Riro dan Nalia duduk bersebelahan. Karena teman-teman mereka duduk di barisan bangku yang sama, Nalia dan Riro lagi-lagi dijadikan bahan candaan.
Riro sedikit kesal karena sering dijodoh-jodohkan dengan Nalia. Tapi karena sudah terbiasa, ia mengabaikan semua candaan itu.
Setelah menunggu cukup lama, film di teater akhirnya diputar. Semua penonton yang tadinya mengobrol dan bermain HP kini menonton film dengan serius.
Adegan pertama memperlihatkan dua tokoh yang saling bertemu, yaitu Loyd dan Alice. Kota tempat tinggal mereka menunjukkan peradaban medieval. Di awal film, kedua tokoh tersebut mengobrol di depan kedai. Mereka baru mengenal satu sama lain.
Adegan demi adegan berlangsung. Semakin lama, cerita di film ini semakin menarik. Awalnya Loyd dan Alice sering bertengkar. Namun lama kelamaan, keduanya saling jatuh cinta.
"Mereka sungguh romantis ...." Nalia tersenyum saat Loyd dan Alice menuju taman sambil berpegangan tangan.
Di bawah langit malam dan di atas rerumputan taman, kedua tokoh tersebut membahas perang yang akan datang. Loyd adalah kesatria, sedangkan Alice adalah penyihir yang diincar raja negeri musuh.
Keberadaan penyihir di cerita film ini sangat langka, karena itulah sang antagonis ingin mendapatkan Alice. Alice ingin ikut perang bersama Loyd, tapi Loyd melarangnya karena gadis itu tidak punya pengalaman perang.
"Aku harap Loyd tidak mati ...." Maya merasa khawatir.
"Si Loyd mending mati aja sih. Biar ceritanya seru." Lina berkomentar sambil makan popcorn. Ucapannya itu membuat Maya menatap tajam.
Adegan demi adegan berganti. Belasan menit kemudian, film yang ditonton menunjukkan adegan perangnya. Film ini tampaknya sudah mencapai bagian klimaks.
"Ini dia nih yang aku tunggu!" Merlin antusias. Dia terpana ketika melihat zirah Loyd yang sangat keren, meskipun warnanya bukan hitam. Dalam film ini, Loyd menjadi jendral yang memimpin pasukan terdepan.
Perang dalam film tersebut pun dimulai. Pertempuran yang disajikan sangat epic hingga membuat semua penonton dalam teater terpana melihatnya.
Pasukan Loyd awalnya imbang saat melawan pasukan musuh. Namun lama kelamaan mereka terdesak karena ternyata ada penyihir juga dari pihak antagonis.
Teman-teman Loyd banyak yang mati. Para penonton pun sedih karena tokoh-tokoh tersebut gugur dalam perang.
Saat pasukan Loyd benar-benar kewalahan, Alice tiba-tiba datang dan membantu dengan sihir-sihirnya. Para penonton pun bersorak karena pasukan Loyd kembali memberi perlawanan besar pada musuh mereka.
"Hahaha sudah kuduga dia akan muncul." Lina tertawa kecil karena plot cerita yang ia tebak.
Medan perang diselimuti kobaran api karena sihir. Alice bertarung melawan penyihir dari pihak lawan. Sedangkan Loyd berhadapan dengan Erick, sang antagonis utama. Latar waktu di klimaks perang ini adalah malam hari.
Loyd dan Erick bertarung setelah keduanya berdialog. Para penonton terkagum-kagum melihat pertarungan dua kesatria medieval itu. Yang paling senang di sini tentunya Merlin karena dia sangat menyukai kesatria.
Setelah beberapa waktu, Loyd pun berhasil memenangkan pertarungan. Para penonton bersorak ketika Erick dikalahkan.
"Keren!" teriak Merlin.
"Awalnya aku berekspetasi rendah pada film ini. Tapi ternyata film ini sangat bagus." Riro berkomentar.
"Uwaahhh ...! Loyd keren," puji Maya.
"Untung saja aku memaksa dokterku agar diizinkan pergi."
"Boleh juga nih film."
"Film yang bagus ...."
Riro dan kawan-kawannya memberikan komentar masing-masing. Begitu juga dengan penonton yang lain.
Setelah beberapa adegan, layar bioskop menunjukkan adegan Alice yang sekarat. Para penonton kembali senyap setelah mereka berteriak. Alice menang melawan penyihir dari pihak lawan, tapi dia mendapatkan luka yang serius.
"Tidak ... tidak ... tidak!" teriak Loyd.
Loyd menghampiri Alice yang terbaring dengan luka parah. Para penonton khawatir kisah ini akan berakhir sad ending.
