Chereads / Seal The Witch's Magic / Chapter 22 - Ch. 22 - Pulang Bersama

Chapter 22 - Ch. 22 - Pulang Bersama

Selesai makan bersama, Riro dan teman-temannya pergi ke lantai satu. Di sana mereka membeli kue dan roti untuk dibawa pulang.

"Kapan-kapan kita liburan bareng lagi yuk."

"Oh tentu saja!" seru Merlin dengan semangat.

"Ya."

"Hahaha, kalo ada duitnya ya." Riro menggaruk kepalanya.

Ucapan Maya mendapat respon hangat dari teman-temannya. Liburan hari ini memang singkat, tapi mereka puas dengan hasilnya. Mereka berharap bisa liburan bersama lagi seperti ini.

Setelah membeli makanan, Riro dan teman-temannya keluar mall bersama-sama. Mereka saling melambaikan tangan dan mengucapkan beberapa kata sebelum pergi.

Maya dan Lina pulang ke rumah dengan menaiki motor. Mereka berdua boncengan. Nico dan Merlin juga pulang bersama, bedanya mereka naik angkot.

"Riro, Wahyu, kalian mau pulang bersamaku? Aku sudah menghubungi supirku. Jika tidak macet, harusnya dia akan sampai sebentar lagi." Nalia memberi penawaran. Dia ingin membantu kedua temannya itu agar mereka menghemat uang.

"Naik mobil? Wih, mau dong!"

"Aku juga mau."

Tawaran dari Nalia diterima. Riro merasa terselamatkan karena uangnya berhasil ia hemat.

Beberapa menit kemudian, supirnya Nalia datang dengan mobil berwarna hitam. Ketiga remaja yang sudah menunggu pun masuk ke dalam mobil tersebut.

Riro dan Wahyu duduk di bangku belakang, sedangkan Nalia duduk di samping supir. Setelah semuanya sudah naik, sang supir pun mengendarai mobilnya untuk mengantar para penumpang pulang ke rumahnya masing-masing.

"Perkenalkan, nama saya Joko Arwono." Supir tersebut memperkenalkan dirinya karena baru mengenal Wahyu.

"Udah tahu." Riro iseng menjawab. Nalia tersenyum menahan tawa karena candaan itu.

"Salam kenal Pak, saya Wahyu."

Setelah berkata demikian, Wahyu melanjutkan.

"Woy parah banget lu," ucapnya.

Riro memang kurang ajar. Padahal Pak Joko sudah berusia 60an tahun, tapi dia berani bicara begitu kepadanya.

"Kurang ajar kamu Riro. Mau bapak tembakin pake pistol sihir?"

"Ampun Pak, jangan."

Raut wajah Riro berubah. Dia sedikit takut mendengar ancaman itu. Di sisi lain, Nalia malah tertawa lantang hingga membuat Wahyu terkejut melihat sisi lain dari gadis itu.

"Ketawamu kenceng amat Nal," kata Wahyu. Lelaki itu masih kaget sekaligus heran.

"Aduh, aduh, jadi begini ...." Nalia menceritakan peristiwa yang tiba-tiba teringat dikepalanya.

Beberapa hari yang lalu, ada kejadian lucu yang sulit dilupakan Nalia, yaitu perbuatan iseng Riro terhadap Pak Joko. Saat itu, Pak Joko sedang tidur di sofa. Namun tanpa ia ketahui, Riro datang diam-diam dan mencoret-coret wajahnya dengan spidol.

Wajah Pak Joko jadi terlihat lucu setelah 'dihias' oleh Riro. Nalia yang melihatnya pun sampai tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Dan lebih parahnya lagi, Naufal dan Navia malah ikut-ikutan berbuat jahil dengan memotret wajah Pak Joko saat itu.

Spidol yang Riro gunakan juga bukan spidol biasa. Spidol tersebut sudah diberi sihir. Jadi ketika ia menulis sesuatu dengan benda itu, tintanya akan menghilang dalam waktu semenit.

Saat bangun tidur, tentunya Pak Joko tidak tahu ada yang menjahilinya karena wajahnya sudah bersih. Dia baru tahu dirinya dijahili setelah ada pelayan yang memberitahu.

Setelah tahu perbuatan iseng Riro, Riro ditembaki dengan pistol sihir oleh Pak Joko. Pistol tersebut tidak menembakkan peluru, tapi bubuk hitam. Setelah ditembaki berkali-kali, baju dan wajah Riro pun jadi gelap gulita.

Nalia tidak lupa memotret penampilan Riro saat itu. Ketika melihat fotonya, gadis itu tertawa terbahak-bahak. Riro tentunya sangat malu dan menyesal setelah mendapat karma.

"Ini fotonya."

Nalia memperlihatkan foto Riro dan Pak Joko dengan HP. Setelah melihat kedua foto tersebut, Wahyu tertawa terbahak-bahak.

"Serius ini Riro!? HAHAHAHAHA!"

Di sisi lain, Riro menutupi wajahnya karena malu. Sedangkan Pak Joko terkejut karena Nalia masih menyimpan foto-foto tersebut.

"Loh, kamu nyimpen foto bapak ternyata."

"Hehehe. Maaf Pak." Nalia tertawa kecil lalu kembali menyimpan HPnya.

