam lengan Riro cukup erat, membuat lelaki itu ikut menatapnya.
"Masa depan tidak bisa diprediksi." Saat melihat Riro, Nalia tiba-tiba teringat kematian Sri Wilona dan insiden yang membuatnya trauma. Ingatan-ingatan itu membutnya berkaca-kaca.
"Latihan yang kita jalani memang aman sejauh ini. Namun kecelakaan yang tidak diinginkan bisa terjadi kapan saja."
"Hei Nalia, tenanglah." Riro menyadari genggaman Nalia semakin erat.
"Jika ... jika ...." Suara gadis itu sedikit bergetar, menandakan bahwa dia sedang menahan tangis. "Jika insiden yang membuatku trauma terulang kembali, kau tidak akan meninggalkanku 'kan?"
Air mata gadis itupun menetes. Dia menahan isakan tangisnya agar tidak mengganggu temannya yang sedang berlatih. Riro melepas genggaman tangan Nalia dengan lembut, lalu membalas pertanyaan gadis itu.
"Aku tidak tahu kapan aku mati. Namun jika aku masih hidup, aku tidak akan membencimu dan meninggalkanmu. Meskipun kau membuatku terluka parah sekalipun."
Nalia sedikit tenang mendengar jawaban itu. Dia menghapus air matanya dan kembali memandang Riro.
"...."
Keduanya pun bertatapan dalam diam. Mereka mengabaikan banyak hal di sekitar dan hanya fokus pada wajah satu sama lain. Keheningan yang ada membuat waktu seolah terhenti.
Detakan jantung keduanya tiba-tiba berpacu lebih cepat. Dengan sebelah tangan, keduanya memegang bahu satu sama lain.
Riro dan Nalia saling mendekatkan wajah. Dalam situasi ini tampaknya mereka memikirkan hal yang sama.
"...."
Keduanya masih bertatapan dengan serius. Semakin lama, wajah mereka semakin dekat. Bahkan hidung mereka kini hampir bersentuhan. Riro dan Nalia pun sama-sama memejamkan mata, lalu mendorong punggung satu sama lain dengan lembut.
"Permisi, ada yang lihat powerbankku nggak?"
Suara Navia yang tiba-tiba muncul memecahkan suasana. Riro dan Nalia pun langsung menjauh dengan cepat karena panik. Hal yang ingin mereka lakukan pun gagal total.
"Kalian lihat?" tanya Navia. Wanita itu menoleh ke arah Riro dan Nalia. Namun dua remaja itu hanya menggelengkan kepala.
"Powerbanknya yang ada gambar Halah Kittynya kan!?" seru Naufal dari jarak jauh.
"Iya!"
"Ada di kamarku! Maaf tadi aku pinjam!"
"Oke! Makasih!"
Navia pun pergi dari tempat itu. Naufal kembali fokus melatih Merlin. Sedangkan Riro dan Nalia saling melirik dengan canggung dan malu-malu.