"Jangan mati, Alice!" seru Loyd.
"Jika kau mati ... aku tidak yakin bisa melanjutkan hidupku. Kumohon ... jangan tinggalkan aku. Kita harus hidup bahagia bersama-sama!" teriak Loyd lagi.
Adegan tersebut sangat dramatis bagi para penonton. Bahkan Riro dan Nalia juga ikut sedih menontonnya.
"Loyd kasihan banget." Bukannya simpati kepada Alice, Maya malah bersimpati kepada Loyd.
"Alice pasti mati sih." Lagi-lagi Lina menebak-nebak.
Nico, Wahyu, dan Merlin juga ikut memberikan komentar saat adegan drama ini dimulai. Sedangkan Riro dan Nalia hanya diam menikmati film.
"Oh ayolah ... jangan sad ending."
"Tenanglah Nico. Nggak bakal sad ending, aku yakin. Paling habis drama ini protagonisnya mendapatkan kebahagiaan. Di film-film yang udah kutonton biasanya begitu."
"Bodoamat ama endingnya. Aku udah puas ngelihat adegan pertarungan keren dalam film ini."
Adegan demi adegan berganti. Waktu terus berlalu. Hingga akhirnya, film yang ditonton oleh Riro dan kawan-kawannya mencapai ending cerita.
....
"Waaahhhh ... film yang tadi bagus sekali ya?" Maya mengangkat kedua tangannya lalu memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Badannya pegal, jadi ia melakukan itu.
"Aku setuju."
"Aku juga."
Riro dan teman-temannya memberikan penilaian bagus pada film tersebut.
Mereka membahas adegan-adegannya. Bagian drama, perang, dan ending menjadi topik utama pembicaraan. Tidak hanya hal-hal positifnya saja yang mereka bicarakan, tapi juga bagian cacat dari filmnya.
"Aduuuhhh, aku lapar nih. Makan yuk?" Lina mengajak teman-temannya.
"Benar. Aku juga lapar." Wahyu mengelus perutnya. Ia terlihat lesu.
Maya yang melihat teman-temannya kelaparan menyetujui usul tersebut. Dengan semangat, ia mengajak kawan-kawannya ke restoran.
"Baiklah, ayo kita ke restoran! Lalu makan sampai kenyang!"
....
Restoran di mall ini tidak jauh dari bioskop. Jadi Riro dan teman-temannya tidak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.
"Aku bingung mau makan apa." Nico melihat daftar menu. Ia plin-plan dengan makanan yang ingin dipesan.
"Pilih saja yang paling kelihatan enak." Riro memberi saran.
"Masalahnya kelihatan enak semua."
Riro tertawa kecil mendengar itu. "Mau kupilihkan?"
"Oh ... itu ide yang bagus."
Nico menyerahkan daftar menu yang ia pegang. Riro melihat-lihat daftar tersebut sambil menebak-nebak makanan apa yang Nico sukai.
Setelah beberapa waktu, akhirnya Riro menentukan pilihannya.
"Ayam panggang mau nggak? Makanan ini terlihat enak."
"Baiklah. Itu saja."
Selain Nico, Merlin dan Lina juga plin plan dalam menentukan makanan. Karena mereka bertiga, Riro dan yang lain harus menghabiskan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Meski begitu, mereka tidak marah sedikitpun.
"Cepatlah datang ... cepatlah datang ...."
Wahyu tiduran dengan meja sebagai bantal. Ia benar-benar lesu saat menunggu makanannya datang. Riro tertawa kecil melihat itu.
"Ya ampun, sepertinya kau benar-benar kelaparan. Kau terlihat seperti orang yang tidak punya semangat hidup."
"Sabar ya Wahyu ... sebentar lagi makanannya datang kok."
"Hahaha, si Wahyu lapar amat dah. Sampai pucat gitu mukanya."
Wahyu tidak membalas ucapan mereka sama sekali. Dia terlalu lelah dan ingin segera makan.
"Akhirnya datang juga."
Wahyu tiba-tiba bangkit dan duduk dengan tegak.
"Yang kumaksud Merlin. Dia baru datang dari toilet." Riro tertawa kecil.
"Sialan."
Wahyu kembali tiduran setelah dijahili oleh temannya itu. Riro menahan tawa ketika melihat reaksinya yang kontras.
Semenit kemudian, makanan dan minuman yang dipesan akhirnya datang. Wahyu langsung bangkit dan menyantap hidangan dengan terburu-buru.
Selain makan menu yang dipesan sendiri, Riro dan teman-temannya saling mencicipi makanan. Mereka juga mengobrol dan saling bercanda. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat.