"Yum, maaf ya. Semalam Aku tidak menjawab pertanyaanmu," kata Nada yang sudah bersiap untuk pergi ke kampus.
"Iya, tidak apa-apa, Nad. Aku tahu Kamu sedang ingin memendamnya sendiri. Dan Aku pun menghargai itu. Kalaupun nantinya Kamu sudah siap, pasti Kamu akan cerita sendiri kepadaku," jawabku.
"Terima kasih, Yum. Kamu memang penuh pengertian. Jadi sebenarnya semalam Aku melihatmu bersama Andra. Dan Aku pun mendengar ucapan Dion kepadanya," ungkap Nada.
"Maaf ya, Nad." Aku langsung meminta maaf kepadanya atas apa yang telah dia dengar semalam.
"Kamu enggak salah apa-apa, Yum. Jadi, Kamu tidak perlu minta maaf kepadaku. Aku hanya sedih, karena sampai saat ini masih berharap Dion melirikku. Bukan karena ingin dekat denganmu, melainkan benar-benar melihat diriku sendiri," ungkap Nada dengan penuh harap.
"Sabar ya, Nad. Jika memang Dion jodohmu, yakinlah Tuhan pasti akan mendekatkan kalian dengan cara-Nya. Yang bahkan mungkin tidak akan pernah Kamu sangka-sangka." Aku mencoba menyemangatinya.
"Iya juga ya, semoga memang dia jodohku. Kalaupun memang dia bukan jodohku, semoga segera dipertemukan dengan yang jauh lebih baik darinya. Duh, maunya yang baik-baik saja!" ungkap Nada.
"Ya enggak apa-apalah! Namanya berharap ya pasti yang baik. Masak berharap yang buruk-buruk," kataku.
"Siap! Yuk kita berangkat, nanti telat lagi!" ajak Nada.
"Iya Kamu duluan saja. Aku masih mau beresin buku-buku bawaanku," jawabku.
Tak lama setelah Nada keluar dari kamar, Andra meneleponku. "Halo, Kamu sudah siap? Aku sudah menunggu di bawah nih!" kata Andra.
"La, bukannya Kamu enggak ada kelas pagi ini?" tanyaku heran.
"Memang enggak ada kelas, tapi kan Kamu ada kelas pagi. Ayo sini Aku antar," kata Andra.
"Wah, dengan senang hati. Tunggu sebentar ya. Bentar lagi Aku turun." Aku mulai bergegas menuruni anak tangga menuju gedung parkir kendaraan. Dari jauh, Aku sudah melihat Andra yang bersiap memboncengku sampai gedung perkuliahan.
"Halo, Cantik. Akhirnya bisa bertemu dengan yang menyejukkan hati pagi ini," kata Andra.
"Alah lebay deh, Kamu. Semalam juga ketemu. By the way, terima kasih banyak mau antar Aku kuliah. Lumayan nih irit tenaga buat jalan kaki. Duh, jadi terharu deh Aku!" ungkapku.
"Sama-sama pujaan hatiku. Yuk, naik!" ajak Andra. Aku pun menaiki motornya dan memakai helm yang sudah disediakannya khusus untukku. Dia membelikanku helm minggu lalu. Ketika dia mengajakku pergi bersama untuk menemui Sintia di kafe Mawar waktu itu.
"Jangan lupa pegangan ya!" Dia mengingatkanku. Aku pun memeluknya dengan erat. Berjaga-jaga agar tidak terjatuh ketika memboncengnya, sekaligus menikmati momen kebersamaanku dengannya.
"Jangan ngebut-ngebut!" pintaku dengan berteriak dari jok belakang yang sedang aku duduki.
"Aman!" jawab Andra. Dia mulai mengurangi kecepatannya. Tak lama setelah itu, dia berkata, "Coba buka tasku!" Kemudian aku pun menuruti perkataannya. Aku kaget setelah melihat ada setangkai bunga mawar dan sebuah kotak kecil yang ada di dalam tas belakang punggungnya.
"Apa ini?" tanyaku penasaran.
"Nanti buka saja kalau sudah sampai," jawabnya. Aku tersenyum-senyum mengetahui kejutan pagi yang dibuat Andra untukku. Tidak kusangka, di balik humorisnya dia, dia memiliki sisi romantis yang tidak kalah hebatnya. Aku tersipu malu berkat tingkah lakunya kali ini.
Sesampainya di gedung perkuliahanku, dia berkata, "Selamat belajar. Bunganya simpan dulu, tapi kotaknya boleh dibuka sebelum kelas dimulai."
"Terima kasih, Ganteng!" ucapku pada Andra.