Pak Joko menghembuskan nafas panjang, lalu ikut tertawa.

"Lama-lama kamu jadi mirip Riro ya Nalia," ucap Pak Joko.

....

"Hah ... capek."

Sesampainya dirumah, Riro langsung masuk ke dalam kamarnya. Di sana dia meletakkan tas, melepas pakaian, mengambil handuk, lalu pergi ke kamar mandi.

Dengan gayung dan air, Riro pun membasahi tubuhnya dari kepala sampai kaki. Rasa lelahnya terangkat ketika ia merasakan sensasi menyegarkan.

Setelah mengguyur badan hingga beberapa kali, Riro menatap cermin. Kedua tangannya menempel pada tembok. Dia melihat penampilannya dari kepala sampai dada.

"Hm ... pertarunganku melawan Kak Ervin akan dimulai besok. Dengan kekuatan Yanghir 25%, apakah aku bisa menang melawannya?" Riro bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Pertarungannya melawan Ervin ditunda karena suasana berduka. Meski mendapat tambahan waktu untuk bersiap, Riro pesimis bisa menang.

Ervin bukan penyihir kaleng-kaleng. Menurut perkiraan Riro, dia harus menggunakan 50% kekuatan Yanghir untuk menang. Tapi masalahnya, Riro hanya dapat bertahan lima menit dengan setengah kekuatannya. Jika melebihi batas waktu tersebut, kemungkinan besar Riro akan mengamuk.

"Ah, jangan berpikir terlalu rumit. Jika aku kalah itu adalah hal yang wajar."

Riro menggelengkan kepala, lalu mengguyur badannya lagi. Kemudian dia sikat gigi, sabunan, dan shampoan. Setelah itu ia kembali mengguyur badan beberapa kali.

"Hah ... aku butuh seseorang yang kuat agar bisa berlatih secara maksimal. Perkembanganku terlalu lambat jika hanya mengandalkan Ayah. Aku butuh orang lain."

Setelah mengatakan itu, Riro mengeringkan tubuhnya lalu keluar dari kamar mandi.

....

Malam hari, jam delapan.

Di atas bangunan pencakar langit, dua pria berpakaian hitam berdiri sambil memandangi kota. Di bagian punggung baju mereka terdapat lambang kepala kambing berwarna merah.

Bukan tanpa alasan mereka datang ke tempat ini. Keduanya sama-sama menunggu kedatangan seseorang.

"Hah ... lama sekali anak itu. Ngapain dulu sih dia?" Pria berambut hijau terlihat kesal. Setelah berbicara, dia kembali mengulum permen genggamnya.

"Sabar Rio. Anak itu memang selalu datang terlambat." Pria berambut hitam pendek dengan tubuh kekar membalas.

"Cih, padahal dia sudah membuat perjanjian dengan Nona Rista. Jika dia masih segan membantu kita menangkap Yinhir, akan kuhajar dia!"

"Sudahlah. Lagipula anak itu berteman dengan Yinhir. Wajar jika dirinya ragu."

Rio menoleh ke arah rekannya itu.

"Oi, Retno. Apa kita langsung tangkap saja Yinhir itu?"

Retno menggelengkan kepalanya.

"Jangan. Resikonya terlalu besar. Kita harus membuat Yinhir itu jauh dari keluarganya. Untuk itulah kita membutuhkan anak itu agar misi ini sukses"

"Ah, nggak seru. Lagian kenapa sih kita harus hati-hati banget? Emangnya Keluarga Mawar Merah lebih kuat dari kita?"

"Entahlah. Tapi jika kita berhadapan dengan Ervin Mawar Merah, mungkin kita akan kalah."

Rio tertawa lantang mendengar rekannya itu. Ucapan Retno terdengar seperti lelucon baginya.

"Serius kau berpikir begitu? Hahaha! Ototmu saja yang gede, tapi nyalimu kecil!"

"Aku tidak ingin meremehkan lawan. Lagipula kau tahu sendirikan? Ervin itu adalah penyihir terkenal di negara ini. Kekuatannya sudah diakui oleh banyak penyihir hebat."

"Jadi, prestasinya itu membuatmu takut?"

"Tidak. Aku hanya tidak ingin mengambil resiko."

"Hahaha, terserah deh."

Beberapa waktu kemudian, seseorang datang menghampiri mereka. Orang itu berpakaian serba hitam dan memakai masker. Hoodie yang ia kenakan membuat rambutnya tertutupi.

"Akhirnya datang juga bocah ini. Oi, mau kapan nih nangkap Yinhirnya? Dari kemarin nggak jadi mulu."

Tanpa mengatakan apapun, orang itu melempar sebuah batu giok. Giok tersebut adalah alat sihir yang dapat mengeluarkan layar. Layar yang dikeluarkan hanya bisa dilihat oleh pemegangnya.

"Oi! Tunggu sialan!" Rio memanggil dengan kesal. Setelah menyerahkan giok, orang itu hanya melambaikan tangan lalu pergi begitu saja.

"Cih." Rio menggunakan giok tersebut. Layar biru berisi tulisan seketika muncul di depannya.

"Dia sudah membuat rencana rupanya."

Rio membaca tulisan tersebut hingga selesai. Setelah itu, ia menghilangkan layar dan tertawa.

"Bocah itu menjijikkan juga," ucapnya.