Sepuluh hari telah berlalu.
"Hoaaaaaammmmmm ...."
"Waduh, kuda nil."
Riro menguap cukup panjang karena rasa kantuk yang dia rasakan. Semalam dia push rank sampai tengah malam dan lose streak lagi. Wajar saja dia kurang tidur dan masih mengantuk pagi ini.
Sekarang hari kamis, semua murid memakai seragam batik dan celana abu-abu. Seperti biasa, Riro selalu mengobrol bersama si jamet Wahyu di dalam kelas sebelum jam pelajaran dimulai.
Beberapa menit kemudian, Nalia masuk ke dalam kelas. Dia melihat Riro, lalu menghampirinya. "H-Hai ...," sapa gadis itu. Dia terlihat canggung.
"Halo." Riro tersenyum ramah. Kemajuan sikap Nalia ini patut diapresiasi.
Setelah menyapa Riro, Nalia duduk di tempat duduknya. Beberapa teman perempuannya datang menghampirinya dan berbaur. Riro tersenyum melihat itu. Kemudian ia kembali melihat ke depan, menatap Wahyu.
"Wow, apa itu barusan? Kenapa Putri Nol Derajat kita bisa menyapa seseorang? Orang itu kau pula."
"Entahlah. Ngomong-ngomong kenapa kau menjulukinya Putri Nol Derajat? Apa tidak ada julukan lain?"
"Putri es udah mainstream banget soalnya. Mending Putri Nol Derajat, lebih keren."
"Benar juga."
....
Jam istirahat.
Riro dan Wahyu pergi ke kantin lalu duduk berhadapan. Keduanya mengobrol beberapa hal yang random sambil makan dan minum.
Di sisi lain, Nalia duduk bersama tiga teman perempuannya. Yaitu Lina dan Maya. Karena Nalia kaya sendiri, jadi makanan yang dia beli lebih mewah dibanding teman-temannya.
"Hei Nalia, kamu suka sama Riro ya?"
Lina membuka obrolan. Meskipun samar, beberapa orang di kelas menyadari bahwa Riro dan Nalia lumayan dekat. Hubungan yang terlihat di depan mereka memanglah bukan hubungan romansa. Tapi tetap saja Lina dan beberapa orang penasaran dengan hubungan kedua orang tersebut.
"Riro memang orang yang baik, tapi aku tidak jatuh cinta kepadanya. Aku menyukainya, tapi sebagai teman."
Setelah pertanyaan itu terjawab, Nalia dan teman-temannya mengubah topik. Tapi obrolannya tidak jauh dari membahas laki-laki. Teman-teman Nalia terlihat menikmati topik ini, tapi Nalia biasa saja dan selalu diam kecuali saat ditanya.
Sementara itu, di tempat Riro dan Wahyu.
"Halo teman-teman! Merlin sudah datang!"
"Halo ...."
Dua orang lelaki datang lalu duduk bersama Riro dan Wahyu. Mereka berdua membawa gelas plastik berisi mie dan sumpit.
"Wah, kalian jajannya samaan nih," kata Wahyu.
"Hehehehe ...." Merlin menutupi wajah dengan tangannya lalu membuat pose yang menurutnya keren. "Aku dan Nico sepertinya sudah terhubung dengan benang jiwa. Karena itulah kami berdua bisa saling memahami dan membeli makanan yang sama. Mie ini ... menyimpan kekuatan kegelapan yang dapat membuat orang yang memakannya memperoleh kekuatan sihir hitam. Hmm ... hmmm ... hmmmm ... Hsjhisjjddjsjdnnd .... Aku bisa merasakan kekuatan dahsyat mengalir dalam diriku." Merlin memejam mata sambil menyentuh ikat kepalanya.
"Lihat, dia mulai lagi."
"Aneh sekali. Awalnya ngomongin Nico terus tiba-tiba ngomongin mie."
"Dia ini tol*l beneran apa cuma akting sih?"
Wahyu, Riro, dan Nico saling mendekat. Mereka bertiga bergumam dan membicarakan teman mereka yang suka berkhayal itu.
Beberapa saat kemudian, perut Merlin mengeluarkan bunyi yang cukup keras hingga dapat di dengar oleh ketiga temannya. Dia belum memakan mienya sama sekali, karena itulah perutnya keroncongan.
Rasa lapar membuat Merlin membuka matanya. Lelaki berambut ungu itu masih sempat berkhayal dalam situasi ini.
"Hah ... hah ... hah .... Aku harus makan mie kegelapanku agar bisa pulih seperti semula!"
Merlin kembali duduk dan memakan mienya. Riro, Wahyu, dan Nico yang melihat itu hanya bisa berekspresi masam.
Keempat lelaki inipun makan dan minum sambil mengobrol. Di tengah percakapan, Nico teringat dengan video yang ia lihat di sosial media beberapa waktu yang lalu. Karena videonya menarik, ia pun membicarakannya.
"Oh iya, aku menemukan sesuatu yang menarik lo di sosial media," kata lelaki berambut hitam itu.
"Ho ... apa itu?" tanya Wahyu.
Nico pun menyalakan HP-nya. Ia menekan layar beberapa kali lalu membuka postingan di sosial media yang sudah ia simpan. Postingan tersebut berupa video. Nico pun memperlihatkan video tersebut kepada teman-temannya.
Riro, Wahyu, dan Merlin merasa tertarik. Mereka bertiga menonton video tersebut dengan serius. Video tersebut diambil dari CCTV dan menunjukkan werewolf yang sedang makan daging sendirian di malam hari.
