"Hah ... aku ingin melihat cucu-cucuku menikah dan memiliki anak. Tapi usiaku sudah sangat tua dan kondisi tubuhku buruk. Tampaknya aku akan mati duluan sebelum keinginanku ini tercapai."
Sri Wilona berbicara sendiri di dalam kamarnya, sambil menatap hujan dari balik jendela. Selain Ervin, nenek tua ini juga jarang bertemu Riro. Meskipun baru bertemu dua kali dengan bocah itu, dia tahu Riro anak yang baik. Sri Wilona senang akan kehadiran bocah itu meskipun ia belum lama bersama Keluarga Mawar Merah.
Selain dari percakapan dengan orangnya langsung, Sri Wilona juga mengenal Riro lebih jauh dari Nalia dan Darwo. Riro adalah anak yang menyebalkan dan suka menolong di mata Nalia. Sedangkan Darwo menganggap Riro teman dekat yang menyenangkan saat berbaur.
Sri Wilona juga mengetahui Riro adalah seorang Yanghir. Hal tersebut membuatnya mengkhawatirkan lelaki berambut coklat itu. Berbeda dengan Nalia yang dijaga oleh pelayan dan saudara saudarinya, Riro selalu berkeliaran sendiri tanpa penjagaan.
"Hm? Siapa di situ?"
Sri Wilona merasakan hawa kehadiran seseorang di dalam kamarnya. Dan benar saja, beberapa waktu kemudian seorang pria bertopeng putih dan berjaket hitam muncul dari dalam bayangan.
Setelah tubuh pria itu keluar dari bayangan sepenuhnya, ia menatap Sri Wilona yang ada di depannya.
"S-Siapa kau!?" Sri Wilona menjadi waspada.
Melihat perempuan tua itu waspada, pria itupun melepas topeng miliknya.
"Eh?" Sri Wilona terkejut melihat wajah pria itu.
....
Sore hari, jam setengah empat.
Merlin dan Nico saat ini sedang nongkrong di sebuah kafe. Mereka sudah berada di tempat ini selama setengah jam. Hujan masih turun dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Selain mengobrol, Nico menghabiskan waktunya dengan membaca buku, sedangkan Merlin menghabiskan waktu dengan menceritakan kisah-kisah karangannya. Keduanya memesan minuman yang sama, yaitu kopi.
"Aku jadi teringat masa-masa saat aku mengembara di Hutan Kematian." Merlin berbicara sambil menatap hujan dari balik jendela.
Mengetahui temannya akan bercerita lagi, Nico menghembuskan nafas panjang. Dia menatap Merlin sebentar lalu kembali membaca bukunya.
"Di Hutan Kematian, aku bertemu monster bernama Elviharagiorc. Monster itu bertubuh ular, berkepala gajah, dan berkaki jerapah."
Nico berpikir keras untuk menggambarkan wujud makhluk tersebut di dalam benaknya. Konsentrasinya pada buku sampai pecah hingga membuatnya emosi sendiri.
"Setelah itu, aku membunuhnya dan mendapatkan julukan MBUBGBJ Slayer."
'Kenapa adegan bertarungnya dipotong!? Lalu apa itu MBUBGBJ!?' Nico menjerit dalam hatinya.
Sebenarnya Merlin tidak menceritakan adegan bertarung karena bingung sendiri dengan wujud monster karangannya. Sedangkan MBUBGBJ adalah singkatan dari 'Monster Berbadan Ular Berkepala Gajah Berkaki Jerapah'. Merlin tidak tahu terjemahan inggrisnya apa, jadi dia menyingkatnya saja dan menambahkan kata 'Slayer' di belakang.
"Bagaimana denganmu Nico? Apa kau pernah berpetualang ke tempat mengerikan yang ada di midgard ini?"
Nico terlihat berpikir sejenak, lalu menjawab, "Ya, aku pernah. Dulu waktu aku masih kecil, aku diajak ayahku pergi ke sebuah pulau. Pulau itu berada di tengah danau, dan ada banyak sekali penyihir di tempat itu."
"Hah? Terus apa yang menyeramkan dari pulau itu?"
"Naganya sih. Aku sangat takut terhadap reptil jadi aku trauma setelah pulang dari pulau itu."
Merlin terkejut sampai melongo. Ekspresi Nico menjelaskan pengalamannya benar-benar serius, jadi Merlin yakin itu bukan kebohongan.