Andra pun pergi setelah Aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Belum sempat aku memasukkan bunga mawar dari tanganku ke dalam tas yang kubawa, teman-teman kelasku sudah bersorak, "Ciyeee …. ternyata Yumi pacaran juga ya. Kirain selama ini pacarannya sama buku saja!" Mukaku mulai memerah, merasa malu diledek mereka. Aku langsung berlari masuk ke dalam kelas yang sudah mulai ramai.
Tidak kusangka, ternyata Andra berhasil membuat hari-hariku di kampus semakin berwarna. Sebelum mengenalnya, semua terasa hambar. Hanya ada kesibukan sebagai aktivis dan mahasiswa penerima beasiswa. Paling-paling di luar itu semua hanya ada pekerjaanku sebagai manajer Sintia.
Berkatnya juga, aku bisa melupakan Dito yang entah sekarang sedang sibuk apa. Aku hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja. Apalagi setelah mengetahui apa yang terjadi pada kedua orang tuanya.
Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika dia mengetahui semua kenyataan yang ada. Bahwa om Danu telah berselingkuh dengan seorang mahasiswa yang umurnya tidak jauh darinya. Terlebih kemungkinan besar, dia memiliki adik tiri dari hubungan gelap papanya itu.
Dari dulu memang Dito tidak dekat dengan papanya. Tapi aku juga tidak yakin bahwa dia sebenarnya sudah tahu kelakuan papanya itu. "Ah, sudahlah. Bukan urusanku." Aku mencoba mengabaikannya lagi.
"Yum, Nada lagi dekat dengan seseorang, tidak?" tanya salah satu teman sekelasku yang sedang duduk di bangku belakangku.
"Kenapa memangnya Kamu nanya-nanya Nada lagi dekat sama seseorang atau enggak? naksir ya?" tanggapku.
"Wah, tahu saja Kamu, Yum. Iya nih, bantuin Aku PDKT sama dia dong!" pinta Nando teman kelasku tersebut.
"Usaha sendirilah, masak Aku perlu turun tangan," jawabku mencoba menghindar.
"Ah elah ... pelit amat Kamu, Yum! Setidaknya kenalin Aku sama dialah!" Nando masih berusaha membujukku.
"Hmmm ... gimana ya. Wani piro (berani berapa)?" candaku.
"Sumpah ya, Yumi ternyata pelit dan mata duitan ya!" balas Nando mulai kesal.
"Yeee ... mana ada sekarang yang gratisan." Aku masih mencoba menghindari permintaan Nando untuk mengenalkannya dengan Nada.
"Kamu kan tahu Aku, Yum. Jadi tenang saja, Kamu tidak perlu khawatir kalau Aku akan menyakiti sahabatmu itu," ucap Nando.
"Malah karena Aku mengenalmu dengan baik, makannya Aku tidak mau memperkenalkanmu padanya," jawabku ketus.
"Memangnya Aku kenapa?" tanya Nando semakin kesal.
"Memangnya Kamu pikir Aku tidak tahu kalau Kamu playboy?" terangku.
"Itukan kata orang, tidak perlu didengarkan!" Nando berusaha mengelak. Nando memang orang yang terlihat baik kepada orang lain, terutama kepada perempuan. Namun di balik kebaikannya itu, dia ada niat terselubung.
Nando sering kali memberikan harapan palsu kepada perempuan-perempuan yang telah diberinya perhatian. Tidak jarang dia memanfaatkan kebaikan-kebaikan mereka. Sehingga, itu tidak akan pernah terjadi pada Nada.
Ini bukanlah hal pertama kali yang terjadi. Sebelumnya, dia sudah pernah meminta padaku untuk diperkenalkan dengan Nada. Tapi tetap saja, aku selalu menolaknya.
Aku sudah kapok mengenalkan temanku padanya. Sebelumnya, Cindy teman SMA-ku yang juga kuliah di jurusan yang sama denganku, namun beda rombel pun sempat menjadi korbannya. Awalnya dia beralasan ingin bertanya tentang penugasan yang kebetulan mereka ikut di mata kuliah umum yang sama.
Waktu itu, aku percaya begitu saja ketika dia menjelaskannya padaku. Namun ternyata setelah itu, Nando berusaha mendekatinya dan memberikan harapan palsu. Sampai-sampai Cindy menangis dihadapanku, karena patah hati ditinggal Nando berpacaran dengan perempuan lain.
Aku tidak tahu menahu tentang hal itu. Tapi mau tidak mau, aku harus tetap terseret ke dalam masalah tersebut. Saat itu aku merasa bersalah sekaligus malu terhadap Cindy. Karena secara tidak langsung, dia dekat dengan Nando karena aku. Andai aku tidak mengenalkan Nando pada Cindy, pasti itu semua tidak akan terjadi.
Masalah serupa tidak akan terjadi dua kali. Aku tidak akan membiarkan Nada bernasib sama dengan Cindy. Dimana Nando dengan seenaknya menyakiti perasaan sahabat-sahabatku.