Hari sudah semakin petang. Mentari sudah mulai menurunkan dirinya dari pandangan. Langit yang awalnya cerah sudah mulai gelap, menyelimuti rasa bersalahku yang semakin lama semakin mencengkeram diriku sendiri.
Nada dan Dion masih tak kunjung datang. Entah apa yang mereka lakukan berdua sampai malam begini masih juga belum terlihat batang hidungnya. "Tahu begitu, dari sore tadi aku pulang saja ke asrama. Langsung mencari keberadaan mereka," ucapku dalam hati.
"Nak, kalau tidak apa-apa lo kalau Nak Ayumi mau pulang dulu. Kan sudah ada om dan tante yang menjaga Andra di sini," kata tante Anis.
"Baik Tante, Saya izin undur diri dulu ya. Karena hari ini Ayumi sudah izin tidak masuk kuliah, jadi besok tidak mungkin Saya izin lagi," pamitku pada tante Anis, ibunya Andra.
Pada saat aku berkemas, Nada dan Dion baru datang. Mereka minta maaf dan menjelaskan padaku tentang alasan kenapa mereka bisa datang terlambat. "Maaf ya, Yum. Tadi ada kejadian yang tak terduga di jalan. Jadi kami harus kembali lagi ke asrama," jelas Nada merasa bersalah.
"Ada kejadian apa memangnya?" tanyaku penasaran.
"Jadi, ketika Aku dan Dion memesan taxi online, tiba-tiba ada sekelompok orang yang menghadang. Kami juga bingung, panik, dan ketakutan gara-gara ulah mereka." Nada bercerita padaku dengan wajah ketakutan, teringat apa yang telah terjadi.
"Jangan-jangan ulah om Danu lagi?" ucapku dalam hati. "Terus mereka ngapain menghadang kalian?" tanyaku penasaran.
"Kami enggak berani turun. Sopir kami pun ketakutan. Untung saja ada suara sirine mobil polisi yang sedang patroli, jadi tanpa perlawanan mereka kabur sendiri," terang Nada.
"Alhamdulillah, Allah menyelamatkan kalian." Aku bersyukur karena tidak terjadi apa-apa pada Nada dan Dion.
"Iya Aku bersyukur banget. Tapi karena masih syok, Aku minta Dion dan Pak Sopir untuk balik dulu ke asrama sambil menenangkan diri. Karena takutnya dengan perasaan yang masih was-was dan kacau kemudian bertemu denganmu di sini, akan membuatmu semakin membebanimu. Jadi, maaf ya tadi enggak angkat telepon darimu," kata Nada yang masih merasa bersalah karena seharian tidak memberiku kabar.
"Iya, enggak apa-apa. Yang penting kalian berdua selamat. Lagi pula, orang tua Andra sudah sampai di sini," kataku.
"Oh iya sampai lupa menyapa. Halo Tante … halo Om, perkenalkan Saya Nada dan ini Dion. Kami teman Andra di asrama. Salam kenal," ucap Nada memperkenalkan dirinya dan Dion kepada tante Anis dan om Arif.
"Iya, Nak Nada dan Nak Dion. Salam kenal juga ya, mohon maaf Andra banyak merepotkan kalian," ungkap tante Anis.
"Tidak kok, Tante. Kami sama sekali tidak merasa direpotkan. Malah biasanya kamilah yang sering merepotkan Andra," jawab Dion yang merasa paling dekat dengan Andra. "Kebetulan selama di asrama, Saya sekamar dengan Andra. Dia anak yang sangat rajin dan baik. Jadi siapa pun temannya, pasti dengan senang hati akan membantunya selama dia membutuhkan bantuan kami," kata Dion mencoba menenangkan orang tua Andra yang terlihat sungkan pada kami.
"Iya, apa yang dikatakan Dion benar. Pokoknya Om dan Tante tidak perlu khawatir dan sungkan. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi kami saja. Tante kan sudah menyimpan nomor Saya." Aku meminta mereka untuk tidak perlu sungkan pada kami.
"Terima kasih banyak ya. Saya dan tante Anis merasa sangat berterima kasih kepada kalian. Beruntung Andra, anak kami memiliki teman-teman yang sangat perhatian padanya," ungkap om Arif terharu melihat perhatianku, Nada, dan Dion pada Andra.
"Kalau begitu, kami pamit dulu ya Om … Tante. Ini baju-baju Andra sudah dibawakan Dion dari asrama. Seperti yang sudah Ayumi sampaikan sebelumnya, kalau Om dan Tante butuh apa-apa tidak perlu sungkan ya pada kami." Aku mewakili Nada dan Dion pamit undur diri kepada orang tua Andra.