'N-Naga!? Aku ingin melihatnya!' Merlin menjerit dalam hati.
Setelah menceritakan pengalaman, Nico menghabiskan kopinya. Ia melihat ke arah jendela dan melihat hujan yang sudah mereda.
"Pulang yuk," ajak Nico.
"Oke."
Nico dan Merlin pun pulang bersama setelah menghabiskan waktu di kafe ini. Mereka memang akrab karena sudah berteman sejak SMP. Keduanya juga sering main bareng karena rumah yang berdekatan.
Sambil berjalan di trotoar, Merlin dan Nico mengobrol di bawah payung mereka masing-masing.
"Nico, kau ini penyihir elemen bumi 'kan? Kau belajar sihir dari siapa?" tanya Merlin. Dia terlihat penasaran.
"Aku mempelajarinya dari Ayahku. Sebenarnya aku tidak mau jadi penyihir sih, tapi Ayahku memaksa. Jadi ya ... aku ikuti saja kemauannya. Lagipula belajar sihir untuk kebaikanku juga."
"Oh ... begitu."
"Kau sendiri gimana? Nggak tertarik belajar sihir?"
"Aku? Belajar sihir? Hahahaha! Kesatria kegelapan tidak perlu belajar sihir!"
Tidak, sebenarnya Merlin tertarik belajar sihir. Karena itulah dia membicarakan topik ini bersama Nico.
"Aneh sekali. Padahal namamu Merlin, tapi kau malah jadi kesatria."
"Ck ck ck. Kesatria kegelapan itu lebih hebat dari penyihir. Kami mengembara dan memburu berbagai macam monster. Meskipun hidup kami penuh penderitaan, kami tetap berjuang demi memenuhi ambisi kami!"
"Aku tidak peduli."
"Kami memiliki zirah hitam yang keren dan mengerikan. Pedang besar kami dapat membunuh berbagai macam monster. Seperti itulah perlengkapan kesatria kegelapan. Penyihir mana mungkin bisa tampil sekeren itu."
"Aku tidak tanya."
Meskipun Merlin sering menceritakan sesuatu yang ada di khayalannya, entah kenapa Nico masih sulit mengabaikan lelaki itu. Dia selalu membalas bacotan lelaki itu meskipun sebenarnya tidak diperlukan.
"Tunggu, Merlin." Nico merentangkan sebelah tangannya agar Merlin berhenti berjalan. Saat ini keduanya berada di sebuah gang yang sepi.
Nico merasa ada yang aneh di sini. Dia mendengar suara makhluk yang sedang mengunyah sesuatu. Lelaki berambut hitam itu tentunya sadar suara kunyahan ini bukan berasal dari mulut manusia karena suaranya yang cukup besar.
"Apa itu werewolf?" Nico bergumam. Dua meter dari tempat ia berdiri, gang ini akan berbelok ke kiri. Dari jalan di kiri itulah suara ini berasal.
Nico pun berjalan secara perlahan dengan punggung yang menempel pada tembok. Dia mengintip ke arah kiri untuk melihat makhluk apa yang ada di sana.
"Gawat ...." Nico terkejut dan berusaha untuk tidak panik. Dugaannya benar, saat ini ada werewolf yang sedang makan daging manusia.
Sepertinya orang-orang di daerah ini bersembunyi karena kehadiran werewolf tersebut. Karena itulah gang ini sangat sepi sekarang.
"A-Ada apa?"
"Werewolf."
Mendengar ucapan temannya itu, Merlin langsung merinding.
"B-Bagaimana ini?" tanya Merlin. Dia tidak berani bersuara keras karena takut ketahuan.
"Mari kita lewat jalan yang lain."
Merlin pun menganggukkan kepalanya. Mereka sepakat untuk melewati jalan lain untuk pulang ke rumah.
Namun, saat keduanya berbalik untuk pergi dari gang ini, werewolf yang Nico lihat tiba-tiba berdiri di belakang mereka.
Karena merasakan kehadiran makhluk itu, Nico dan Merlin pun menoleh ke belakang secara perlahan. Mereka sangat kaget ketika melihat werewolf berbulu hitam itu menatap mereka dari jarak yang sangat dekat.
"Sial ...." Nico bergumam. Dia merasa nyawanya ada di ujung tanduk. Merlin juga merasakan hal yang sama dengan Nico. Dalam situasi ini, tampaknya mereka hanya bisa berlari dan mengandalkan keberuntungan.