"Gila, gede banget! Aku tidak menyangka rumahnya Nalia sebesar ini. Udah kayak rumah artis aja."
Merlin melihat-lihat bagian luar wastu Keluarga Mawar Merah dengan tatapan kagum. Saat ini ia dan Riro berada di depan gerbang rumah tersebut.
"Ingat ya, aku tidak menjamin kau akan diterima menjadi murid anggota keluarga ini. Bagaimana pun juga, Keluarga Mawar Merah adalah keluarga penyihir yang bertalenta. Jika kau sangat payah dalam sihir, mereka tidak akan mau membuang-buang waktu untuk melatihmu."
"Woi, padahal kau yang mengajakku ke sini. Kau juga yang menyuruhku belajar sihir. Kenapa sekarang kau membicarakan sesuatu yang membuatku tidak percaya diri?"
Merlin menatap Riro dengan malas. Dia heran kenapa semua orang seolah-olah tidak mempercayainya sedikitpun.
"Aku hanya memberi peringatan saja dari sekarang. Agar kau tidak kecewa nantinya."
"Terima kasih banyak Tuan Yanghir. Tapi sungguh, seharusnya kau tidak mengatakan itu. Aku jadi gugup sekarang."
"Baiklah, aku minta maaf. Dan tolong, jangan panggil aku Tuan Yanghir."
"Oke."
Setelah percakapan itu selesai, keduanya pun membuka gerbang dan masuk ke halaman rumah. Mereka berjalan beberapa langkah lagi dan melepas sepatu di depan pintu.
Riro menekan bel lalu menunggu sambil bersandar pada tembok. Dia juga melipat kedua tangannya dan berharap permintaannya nanti dikabulkan.
Merasa tidak ada kerjaan, Merlin menatap CCTV di sudut ruangan dan melambaikan tangan ke arah sana. Dia juga memasang ekspresi bodoh seperti orang norak yang baru mengenal CCTV.
Melihat tingkah laku temannya itu, Riro tidak melakukan apa-apa selain menepuk wajah dengan rasa malu.
*Cklek*
Setelah beberapa waktu akhirnya pintu dibuka. Yang membukanya adalah kepala pelayan di wastu ini, yaitu Raka. Riro menyadari ada yang berbeda dari pria itu. Meskipun ekspresinya datar seperti biasa, ada rasa sedih yang samar terlihat di wajahnya.
"Selamat datang Riro. Dan ...."
"Merlin." Pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan canggung.
Raka mengangguk lalu mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke dalam wastu. Dia membungkuk sejenak sebelum Riro dan Merlin masuk ke dalam ruangan.
Karena Keluarga Mawar Merah adalah keluarga yang kaya, tentunya mereka pasti punya banyak hiasan rumah yang bagus dan mewah. Mata Merlin berbinar-binar ketika melihat benda-benda indah itu. Menurutnya, hiasan rumah di wastu ini sangat keren.
Setelah berjalan beberapa langkah, Riro dan Merlin tiba di ruang tamu. Mereka bertemu Nalia dan Naufal yang saat ini duduk di sebuah sofa.
Naufal adalah pria berambut merah pendek dengan iris mata ungu. Anak Agus yang ketiga. Dia memiliki bekas luka bakar yang parah di tubuhnya. Saat ini dia memakai kaos hitam lengan panjang, jadi luka bakar itu tertutupi dengan baik dan hanya terlihat sedikit di bagian leher.
"Halo ... apa aku datang di waktu yang tidak tepat?" Riro sedikit khawatir. Dia takut kedatangannya membuat Nalia dan Naufal tidak nyaman. Meskipun samar, dia tahu dua orang itu sedang sedih saat ini.
"Hah? Kenapa kau bilang begitu? Santai aja kali." Naufal tersenyum hangat pada Riro. "Silahkan duduk," ucapnya.
Riro dan Merlin pun duduk di atas sofa. Merlin merasa canggung dan melihat-lihat seisi ruangan. Nalia berdiam diri seperti biasanya sambil main HP. Sedangkan Naufal berbaur dengan para tamu.
"Sepertinya kau menyadari kalau kami sedang sedih hari ini. Aku cukup tersentuh kau sepeka itu. Maaf jika membuatmu merasa tidak nyaman." Naufal tertawa pelan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan minta maaf. Harusnya aku yang bilang begitu karena datang di waktu yang tidak tepat."
"Tidak masalah bagiku meskipun kau datang di saat begini. Lagipula mengobrol dengan teman bisa membuatku merasa lebih baik." Naufal tersenyum lebar pada Riro. Kemudian ia memutar pandangan ke arah meja.