Daging yang dimakan makhluk itu bukanlah daging hewan, melainkan daging manusia. Wujud werewolf itu juga terlihat jelas, namun daging manusianya disensor.
Riro dan dua temannya yang menonton sangat terkejut melihat itu. Werewolf bukanlah makhluk yang sering dijumpai karena mereka benar-benar langka. Mendapatkan video penampakannya saja sudah sangat sulit.
Meskipun sempat terkejut dan sedikit takut, Riro kembali tenang karena yakin tidak akan bertemu makhluk itu. Dia juga percaya diri dapat mengalahkan werewolf jika seandainya makhluk itu menyerangnya.
Di sisi lain, Merlin terlihat ketakutan sampai mukanya pucat. Dia bukan penyihir, wajar saja dia takut terhadap werewolf. Raut wajah Wahyu juga sama pucatnya dengan Merlin.
"W-Wah ... menakutkan ya ...," kata Wahyu.
"K-Kalian takut? P-Payah, b-begitu saja takut. " Merlin melipat kedua tangannya sambil gemetar ketakutan.
"Woy! justru kau yang paling takut di sini!" celetuk Riro.
"T-Takut? K-Kesatria kegelapan tak pernah takut." Merlin tersenyum kaku.
"Sudahlah, akui saja kalau kau takut," kata Nico.
Bukannya mengakui rasa takutnya, Merlin malah mengarang cerita agar dirinya terlihat keren. "Hahaha. M-Mustahil aku takut. A-Aku 'kan pernah mengalahkan monster yang dijuluki Dark Dragon of Death. A-Aku bahkan menebas kepala makhluk itu dengan Silet Pembunuh Naga." Merlin terlihat bangga dengan cerita karangannya itu. Anehnya rasa takutnya berkurang setelah bercerita.
"Iya-iya baiklah, kau tidak takut." Nico tidak ingin membuat Merlin melanjutkan ceritanya.
"Aku bahkan ingat ketika aku dijuluki Brave Knight setelah mengalahkan naga itu."
"Tidak usah dilanjutkan ceritanya!" Nico jadi emosi. Sedangkan Merlin kini sudah tenang sepenuhnya.
Setelah membahas werewolf, jam istirahat berakhir beberapa waktu kemudian. Riro dan yang lain pun beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kelas.
"Hei Riro! Kau 'kan dekat dengan Nalia. Jangan berbuat macam-macam dengannya ya!" Seorang gadis menepuk pundak Riro dan berkata demikian kepadanya. Nada bicaranya lumayan tinggi, namun dia tidak marah. Dia hanya memberi peringatan tegas.
"Hahaha siap. Seperti biasa, kau selalu peduli dan perhatian dengan teman-temanmu ya Maya."
"Tentu saja! Itu sudah tugasku sebagai ketua kelas. Di angkatan kita kau yang paling dekat dengannya, jadi aku meminta bantuanmu. Nalia juga sangat kasihan, dia orang introvert yang tidak banyak bicara dan selalu bersikap dingin. Ajaklah dia mengobrol sesering mungkin dan jadilah badut agar dia tertawa."
"Iya. Eh?"
"Baiklah itu saja yang ingin kusampaikan." Setelah berkata demikian Maya mempercepat langkah kakinya untuk menyusul teman-temannya yang lain.
....
Hujan deras turun ketika jam pelajaran berakhir.
Saat ini Nalia berdiri di koridor sambil menatap pemandangan di depannya yang penuh dengan tetesan air. Gadis itu terlihat kebingungan, dia mencari cara agar bisa pulang tanpa basah kuyup.
Hari ini Nalia tidak bisa dijemput supirnya karena ban mobil yang kempes. Dia ingin meminta bantuan teman-teman sekelas dan saudaranya namun terlalu gengsi.
"Hah ... bagaimana ini?" gumam Nalia.
Saat Nalia sedang resah tiba-tiba saja Riro datang menghampirinya. Secara spontan gadis itupun menoleh ke kanan untuk melihat sosok lelaki itu.
"Hahaha, nggak bawa payung ya? Kasihan amat." Riro meledek Nalia sambil mengeluarkan payungnya. Kemudian ia memasang ekspresi tengil lalu melambaikan tangan ke arah gadis itu. "Dadah ...," ucapnya.
Riro pun berjalan di bawah payung dengan sombongnya. Nalia sangat kesal sampai menggertakkan giginya.
Tentu saja gadis itu tidak ingin diam saja tanpa membalas. Dengan penuh emosi Nalia berlari ke arah Riro yang sudah cukup jauh darinya. Kemudian ia menendang punggung lelaki itu sekuat tenaga.
"Aduh!" Tendangan dari Nalia membuat Riro terjatuh.
Setelah melakukan perbuatan yang menarik perhatian, Nalia kembali ke koridor sekolah. Dia sudah basah kuyup karena air hujan.
"Hah ...." Nalia menghembuskan napas panjang.
Karena sudah puas menjahili Nalia, Riro pun menghampiri gadis itu lagi. Namun kali ini ia datang bukan untuk meledek, tapi untuk membantunya pulang dengan payung.
"Pulang bareng yuk." Riro tersenyum canggung.
"Minta maaf dulu." Nalia menatap tajam.
"Iya, aku minta maaf. Jangan marah lagi ya? Hehe."
Setelah mendengar permintaan maaf itu Nalia memaafkan Riro. Mereka berdua pun berjalan di bawah payung yang sama. Sesekali keduanya saling melirik satu sama lain di perjalanan.