Akhirnya, sampai juga aku di asrama. Pikiran yang carut marut tentang perlakuan om Danu dan Isabela terhadapku akhir-akhir ini membuatku semakin ingin segera melupakan Dito. Tapi Dito tidak salah apa-apa. Malah, dia juga menjadi korban kebringasan papanya sendiri yang tega menyakiti mamanya.
Aku sudah mencoba menjauh dan tidak ikut campur ke dalam masalah keluarga mereka. Tapi masih saja ditarik dan terperangkap di dalam pusaran neraka om Danu. Entah bagaimana aku bisa keluar dari sana. Terlalu lama jika harus menunggu kedatangan Dito terlebih dahulu.
Kurebahkan tubuhku yang terasa sangat lemah di atas tempat tidurku. Baru satu detik memejamkan mata, ponselku berdering. Tante Lidya meneleponku. "Ada apa lagi ini?" tanyaku dalam hati.
"Halo, Assalamu'alaikum, Tante." Aku menerima panggilan teleponnya.
"Wa'alaikumsalam, Yum. Yumi, tolong Tante!" pinta tante Lidya. Tante Lidya terdengar tengah menangis sedu. Entah apalagi yang telah terjadi padanya.
"Yumi bisa menolong apa, Tante?" tanyaku kebingunan.
"Om Danu barusan menghajar Tante. Sekarang Tante jalan pun tidak bisa. Tante bingung mau menghubungi siapa lagi selain Kamu. Tidak ada orang lain yang bisa menolong Tante selain Kamu," ungkap tante Lidya. Dia terdengar terus menangis dan menahan sakit yang dirasakannya.
Aku tak tega mengetahui itu semua. Sempat terpikir olehku, kenapa tante Lidya tidak menghubungi teman atau saudaranya yang ada di Bandung. Tapi bisa jadi tante Lidya ingin menyembunyikan semua yang telah terjadi padanya dari keluarga besarnya.
Aku segera pamit pada Nada dan bersiap menuju ke tempat tante Lidya. "Nad, Aku harus pergi sekarang. Ada yang membutuhkan bantuanku sekarang. Maaf Aku enggak bisa menjelaskannya padamu. Aku hanya minta Kamu doakan Aku agar selalu baik-baik saja," pamitku pada Nada.
Belum sempat Nada bertanya padaku, aku sudah meninggalkannya sendirian di kamar. Aku tahu dia pasti khawatir padaku. Sangat jelas terlihat pada wajahnya. Namun demi kebaikannya juga, aku tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Aku menuju ke vila keluarga tante Lidya. Benar saja, ketika memasuki ruang tamu, terlihat darah berceceran dan barang-barang pecah belah sudah berubah menjadi puing-puing tajam. Aku sangat memperhatikan langkahku. Karen ajika salah melangkah sedikit saja, kakiku bisa tergores dan terluka oleh puing-puing gerabah yang ada di sana.
Kuamati seksama, tidak terlihat sosok om Danu. Artinya, untuk sementara waktu, keadaan masih aman bagiku. "Tante Lidya, ini Ayumi. Ayumi sudah datang, Tan. Tante ada di mana?" teriakku.
"Tante ada di kamar, Yum. Tolong Tante, Yumi!" Suara tante Lidya mulai terdengar. Kulangkahkan kakiku menuju kea rah sumber suara. Betapa kagetnya aku melihat kondisi tante Lidya yang sudah terlihat begitu parah. Wajah cantik dan ceria yang biasanya aku lihat darinya, tiba-tiba berubah menjadi penuh memar biru dan ternodai oleh darah.
"Ya Allah, Tante. Kajam sekali om Danu pada Tante. Tega sekali dia menyakiti istrinya sendiri sampai seperti ini." Aku menangis melihat kondisi tante Lidya yang lemah tak berdaya, duduk di lantai kamarnya. Aku segera mendudukkannya di atas kursi dekat tempat tidur dan segera memanggil sopir mobil yang telah kusewa sebelumnya untuk membantu menolongnya. "Kita langsung ke rumah sakit saja ya, Tante," ucapku pada tante Lidya.
Sepanjang perjalanan aku tidak bertanya apa pun padanya. Aku hanya mencoba menenangkan tante Lidya dan memeluknya selama perjalanan menuju ke rumah sakit. Aku tidak menyesal mengambil keputusan untuk menolongnya. Biarlah jika memang nanti aku terlibat lagi ke dalam urusan keluarganya. Yang penting sekarang, tante Lidya aman dari kekejaman suaminya yang tidak lain adalah papa dari Dito. Kekasih hatiku yang sebenarnya sudah menjadi masa laluku.