Suara langkah kaki seseorang terdengar. Raka memasuki ruangan ini sambil membawa teh empat cangkir. Ia meletakan benda-benda itu di atas meja, lalu membungkuk pada orang-orang yang ia layani.
"Terima kasih Raka."
"Sama-sama, Tuan Naufal."
Raka pun pergi setelah mengerjakan tugasnya tanpa diminta.
".... Benar-benar enak. Aku sedikit iri kau bisa minum teh seperti ini setiap hari," ujar Riro setelah menyeruput teh yang disajikan. Naufal terkekeh mendengar itu lalu ikut meminum teh.
Nalia terlihat tidak mood meminum teh itu. Dia tidak menyentuh cangkir tehnya sama sekali. Bahkan tehnya hanya dilihat beberapa detik sebelum ia kembali bermain HP.
Berbeda dengan temannya yang langsung meminum teh. Merlin melihat-lihat cangkirnya terlebih dahulu. Di cangkir putih tersebut ada gambar ular naga hitam yang terlihat sangat keren di mata Merlin. Gambar itu membuatnya terkagum-kagum.
'Keluarga Mawar Merah memang hebat. Tidak kusangka mereka dapat menyegel ular naga hitam ke dalam cangkir ini,' batin Merlin. Dia masih belum meminum tehnya.
"Ada apa?" Naufal bertanya pada Merlin. Dia terlihat bingung karena tamunya itu melihat-lihat cangkir daritadi.
"Ah, nggak papa. Aku hanya takjub Keluarga Mawar Merah bisa melakukan sesuatu seperti ini." Setelah mengatakan itu, Merlin pun meminum tehnya.
Perkataan itu tentunya membuat Naufal mengernyitkan dahi. Dia keheranan dan kebingungan. Bagaimana mungkin seseorang takjub hanya karena sebuah cangkir teh? pikirnya.
Berbeda dengan Naufal. Riro dan Nalia tidak mengambil pusing perkataan Merlin. Mereka tahu kalau Merlin adalah orang yang suka mengatakan hal-hal aneh seperti itu. Jadi lebih baik didiamkan saja.
Setelah menyeruput teh, Naufal pun menjelaskan alasan keluarganya sedang bersedih hari ini. Riro akhirnya mengetahui kalau Sri Wilona meninggal kemarin. Ia dan Merlin turut berduka cita.
Naufal tentunya tidak ingin tamu-tamunya merasa tidak enak, jadi ia mengalihkan topik dengan bertanya alasan Riro dan Merlin datang ke tempat ini.
"Jika boleh, aku ingin salah satu anggota Keluarga Mawar Merah menjadi guru sihir bagi Merlin. Tentu saja, aku akan memberikan imbalan berupa uang. Jika imbalannya tidak memuaskan, aku akan mencari guru lain untuk temanku ini."
Setelah Riro menanyakan hal itu, Merlin menjadi gugup. Jantungnya berpacu lebih cepat dan dia berkeringat. Naufal saat ini menatapnya matanya sambil berpikir serius, membuat Merlin semakin gugup.
Menjadi murid Keluarga Mawar Merah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Merlin tahu itu. Jadi dia tidak optimis ketika Naufal mempertimbangkan permintaan Riro.
Saat dalam perjalanan ke tempat ini, Merlin bertanya kepada Riro mengapa dia bisa akrab dengan Keluarga Mawar Merah. Riro pun memberitahu alasannya, yaitu karena dia pernah menyelamatkan Nalia dari musuh yang kuat.
Riro juga mengatakan, Keluarga Mawar Merah bukanlah keluarga yang menyeramkan maupun sombong. Mereka ramah dan menyenangkan seperti keluarga lainnya.
Beberapa waktu telah berlalu. Naufal akhirnya membuat keputusan.
"Baiklah. Aku terima tawarannya. Aku saja yang menjadi guru bagi temanmu itu."
"Benarkah!?" seru Riro.
"Terima kasih!" kata Merlin.
"Hahahaha! Sama-sama. Aku senang bisa membantu. Lagipula, aku belum pernah punya murid. Jadi aku penasaran bagaimana rasanya menjadi guru." Naufal terkekeh.
Dengan ini, Merlin pun resmi menjadi murid Naufal. Tidak hanya menerimanya menjadi murid, Naufal bahkan bersedia melatihnya saat ini juga. Kabar baik ini membuat Merlin berdebar-debar karena sebentar lagi ia akan menjadi seorang penyihir.
'Kesatria kegelapan akhirnya menapaki dunia sihir. Hahahahahaha ....' Merlin tertawa dalan hatinya.